Kita dan Kasus Akbar
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Mahkamah Agung (MA) yang menurut sistem hukum nasional kita
sebagai pengambil keputusan terakhir, dalam kasus korupsi uang Bulog sebesar 40
milyar rupiah telah mengeluarkan keputusan Akbar Tanjung “bebas” dari hukuman,
dengan perbandingan suara 4 :1. Walaupun sebelumnya, keputusan Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi telah menyatakan ia bersalah atas tuduhan itu.
Keputusan MA itu banyak menimbulkan reaksi di masyarakat. Pendukung Golkar,
dengan sendirinya bergembira atas keputusan yang “berbau politik”, sedangkan
mereka yang meminta keadilan, menganggap keputusan itu tidak tepat. Beberapa
orang pengamat mengatakan, bahwa reaksi menentang keputusan MA itu hanya akan
berusia beberapa minggu saja. Setelah itu keadaan akan menjadi ‘adem-ayem’, dan
kasus itu tidak lagi dibicarakan secara meluas.
Keputusan MA yang dikeluarkan itu, tentu akan menjadi isu yang
kontroversial, alias penuh pertentangan. Alasan untuk membebaskan Akbar, dengan
dalih macam-macam, bagaimanapun juga akan mendorong munculnya tuduhan
masyarakat akan keadilan yang tidak diperlihatkan oleh keputusan MA tersebut.
Sekali sistem hukum nasional dinilai demikian oleh kalangan cukup luas, maka
tuntutan yang tadinya ditujukan kepada terdakwa Ir. Akbar Tanjung, “akan lari”
dan beralih kepada tuntutan agar untuk selanjutnya hukum dapat ditegakkan
dengan sebenar-benarnya dan bersih dari manipulasi. “Tuntutan susulan” inilah
yang sebenarnya harus ditakuti, karena tuntutan yang diajukan bukan lagi
tuntutan yang konstruktif, melainkan tuntutan radikal yang dapat membuat macet
banyak jalan di negara ini, walaupun jelas pertimbangan-pertimbangan etis di
tingkat elit sampai hari ini pun tidak pernah benar-benar tegak di negeri kita.
Kasus Akbar Tanjung ini dapat saja berkembang ke arah yang tidak
jelas, bersifat positif atau negatif bagi kehidupan bangsa dalam jangka
panjang. Bagi banyak orang, di dalam sidang-sidang Majelis yang terdiri dari 5
orang Hakim Agung itu, benar-benar telah terjadi apa yang dinamakan
“akal-akalan” yang bersifat politis dan sama sekali tidak bersifat hukum.
Kondisi itu sama halnya dengan apa yang terjadi pada diri penulis. Kalau rapat
di rumah Megawati tanggal 21 Juli 2001 “berhasil” memutuskan untuk mengadakan
Sidang Istimewa MPR RI dengan tujuan melengserkan penulis dari jabatan
kepresidenan, maka itu berarti pengalihan dari persoalan (tuduhan) hukum
menjadi proses politik.
Apa yang terjadi dalam kasus Akbar Tanjung juga memiliki sifat
yang sama. Bedanya jika pada kasus yang dialami penulis MA tidak pernah mau
bersikap mengenai telah terjadi tindakan pengalihan itu, yang membuktikan
“kecerobohan” pihak MA. Maka pada kasus Akbar Tanjung itu, MA secara jelas dan
terbuka telah mengakui “perpindahan masalah” dari sebuah proses hukum menjadi
proses politik. Jadi, dengan demikian MA telah mengakui secara terbuka bahwa
dirinya telah impoten dan tidak berdaya “melawan” tekanan-tekanan politik yang
ada. Dan dengan demikian, berarti ia tidak lagi memiliki independensi dari
pihak legislatif maupun eksekutif. Kenyataan impotensi MA itulah, yang tidak
terlihat oleh para “pakar” yang membela keputusan itu, termasuk Ketua MA
sendiri.
Tentu, impotensi MA ini jelas melanggar konstitusi, sehingga
sebenarnya tak salah jika rakyat “bertindak” terhadap MA di luar jalur hukum.
Secara teoritis, baik dilihat dari sudut hukum maupun tata negara, hak hidup MA
sekarang telah tiada. Siapapun dapat saja membubarkan MA dengan adanya kasus
Akbar Tandjung itu. Dengan kata lain wujud MA hanya bertumpu pada kekuatan yang
dipaksakan pemerintahan atas bangsa ini, dan sewaktu-waktu kalau ada pihak lain
yang mampu/mempunyai kekuatan, maka wujud MA yang sekarang dapat saja
dihilangkan sewaktu-waktu untuk diganti dengan MA yang lain.
Kenyataan bahwa MA itu sekarang hanya dapat mempertahankan
wujudnya melalui kekuasaan fisik. Terlihat nyata sewaktu Majelis Hakim Agung
yang dibentuk untuk kasus Akbar Tandjung menunda pembacaan keputusan yang
telah diambilnya, hingga tanggal 12 Februari 2004. Bahwa sebuah Majelis
yang dibentuk MA harus menunda pembacaan keputusan, karena takut akan reaksi
fisik orang banyak, menunjukan dengan jelas bahwa hukum sudah tidak berdaya
lagi melawan tekanan-tekanan dari luar. Bahwa kemudian ia “merasa ditekan” oleh
pihak mahasiswa, dan sebagai akibat ia membiarkan “perlawanan tekanan” dari
para preman yang didatangkan ke halaman kantornya, menunjukkan bahwa MA
sendiri sudah tidak “dilindungi” aparat hukum. Mengapakah sampai demikian?
Karena mereka tidak lagi menganggap keputusan yang diambil atas nama MA
memiliki “kebenaran hukum” lagi.
Lagi-lagi sebuah kenyatan yang menunjukkan keputusan yang diambil
bukan lagi bagian dari sebuah proses hukum, melainkan proses politik. Inilah
yang sebenarnya merupakan “hari hitam” bagi MA. Sama “hitamnya” dengan
sikap MA yang tidak mau merespon pertanyaan tertulis dari penulis, Adakah
tindakan Ketua MA yang tanpa bersidang dan hanya memerlukan waktu beberapa jam
saja untuk menentukan bahwa tindakan penulis mengeluarkan Maklumat Keadaan Darurat
pada tanggal 21 Juni 2001 adalah tindakan melawan konstitusi? Ketika penulis
juga tanyakan, adakah justru rapat yang diadakan di rumah Megawati
Soekarnoputri (di Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta) merupakan tindakan
melanggar konstitusi? Jelas, sikap MA yang tidak mau membahas surat itu, adalah
sebuah proses politik, bukan sikap hukum. Jadi sikap MA tentang Ir. Akbar
Tanjung, adalah kali kedua ia tidak melaksanakan proses hukum, melainkan
“merubahnya” menjadi sebuah proses politik tanpa alasan yang jelas.
Penilaian ini baru berasal dari sikap MA yang pasif, yaitu
menunggu sampai perkara dan pertanyaan diajukan kepadanya secara resmi. Belum
lagi kalau dari sisi MA yang harus mengambil sikap aktif dengan “keharusan
menjawab” perkembangan masyarakat tanpa ditanya. Yaitu dalam kasus pelanggaran
Hak-Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok, Timor-Timor, dan tempat-tempat lain.
“kasus” pengumuman hukum Darurat Militer di Aceh. Sikap aktif ini justru tidak
dilakukan oleh lembaga yang katanya mulia ini. Kesemuanya itu membawa kepada
sebuah kesimpulan, bahwa MA tidak berfungsi dengan baik, sesuai dengan
Undang-Undang Dasar kita. Ini sangatlah menyedihkan, justru karena konstitusi
itu sendiri semula menjadi “ajang perrtempuran” antara mereka yang menghendaki
berdirinya sebuah negara agama dan pihak yang menentangnya.
Karena itu, jelas bagi kita bahwa perjuangan menegakkan demokrasi
di negera ini masih harus berjalan sangat panjang. Badan legislatif kita, saat
ini beberntuk DPR-RI dan MPR-RI, jelas melebihi peran konsitusionalnya, yaitu
menjaga dan mempertahankan melalui legislasi, terciptanya keseimbangan antara
dirinya, esekutif dan yudikatif. Kenyataannya pada saat ini, pihak legislatif
banyak mengambil peranan pihak eksekutif, baik secara pasif maupun aktif.
Secara aktif, ia “memaksakan kehendak’ melalui pengusulan nama-nama untuk
berbagai jabatan, termasuk jabatan Ketua MA. Jelas ini merupakan pemaksaan
kehendak atas pihak eksekutif, yang seharusnya membuat usulan untuk disetujui
atau tidak oleh pihak legislatif. Karena nama orang yang diusulkan untuk
sesuatu jabatan, seharusnya berwatak eksekusi/pelaksana tugas. Pihak
eksekutiflah yang seharusnya memegang inisiatif dalam hal ini, bukannya pihak
legislatif.
Kekacauan peran seperti ini berakibat panjang, seperti diperlihatkan
oleh MA sendiri dalam kasus Ir. Akbar Tanjung itu. Dari hal ini saja sudah
dapat dilihat, perjuangan menegakkan demokrasi masih harus berjalan panjang di
negeri ini, tidak semudah tuntutan sementara kalangan untuk menerapkan
“reformasi tuntas” sekaligus dalam waktu tidak terlalu lama. Karenanya,
demokratisasi di Indonesia harus dilaksanakan melalui sebuah ‘proses bertahap”.
Ada hal-hal lama yang masih harus ditolerir, tetapi ada pula hal-hal baru yang
lebih bersifat prinsipil yang harus dilaksanakan sekarang juga. Kesulitanya
justru terletak pada penetapan mana yang harus didahulukan, dan mana yang dapat
dikemudiankan. Pekerjaan yang kelihatannya mudah dilakukan, namun sulit
dilaksanakan dalam kenyataan, bukan? []
Jakarta, 25 Februari 2004
Memorandum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar