AL-HIKAM
Ini Kunci Sukses Dakwah
Walisongo
Kita belakangan tampak religius. Kita sering
kali mengenakan atribut formal keagamaan. Tetapi kita cenderung eksklusif,
hanya mau bergaul dengan sesama yang juga gemar mengenakan atribut formal
keagamaan entah apa alasannya. Kita tidak begitu mau membaur dengan sesama kita
yang berada di luar lingkaran masyarakat yang cenderung agamis. Kita juga
cenderung menutup diri dari aktivitas ekonomi, politik, sosial, budaya,
kesenian, pendidikan, bahkan mungkin sains.
Sikap eksklusif sama sekali tidak menguntungkan dari segi dakwah sehingga dakwah tampak jalan di tempat. Sikap tertutup ini membuat jangkauan menjadi terbatas sehingga kita belum menyentuh mereka yang berada di luar masyarakat masjid.
Sikap eksklusif dan tertutup seperti ini dipicu oleh keterbatasan jangkauan pandangan matanya terhadap Allah SWT sebagai disinggung Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini:
إنما
يستوحش العباد والزهاد من كل شيء لغيبتهم عن الله في كل شيء فلو شهدوه في كل شيء
لم يستوحشوا من شيء
Artinya, “Abidin dan zahidin merasa jijik akan segala sesuatu hanya karena tidak melihat Allah padanya. Kalau saja mereka menyaksikan-Nya pada semua itu, niscaya mereka takkan merasa jijik dengan itu semua.”
Untuk bergaul dengan luar lingkungan masjid, kita cenderung khawatir terkontaminasi atau khawatir gangguan jadwal ibadah kita sehingga tidak sedikit kita menutup diri untuk ibadah belaka. Syekh Syarqawi mengatakan sikap seperti ini yang biasa melekat pada kalangan abidin dan zahidin awalnya dilatarbelakangi oleh keterbatasan pandangan terhadap Allah (terhijab) lalu muncul ketakutan-ketakutan lainnya.
إنما
يستوحش العباد) وهم المتوجهون إلى الله بطريق العمل (والزهاد) وهم المتوجهون إلى
الله بطريق التوكل (من كل شيء) فكل من الطائفتين يفر من الخلق لكونهم قاطعين عن
الله وذلك (لغيبتهم عن الله في كل شيء) أى إنهم محجوبون عن ربهم برؤية نفوسهم
ومراعاة حظوظهم إليها وافتتانهم بها (فلو شهدوه في كل شيء) كما شهده العارفون
والمحبون (لم يستوحشوا من شيء) أى من أي شيء من الأشياء لرؤيتهم له حينئذ ظاهرا له
في الأشياء كلها فيشغلهم ذلك عن رؤيتهم لنفوسهم فلا يكون لهم وحشة ولا يخشون منها
فتنة لأنها متلاشية فانية بهذا الاعتبار
Artinya, “(Abidin) mereka yang menghadap Allah lewat amal ibadah (dan zahidin) mereka yang menghadap-Nya lewat jalan tawakal (merasa jijik akan segala sesuatu). Karena terputus dari Allah, keduanya menjauh dari makhluk. Hal ini terjadi (hanya karena tidak melihat Allah padanya). Mereka terhijab dari Allah lantaran melihat diri sendiri, memerhatikan kesenangan sendiri, dan takut tergoda oleh semua itu. (Kalau saja mereka menyaksikan-Nya pada semua itu) seperti arifin dan muhibin menyaksikan-Nya, (niscaya mereka takkan merasa jijik dengan itu semua) apapun itu karena ketika itu mereka menyaksikan Allah tampak pada segala sesuatunya itu sehingga itu cukup menyibukkan mereka untuk memperhatikan diri mereka sendiri. Karena itu mereka tidak lagi merasa jijik dan tidak khawatir akan fitnah godaannya karena semua itu akan sirna dan fana,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Al-Haramain, 2012 M, juz I, halaman 89).
Adapun kalangan arifin tidak merasa risi bercampur baur dengan komunitas mana pun di luar komunitas masjid. Mereka tidak perlu merasa khawatir dengan dunia dan penghuninya. Mereka merasakan kehadiran Allah dalam segala yang tampak di dunia ini. Mereka tidak terpukau oleh kenikmatan (kelezatan atau manisnya) ibadah sehingga mengalienasi untuk fokus dalam ibadah seperti kalangan abidin dan zahidin. Arifin dan muhibin lebih terpukau oleh kenikmatan penampakan Allah pada dunia sehingga tak perlu mengasingkan diri, sebagai keterangan Syekh Ibnu Ajibah berikut ini:
قلت
العباد هم الذين غلب عليهم الفعل فهم مستغرقون في العبادة الحسية يقومون الليل
ويصومون النهار شغلهم حلاوة العبادة عن حلاوة شهود المعبود فحجبوا بعبادتهم عن
معبودهم والزهاد هم الذين غلب عليهم الترك فهم يفرون من الدنيا وأهلها ذاقوا حلاوة
الزهد فوقفوا معه وحجبوا عن الله فهم يستوحشون من الأشياء لغيبتهم عن الله فيها
ولو عرفوا الله في كل شيء ما استوحشوا من شيء ولأنسوا بكل شيء وتأدبوا مع كل شيء
والعارفون لنفوذ بصيرتهم شهدوا الخلق مظاهر من مظاهر الحق فحجبوا أولاً بالحق عن
الخلق وبالمعنى عن الحس وبالقدرة عن الحكمة ثم ردوا إلى شهود الحق في الخلق
والقدرة في الحكمة فحين عرفوه في كل شيء أنسوا بكل شيء وتأدبوا مع كل شيء وعظموا
كل شيء وفي هذا المقام قال المجذوب رضي الله عنه
الخلق
نوار وأنا رعيت فيهم ... هم الحجب الأكبر والمدخل فيهم
Artinya, “Menurut saya, abidin adalah mereka yang dominan beramal saleh. Mereka tenggelam dalam ibadah lahiriyah, bangun malam, puasa di siang hari. Mereka disibukkan oleh kenikmatan ibadah ketimbang kenikmatan menyaksikan Zat yang disembah. Mereka terhijab oleh ibadah mereka dari Allah. Sementara zahidin adalah mereka yang dominan hidup berpantang. Mereka menjauh dari dunia dan pencinta dunia. Mereka merasakan kenikmatan zuhud dan berhenti di sana (stagnan). Mereka terhijab dari Allah. Mereka jijik akan segala sesuatu karena tak menyaksikan-Nya pada semua itu. Kalau mereka mengerti kehadiran Allah pada semua itu, niscaya mereka takkan merasa jijik. Mereka akan bersikap ramah dan bersopan santun dengan semuanya. Sementara arifin dengan mata hati mereka yang sanggup menembus menyaksikan makhluk sebagai tempat tampak Allah. Awalnya mereka terhijab oleh Allah daripada makhluk-Nya, oleh makna daripada lahiriyahnya, dan oleh kuasa daripada hikmah itu sendiri. Tetapi mereka kemudian dibuka untuk melihat Allah pada makhluk-Nya dan melihat kuasa-Nya pada hikmah. Ketika mereka mengenal Allah pada segala sesuatu, maka mereka bersikap ramah, santun, dan takzim kepada segalanya. Dalam kondisi demikian, seorang yang tengah jadzab bersyair,
Makhluk benda yang sangat terang dan saya mengembala pada mereka
Mereka adalah hijab terbesar dan pintu masuk pada mereka,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 166).
Lewat hikmah ini, Syekh Ibnu Athaillah bukan sedang merendahkan kalangan abidin dan zahidin. Ia menaruh takzim luar biasa untuk abidin dan zahidin dengan sebutan ahli ibadah dan ahli zuhud. Ia melalui hikmah ini sedang mengapresiasi sikap kalangan arifin yang hidup membaur dengan penduduk dunia dengan komunitas manapun dan terlibat aktif dalam kegiatan apapun seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, kesenian, dan lain sebagainya tanpa khawatir terpedaya oleh dunia itu sendiri seperti keterangan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi berikut ini:
بقي
أن تعلم أن ابن عطاء الله لا يتهم المتعبدين والزهاد الذين يستوحشون من مظاهر
الدنيا التي تفور بها المجمعات فيفرون إلى خلواتهم التي يطيب لهم أن ينقطعوا إلى
عبادة الله فيها، أقول: لا يتهمهم بالانحراف عن جادة الدين ولا يأخذ عليهم تورطا
في بدعة أو ارتكابا لمحرم... كيف وهو يسميهم متعبدين وزهادا. ولكنه يلتفت النظر من
خلال كلامه الذي شرحته إلى أن رتبة هؤلاء المتعبدين والزهاد متقاصرة على رتبة
العارفين ومن كان قبلهم من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم. إذ إن الذي يرى
زخارف الدنيا وخيراتها أمامه فلا تشغله عن الله بل تزيده قربا منه وتذكرة له، أرفع
شأنا في سلّم الوصول والقرب من الله، من الذي إذا رأى زخارف الدنيا وخيراتها
شغلتهم عن الله وصرفته عن مراقبته وذكره.
Artinya, “Selebihnya, sebagaimana dimaklum bahwa Syekh Ibnu Athaillah tidak sedang menuduh abidin dan zahidin yang merasa jijik dengan dunia secara lahiriyah yang mana bergolak tanah-tanah yang lengang sehingga mereka melarikan diri ke dalam sepi dengan senang beribadah kepada Allah. Menurutku, Syekh Ibnu Athaillah tidak menuduh mereka menyimpang dari jalan agama dan menempatkan mereka pada bid‘ah sebagai posisi sulit atau pelanggaran atas sesuatu yang diharamkan. Bagaimana bisa muncul tuduhan itu sementara Syekh Ibnu Athaillah menyebut mereka sebagai ahli ibadah dan ahli zuhud? Tetapi kalau diperhatikan memang Syekh Ibnu Athaillah mengatakan bahwa derajat abidin dan zahidin berada di bawah derajat arifin dan para sahabat Rasulullah SAW. Orang yang memandang perhiasan dan kebaikan dunia di hadapannya tetapi tidak membuatnya bimbang dari Allah, bahkan semakin mendekatkannya dan menjadi pengingatnya kepada Allah lebih tinggi dalam menapak anak tangga untuk sampai dan dekat dengan-Nya dibanding orang yang memandang perhiasan dan kebaikan dunia, lalu tergoda dan membelokannya dari pengawasan dan zikirnya,” (Lihat Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Athaiyyah Syarhun wa Tahlilun, Beirut, Darul Fikr Al-Muashir, 2003 M/1424 H, juz III, halaman 311-312).
Adapun dalam konteks dakwah, adalah wajar jika kalangan arifin yang bersikap terbuka dan aktif di pelbagai lapangan kehidupan menjadi ujung tombak penyebaran Islam dibanding kalangan abidin dan zahidin yang menjaga jarak dari dunia dan penghuninya. Walisongo adalah kalangan arifin yang menjadi contoh sukses dakwah Islam dengan pengikut terbesar sepanjang masa. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar