Setelah
Maaf-Memaafkan, Lalu Apa?
Maaf-memaafkan tidak
terlepas dari dampaknya terhadap kehidupan yang luas di tengah masyarakat.
Maaf-memaafkan bukan hanya menjadi tradisi umat Islam di Indonesia tiap Idul
Fitri atau Lebaran tiba, tetapi juga dianjurkan dalam syariat Islam dalam
memanifestasikan makna Idul Fitri itu sendiri, yakni kembali kepada kesucian
seperti seorang bayi yang baru terlahir ke alam dunia.
Perihal meminta maaf,
seseorang membutuhkan sikap ksatria untuk mengakui segala kesalahannya kepada
orang lain. Hal ini berangkat dari diktum bahwa meminta maaf tak semudah
memberi maaf. Namun tidak lantas bahwa memberi maaf juga persoalan mudah,
karena ia menuntut kelapangan dada untuk menerima maaf orang yang pernah
menyakiti hatinya.
Mengingat dalamnya
arti meminta dan memberi maaf, sebuah pertanyaan terlontar, adakah yang lebih
tinggi tingkatannya daripada maaf (al-afwu)? Mengingat sikap saling memaafkan
merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW dan salah satu sifat yang dimiliki Allah
SWT, yaitu Maha Pengampun dan Maha Pemberi Maaf.
Al-Qur’an mengajarkan
bahwa dalam maaf-memaafkan butuh sikap ksatria dan kelapangan dada, ini benang
merah yang dapat ditarik. Pakar Tafsir Al-Qur’an Prof Dr Muhammad Quraish
Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) menerangkan,
tingkatan yang lebih tinggi dari al-afwu adalah al-shafhu. Kata
ini pada mulanya berarti kelapangan.
Dari al-shafhu dibentuk
kata shafhat yang berarti lembaran atau halaman,
serta mushafahat yang berarti berjabat tangan. Seseorang
melakukan al-shafhu seperti anjuran ayat yang dipaparkan di awal,
dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala
ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan
membuka lembaran baru. Inilah esensi dari Hari Raya Lebaran atau Idul
Fitri.
Mengutip Al-Raghib
Al-Asfahaniy dalam bukunya itu, Quraish Shihab mengemukakan
bahwa al-shafhu yang digambarkan dalam bentuk berjabat tangan itu
memiliki makna yang lebih tinggi dari memaafkan.
Bukankah masih ada
satu-dua titik yang sulit bersih dalam lembaran yang salah walaupun
kesalahannya telah dihapus? Atau bukankah lembaran yang telah ternoda walaupun
telah bersih kembali tidak sama dengan lembaran yang baru?
Dari
renungan-renungan tersebut, dapat ditarik esensi bahwa membuka lembaran baru
merupakan langkah yang sangat penting. Sama signifikannya ketika masing-masing
orang yang terlibat dalam sebuah kesalahan untuk menutup lembaran lama.
Dengan demikian,
hakikat Idul Fitri (kembali kepada kesucian) dapat diraih seseorang sebagai
wujud peneguhan sikap ihsan setelah penguatan iman dan Islam, karena itulah
yang paling disukai Allah. Wallahu ‘alam bisshawab. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar