Memegang Al-Qur’an
Terjemahan tanpa Wudhu, Bolehkah?
Membaca Al-Qur’an terjemahan saat ini sudah
banyak dilakukan oleh siapa pun, khususnya orang-orang yang ingin mengetahui
kandungan arti kata yang terlafalkan dalam Al-Qur’an. Bagi orang yang tak
memiliki pengetahuan bahasa Arab yang memadai, Al-Qur’an terjemahan pun menjadi
solusi paling mudah.
Lantas muncul pertanyaan, apakah Al-Qur’an
terjemahan statusnya sama dengan Al-Qur’an tanpa terjemah, sehingga dalam
memegang dan membawanya wajib dalam keadaan suci dari hadats? Atau hukumnya
berbeda?
Kaidah yang harus diketahui sebelum menjawab
pertanyaan ini adalah bahwa Al-Qur’an menjadi hilang kewajiban memegang dalam
keadaan suci ketika di dalamnya lebih dominan penafsiran Al-Qur’an dari pada
teks asli Al-Qur’an dalam segi hurufnya. Dalam artian, jika jumlah huruf
Al-Qur’an dikalkulasikan (menurut sebagian pendapat, jumlah huruf Al-Qur’an
sebanyak 162.671) masih tidak sebanding dengan jumlah huruf yang ada pada
tafsir Al-Qur’an. Sehingga diperbolehkan untuk menyentuhnya meski tanpa wudhu,
sebab hal tersebut tidak lagi dinamakan mushaf Al-Qur’an tapi beralih menjadi
kitab Tafsir. Hal ini seperti yang sering kita lihat dalam kitab-kitab tafsir
yang berjilid-jilid seperti tafsir Fakhrurrazi, Al-Qurtuby, Ibnu
katsir, dll.
Sedangkan untuk kitab tafsir Jalalain menurut
sebagian pendapat jumlah hurufnya lebih banyak dua huruf jika dibandingkan
dengan huruf Al-Qur’an sehingga boleh menyentuhnya tanpa wudhu.meski begitu
para ulama tetap menganjurkan orrang yang membawa kitab tafsir Jalalain agar
tetap dalam keadaan suci, sebab dikhawatirkan adanya kesalahan cetakan atau
penulisan dalam kitabnya hingga akhirnya mengurangi jumlah huruf tafsiran yang
ada pada kitab tafsir Jalalain.
Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah
terjemahan dihukumi sebagai tafsir?
Dalam Manahil al-Irfan dijelaskan bahwa
terjemah terbagi menjadi dua. Pertama, terjemah harfiyyah,
yakni penerjemahan Al-Qur’an per kata dengan memberikan pada masing-masing
kata dalam Al-Qur’an dengan makna yang sesuai (dalam hal ini menggunakan bahasa
Indonesia) tanpa adanya loncatan penerjemahan untuk mewujudkan runtutan arti
yang sesuai. Kedua, terjemah tafsiriyyah, yaitu penerjemahan Al-Qur’an yang
lebih dominan dalam hal mewujudkan rangkaian makna yang sesuai dan mudah
dipahami, sehingga penerjemahan dengan model seperti ini sering terjadi
loncatan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an (Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani,
Manahil al-Irfan, juz 2, hal. 80).
Terjemahan yang biasanya kita temui dan
digunakan oleh khalayak umum termasuk dalam kategori terjemah Tafsiriyyah,
sebab jika diteliti secara mendalam banyak sekali ditemukan lompatan-lompatan
makna yang tidak sesuai dengan runtutan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, hal
ini dikarenakan tujuan penulisan terjemah tersebut lebih ke arah memahamkan pembaca
pada maksud dalam kata Al-Qur’an secara umum, bukan mengartikan per-kosa kata
dalam Al-Qur’an.
Segala jenis terjemah, baik terjemah
tafsiriyyah ataupun harfiyyah tidak berstatus sebagai tafsir yang dapat merubah
Al-Qur’an menjadi dapat dipegang meski dalam keadaan hadats. Sebab arti tafsir
sendiri adalah:
وان
التفسير: هو التوضيح لكلام الله تعالى سواء كانت بلغة الأصل {اللغة العربية} أم
بغيرها، بطريق اجمالي أو تفسيري، متناولا كافة المعانى والمقاصد أو مقتصرا على
بعضها دون بعض
“Tafsir adalah memperjelas kalam Allah, baik
dengan menggunakan bahasa asli (bahasa Arab) atau dengan Bahasa yang lain. Baik
penjelasan secara global ataupun dengan cara penafsiran . mencakup terhadap
keseluruhan makna dan maksud dalam Al-Qur’an ataupun meringkas dengan sebagian makna
dan tujuan tanpa menjelaskan makna dan tujuan yang lain” (Muhammad Abdul Adzim
Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, Juz 2, Hal. 80)
Terjemahan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang
memperjelas kandungan makna dalam Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebatas
mengartikan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga tidak dapat
dikategorikan sebagai tafsir. Oleh sebab itu, maka orang yang memegang
terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Al-Qur’an
terjemahan. Hukum ini ditegaskan dalam kitab Nihayah az-Zain:
أما
ترجمة المصحف المكتوبة تحت سطوره فلا تعطي حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه
وحمله كما أفتى به السيد أحمد دحلان
“Adapun terjemahan mushaf Al-Qur’an yang
ditulis dibawah kertas dari mushaf maka tidak dihukumi sebagai tafsir, akan
tetapi tetap berstatus sebagai mushaf yang haram memegang dan membawanya (dalam
keadaan hadats), hukum ini seperti halnya yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad
Dahlan.” (Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain juz. 1, Hal. 33)
Demikian penjelasan tentang materi ini,
secara umum dapat disimpulkan bahwa status Al-Qur’an terjemahan tetap dihukumi
sebagai Al-Qur’an yang wajib membawa dan memegangnya dalam keadaan suci.
Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar