Jalan
Panjang Demokrasi Indonesia (I)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Napas
artikel ini masih merupakan kelanjutan dari "Resonansi" Selasa, 18
Juni yang lalu. Bedanya, kali ini demokrasi ditempatkan pada lensa politik
Indonesia yang lebih luas, tidak sekadar menyoroti perilaku politisi sumbu
pendek sebagai salah satu musuh utama sistem ini.
Ada
artikel baru yang menarik Prof Paige Johnson Tan PhD dari Departemen Ilmu
Politik Universitas Radford, Amerika Serikat, di bawah judul “The New Normal:
Indonesian Democracy Twenty Years after Suharto” (Kyoto Review of Southeast
Asia, 21 Juni 2019).
Sebenarnya
apa yang dibicarakan oleh Prof Tan ini bukan sesuatu yang baru. Para pengamat
domestik telah pula menyoroti masalah ini dalam berbagai tulisan dan forum
diskusi. Mungkin yang baru adalah kemasan analisisnya, bukan substansinya.
Namun, pengamatan pihak asing ini perlu juga kita perhatikan agar peta
demokrasi Indonesia bisa dilihat dalam spektrum yang bervariasi.
Ungkapan
“the new normal” (normal baru) menunjukkan bahwa Prof Tan cukup optimistis
melihat perkembangan demokrasi Indonesia sejak 20 tahun terakhir selepas rezim
Soeharto yang otoriter, tetapi dengan beberapa catatan kritis yang
disertakannya, sebagaimana yang akan diulas lebih lanjut. Selain Prof Tan,
masih akan ada lagi nanti sarjana asing lainnya yang akan dikutip pendapatnya
dalam dua seri "Resonansi" ini.
Sebelum
uraian lebih jauh, perlu ditengok selintas potret demokrasi Indonesia dalam
rentang waktu 74 tahun terakhir setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Hampir
seluruh bapak dan ibu bangsa menginginkan bahwa sistem politik Indonesia
merdeka haruslah dalam bentuk demokrasi, bukan sistem lain.
Bagi
mereka, nasionalisme haruslah bergandengan tangan dengan demokrasi karena
setiap warga negara yang merdeka hanyalah mungkin menyalurkan aspirasi dan
potensi politiknya melalui sistem yang menempatkan manusia setara di depan
hukum dan sejarah.
Kesadaran
tentang perlunya demokrasi ini sudah berurat-berakar dalam benak para pendiri
bangsa ini, apa pun latar belakang etnisitasnya. Inilah yang memberi harapan
bahwa sistem politik yang kita pilih ini akan bertahan lama setelah berhasil
melalui ujian-ujian berat yang pernah dilaluinya, seperti yang akan disinggung
di bawah ini. Ujian-ujian itu masih saja berlangsung sampai sekarang. Namun,
asal kita mau belajar dan mengoreksi diri, segala ujian itu pasti akan berlalu.
Demikianlah
dalam perkembangannya, rintangan bagi idealisasi demokrasi ini datang
bertubi-tubi; gerakan separatisme daerah, elite parpol yang egois dan sempit
dada seperti terbaca dalam "Resonansi" yang lalu, juga adanya
sisa-sisa kultur feodal yang masih bertahan. Sebelum itu ada pula militerisme,
kecenderungan otoritarianisme, ditingkahi oleh tingkat pendidikan rakyat yang
belum memadai.
Yang
teranyar adalah penetrasi ideologi impor yang intoleran dan antidemokrasi,
terutama yang terlihat dalam organisasi-organisasi Muslim tertentu di Indonesia
sejak 40 tahun terakhir. Semula mereka bergerak di bawah tanah, kemudian mereka
memanfaatkan era demokrasi yang secara teori diingkari dan ditolaknya dengan
alasan-alasan yang rapuh dan ketinggalan zaman.
Semua
bentuk rintangan itu diharapkan akan makin mematangkan proses demokrasi kita
dengan syarat, sekali lagi, bangsa ini mau belajar. Bagi saya, belum tersedia
pilihan sistem politik yang lain selain demokrasi dengan segala kelemahannya
dan kekurangannya untuk dikembangkan di Indonesia. Bung Hatta, seperti kita
ketahui, pernah berdalil bahwa hilangnya demokrasi berarti hilangnya Indonesia
merdeka. Keyakinan Bung Hatta ini kuat sekali.
Seterusnya,
dalam membaca perkembangan demokrasi di Indonesia, Prof Tan menggunakan
kerangka teori Juan Linz dan Alfred Stepan dalam karyanya, Problems of Democratic Transition and
Consolidation (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996).
Dalam
buku ini ada enam komponen utama yang perlu dimiliki sebuah negara agar
konsolidasi demokrasi dapat berjalan efektif, yaitu negara yang kuat (stateness), masyarakat
sipil yang independen, masyarakat politik yang berdaya, pemerintah berdasarkan
hukum (rule of law),
birokrasi negara yang sehat dan efektif, serta masyarakat ekonomi yang tidak
timpang. []
REPUBLIKA,
25 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar