Hikmah
yang Terkandung dalam Idul Fitri
Oleh: KH.
Miftachul Akhyar
Di dalam
Lebaran Idul Fitri terdapat Shalat Id setelah Muslimin dan Muslimat menunaikan
ibadah puasa Ramadhan. Ada beberapa hikmah yang harus kita aplikasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara pada Idul Fitri ini:
Pertama,
puasa yang kita akhiri dengan Shalat Idul Fitri ini faktor teragungnya adalah
melahirkan perekat pertautan hati para Muslimin-Muslimat. Muslim yang berada
(si kaya) agar mau menyisihkan sebagian harta anugerah dari Allah SWT untuk
saudaranya yang sedang diuji kesabarannya dengan kondisi ekonomi yang
pas-pasan, bahkan serba kekurangan.
Kedua, di
dalam Idul Fitri (khususnya), sirnalah sudah rasa dahaga dan kelaparan sehingga
yang ada hanyalah kebersamaan antara si kaya dan si miskin. Hari ini (khusunya)
hilangnya kesedihan dan kepedihan hidup secara bersamaan dan lahirlah
kegembiraan. Lalu masing-masing saling menjulurkan tangan, saling memaafkan,
maka saat itu sudah tidak ada lagi jarak antara si miskin dan si kaya, bahkan
seakan-akan mereka semua seperti dilahirkan dari satu keluarga, satu rahim,
satu ibu kandung, terjalinlah ukhuwah yang kokoh. Maka di hari yang mubarak
(berkah) ini mereka telah mendapatkan pahala puasa, pahala kedermawanan, pahala
penyelamatan saudaranya yang lemah dari cengkeraman kefakiran dan
kesedihan.
Di antara
anak bangsa ada yang tidak pernah merasakan “kegembiraan” itu dan tidak tahu
jalannya menuju “kegembiraan” sepanjang tahun atau lebih, lantaran impitan
hidup yang penuh kesedihan dan gelapnya masa depan, lalu datang tamu agung
Ramadhan Mubarak diikuti Hari Raya Fitri sebagai penutup pengantar kepergian Ramadhan
Mubarak dengan diharamkannya puasa, disyariatkannya berbuka untuk seluruh umat
Islam agar kegembiraan dan keceriaan itu nyata dirasakan oleh seluruh anak
bangsa.
Haramnya
berpuasa di hari nan fitri ini punya makna agung yaitu tegarnya menatap hari
esok dalam bingkai kebersamaan. Kebersamaan menghadapi segala bentuk tantangan,
rintangan, provokasi, berita-berita hoaks baik dari dalam maupun luar, internal
maupun eksternal, dalam negeri maupun luar negeri sebagai sosok bangsa yang
terhormat. Sosok yang mampu menjaga nilai persaudaraan yang kokoh yang memahami
secara benar pada firman Allah SWT. Pemahaman yang tidak mudah di intervensi
oleh kesesatan sehingga menjadi sosok kekuatan dalam bingkai persatuan:
{ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَ
أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُواْ اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ } [الحجرات:10
“Orang-orang
beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat”.
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ} [ الحجرات : 13 ]
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ketiga,
kegembiraan dan keceriaan hari ini lantaran kita mampu menunaikan perintah
puasa Ramadhan salah satu rukun Islam atas taufik dan hidayah Allah SWT. Tanpa
taufik dan hidayah-Nya kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Laa haula
walaa quwwata illaa billaahll ‘aliyyil ‘adziim.
Keempat,
ibadah puasa ibarat proses “turun mesin” kejiwaan manusia Muslim selama satu
tahun sekali. Kesediaan untuk melakukan koreksi, introspeksi, kritik, memupuk
semangat perbaikan, selalu tercermin dalam menjalankan ibadah puasa,
pengendalian hawa nafsu, pengendalian diri dan jiwa berkorban pada umumnya.
Sebenarnya, tidak hanya terfokus pada kehidupan individu saja. lataran individu
ini pada saatnya, perlu dikaitkaitkan dan diangkat ke level kehidupan sosial
dan kepentingan publik yang maslahah.
{ وَيُؤثِرُونَ عَلى أنفُسِهِمْ ولو كانَ بِهم خَصَاصَة, وَمَنْ
يُوقَ شُحَّ نَفسِهِ فأولئِكَ هُم الْمُفلِحُون } الحشر :9
Dimensi
ibadah sosial puasa ini akan melahirkan lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan,
lembaga-lembaga sosial-keagamaan dan lembaga-lembaga negara untuk tetap selalu
menghidupkan semangat social introspection, social critics, social auditing dan
social control. Semuanya mengarah kepada penguatan kehidupan, kesalehan
publik yang lebih nyata dan meluas. Dengan lain kata, bahwa kesalehan pribadi
sangat terkait erat dengan kesalehan sosial kemasyarakatan. Krisis lingkungan
hidup di Tanah Air adalah cermin dari krisis kepekaan dan kepedulian sosial.
Ada
korelasi positif antara krisis sosial dan krisis ekonomi. Dampak krisis ekonomi
terhadap kehidupan rakyat kecil cukup signifikan, khususnya yang terkait dengan
“pendidikan” anak-anak mereka. Gerakan orang tua asuh, rumah singgah,
kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial perlu terus dipupuk, didorong dan
didukung oleh semua pihak. Ada kecenderungan ketidaknyamanan di era reformasi
ini, yaitu menjelmanya gerakan sosial-keagamaan berobah kelamin menjadi gerakan
sosial-politik. Bahkan ada beberapa ormas agama yang melakukan ”kekerasan”
dalam masyarakat, dengan menggunakan dalil-dalil agama.
Maka
pendidikan sangat urgen guna melahirkan insan-insan santun yang berpendidikan
berbasis agama (iman) yang kokoh. Rasulullah SAW dalam berdakwah hampir
menghabiskan usianya dalam mendidik akhlak (karakter) umat. Rasulullah SAW
bersabda:
إنَّما بُعِثْتُ مُعَلِّمًا. رواه ابن ماجه برقم 229 في حديث عبد
الله بن عمرو.
“Sesungguhnya
aku diutus hanyalah (untuk) sebagai pendidik”
Perlu
kesadaran baru dan upaya-upaya yang lebih serius yang dapat menggiring gerakan
sosial-keagamaan ke porosnya semula, yaitu pendidikan. Gerakan
sosial-kemasyarakatan yang peduli (care society) terhadap isu-isu lingkungan
hidup, sosial, ekonomi kerakyatan. Hidup penuh dengan kasih sayang, saling
menghormati adalah lahir dari pendidikan tersebut...
Yang
kelima, puasa Ramadhan ini ditutup dengan Shalat Idul Fitri ini akan bisa
menyelamatkan bangan dari penyakit kronis, wabah endemi kaum-kaum sebelum kita,
yaitu; kufur nikmat, sombong, unjuk kekayaan, saling benci, saling dendam dan
saling centang-perenang (perpecahan). Fitrah manusia yang semula suci-bersih
mulai terkotori noda-noda kesombongan, kebodohan dan dosa. Akibatnya manusia
lupa diri dan lupa Tuhan.
Kehadiran
tamu agung bulan suci Ramadhan guna membersihkan noda dan dosa serta
mengembalikan fitrawi kemanusiaan. Maka kita wajib menjaga kehormatan dan
wibawa bulan Ramadhan ini.
Rasulullah
SAW telah mengurai macam-macam penyakit sebagai tantangan yang harus kita
antisipasi dalam sabda beliau :
" دَبَّ إليكم دَاءُ الأُمَمِ قَبلَكم , الحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ
, هِيَ الْحَالِقَةُ , لا أقُولُ حالِقَةَ الشَّعَرِ , وَلَكِنْ حالِقَةَ
الدِّيْنِ"
“Telah
mewabah pada kalian (endemi) penyakit umat-umat sebelum kalian yaitu; dengki
dan benci. Dialah pemangkas! Aku tidak mengatakan: pemangkas rambut, tetapi
pemangkas agama! HR Imam Hakim dan Imam at Tirmidzi dari R Sahabat Zubair ibn
al Awwam.
Sabda
beliau yang lain :
"سَيُصِيبُ أمَّتِى دَاءُ الأُمَمِ , الأشَرُ وَالْبَطَرُ
والتَّكَاثُرُ , وَالتَّشَاحُنُ فى الدنيا والتَّبَاغُضُ وَالتَّحَاسُدُ حتى
يَكُونَ الْبَغْيُ ." ك عن أبى هريرة . صحيح.
“Akan
mewabah umatku penyakit umat terdahulu; kufur nikmat, culas dikala nikmat,
saling unjuk kekayaan, dendam kasumat, saling membenci, saling menaruh dengki
sehingga melanggar batas-batas norma”. HR Hakim dari Abi Hurairah RA. Sahih.
Dengan
demikian kita sebagai umat yang terpilih dalam “kontes” bulan Ramadhan ini akan
mudah masuk pada klasifikasi Al-Qur’anul Karim yang seimbang (muqtasid) untuk
menuju peringkat سابق بالخيرات بإذن الله tentu
harus cerdas mencermati posisi kita pada klasifikasi firman Allah SWT ini :
{ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ
عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ
سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ}( فاطر
, الآية
: 32 )
Artinya ;
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara
hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang amat besar. Al-Qur’an Surat Fathir; ayat 32.
Yang
dimaksud dengan orang yang "menganiaya dirinya sendiri" (dzalimun
linafsihi) ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya,
dan yang dimaksud "pertengahan" (seimbang) ialah orang-orang yang
kebaikannya seimbang dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan yang
"lebih dahulu dalam berbuat kebaikan" (sabiqun bil khairat bi
idznillah) ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang
berbuat kesalahan.
Lalu,
pada posisi manakah kita, dzalimun linafsih, muqtasidun ataukah sabiqun
bil khairat? []
NU ONLINE,
07 Juni 2019
KH.
Miftachul Akhyar | Rais Aam PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar