Partai Politik Pasca-pemilu
Oleh: Salahuddin Wahid
Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan hasil resmi penghitungan
suara Pemilu Legislatif 2019. Hasilnya, PDI-P 19,33 persen; Gerindra 12,57
persen; Golkar 12,31 persen; PKB 9,69 persen; Nasdem 9,05 persen; PKS 8,21
persen; Demokrat 7,77 persen; PAN 6,84 persen; PPP 4,52 persen; Perindo 2,67
persen; Partai Berkarya 2,09 persen; PSI 1,89 persen; Hanura 1,54 persen; PBB
0,79 persen; Garuda 0,5 persen; dan PKPI 0,22 persen.
Ada sembilan partai politik yang berhasil masuk ke DPR. Mungkin
dua atau tiga partai tidak punya wakil di DPRD.
Partai yang dianggap sebagai partai kiri adalah PDI-P dengan
jumlah suara 19,33 persen. Partai yang dianggap sebagai partai kanan adalah PKS
dengan jumlah suara 8,21 persen. Partai yang dianggap sebagai partai tengah
kanan adalah PKB, PAN, dan PPP dengan jumlah suara 21,05 persen.
Partai yang dianggap sebagai partai tengah adalah Golkar, Nasdem,
Demokrat, dan Gerindra. Golkar dan partai-partai yang merupakan turunan
dari Golkar itu mencapai jumlah suara 41,7 persen. Sejumlah partai
lagi dapat dianggap turunan Golkar, yaitu Perindo, Berkarya, Hanura, dan PKPI,
yang jumlah suaranya adalah 7,02 persen. Ternyata koalisi dalam pilpres
mengabaikan pengelompokan partai di atas.
PPP masih beruntung bisa lolos ke Senayan, padahal sebulan sebelum
pemilu mendapat pukulan berat akibat kasus korupsi ketua umumnya. Kalau pada
Pemilu 2024 ambang batas itu dinaikkan lagi, PPP mungkin tidak mempunyai
wakil di DPR. Hal itu bisa dicegah apabila dalam lima tahun ke depan PPP bisa
melakukan konsolidasi. Namun, itu tidak mudah dilakukan, bergantung kepada
siapa yang akan menjadi ketua umum PPP. Dan, kita tahu sungguh sulit mencari
tokoh yang bisa menggantikan posisi Muhammad Romahurmuziy sebagai Ketua Umum
PPP.
Partai Berkarya kalau mulai aktif lebih awal, ditata dengan baik,
dan mesinnya betul-betul digerakkan masih bisa berharap menembus ambang batas 4
persen. Kegagalan Perindo menunjukkan bahwa dukungan dana dan media elektronik
saja tidak cukup kuat menembus jumlah suara 4 persen. Diperlukan tokoh partai
yang mampu menarik minat pemilih. Tidak berhasilnya Partai Hanura juga
menunjukkan pentingnya peran tokoh partai dalam meraih dukungan pemilih.
Kalau wakil-wakilnya di DPRD bekerja dengan baik dan mampu menjaga
integritas mereka, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) punya prospek yang baik
karena berpotensi mendapat dukungan milenial dan mereka yang menginginkan
perubahan mendasar kehidupan politik Indonesia. PSI bisa dianggap satu arus dengan
PDI-P. PBB dan PKPI sebaiknya tidak meneruskan perjuangan mereka dalam pemilu
dan bergabung dengan partai lain yang sejenis.
Gerindra identik dengan Prabowo Subianto. Karena itu, Gerindra
akan menghadapi masalah besar kalau Prabowo tidak menjabat sebagai ketua umum
lagi. Mungkin Prabowo bisa menjadi ketua dewan pembina, tetapi tidak mudah
mencari penggantinya sebagai ketua umum.
Partai Demokrat mungkin lebih ringan tantangannya. Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) bisa menjadi ketua dewan pembina dan Agus Harimurti Yudhoyono
(AHY) menjadi ketua umum. PDI-P juga akan menghadapi masalah serupa kalau
Megawati Soekarnoputri meletakkan jabatan sebagai ketua umum. Sebaiknya,
Megawati pindah ke posisi semacam ketua dewan pembina dengan wewenang yang
besar. Itu harus dilakukan segera agar PDI-P punya cukup waktu untuk berbenah
menghadapi 2024.
Partai berbasis massa Islam
Pemilu 1955 menghasilkan peta partai politik yang selama ini
dipakai sebagai acuan dalam dunia politik kepartaian di Indonesia. Saat itu ada
empat partai besar, yaitu PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan PKI. Warga
PNI dianggap tersebar ke PDI-P dan Golkar. Warga Masyumi dianggap tersebar ke
PKS dan PAN. Warga NU dianggap tersebar ke PKB dan PPP. Keturunan PKI
kebanyakan bergabung ke PDI-P.
Ternyata anggapan tersebut saat ini tidak sepenuhnya benar. Data
hitung cepat (exit poll)
dari salah satu lembaga survei mengungkap fakta yang mungkin tidak
diketahui kebanyakan orang. Pilihan mereka yang mengaku sebagai warga NU
terbagi sebagai berikut: PKB 15 persen, Gerindra 13 persen; PDI-P 17 persen,
Golkar 12 persen, Nasdem 9 persen; PKS 7 persen, Demokrat 8 persen, PAN 5
persen, dan PPP 5 persen.
Hanya 15 persen warga NU yang memilih PKB, di bawah yang memilih
PDI-P. Kalau ditambah suara PPP, jumlahnya menjadi 20 persen. Suara warga NU
tersebar dengan pola bahwa Golkar dan partai turunannya menguasai suara warga
NU.
Pilihan mereka yang mengaku sebagai warga Muhammadiyah adalah
seperti berikut: PKB 5 persen, Gerindra 12 persen, PDI-P 1 persen, Golkar 9
persen, Nasdem 8 persen, PKS 12 persen, PAN 19 persen, Demokrat 7 persen, dan
PPP 4 persen. Warga Muhammadiyah yang memilih PAN lebih tinggi daripada yang
memilih partai lain. Pilihan warga ormas Islam lain adalah sebagai berikut: PKB
7 persen, Gerindra 13 persen, PDI-P 12 persen, Golkar 17 persen, Nasdem 7
persen, PKS 14 persen, PAN 8 persen, Demokrat 8 persen, dan PPP 3 persen.
Jadi, warga NU yang memilih partai Golkar dan partai turunan
Golkar lebih tinggi daripada yang memilih PKB dan PPP. Warga Muhammadiyah yang
memilih Golkar dan partai turunan Golkar juga lebih tinggi daripada yang
memilih PAN atau PKS. Pola yang sama terjadi di dalam kalangan warga ormas
Islam yang lain dan juga umat Islam yang tidak ikut ormas Islam apa pun.
Pengurangan jumlah partai
Perlu dilakukan upaya untuk mengurangi jumlah partai. Ambang batas
jumlah pemilih partai untuk bisa lolos ke DPR perlu dinaikkan secara bertahap,
paling tidak 1 persen setiap pemilu. Ambang batas 10 persen akan efektif
dalam mengurangi jumlah partai yang lolos ke DPR. Dengan melihat perolehan
suara saat ini, hanya ada tiga partai yang lolos. Mungkin ada satu atau dua
partai lagi yang bisa lolos.
Partai yang terbukti mampu bertahan dalam jangka waktu lama dan
memperoleh jumlah suara tinggi adalah Partai Golkar. Partai itu tidak
tergantung kepada satu tokoh tertentu. Maka, diperkirakan Golkar akan menjadi
salah satu partai yang tetap bertahan kalau ambang batas jumlah suara partai
dinaikkan menjadi 10 persen.
Partai yang juga akan mampu lolos adalah PDI-P. Tanpa Megawati pun
PDI-P akan mampu menembus angka 10 persen. Gerindra bisa melampaui ambang batas
10 persen, tetapi bisa juga tidak. Diperkirakan Nasdem dan Demokrat sulit untuk
bisa melampaui ambang batas 10 persen.
Partai berbasis ormas Islam atau berbasis massa politis Islam
besar kemungkinan akan ada yang bisa menembus ambang batas 10 persen, yaitu
PKB. Diperkirakan massa PPP sebagian besar akan bergabung dengan PKB. Masih
diperlukan satu partai lagi yang bisa mewakili aspirasi umat Islam. Untuk bisa
menembus ambang batas 10 persen, PKS dan PAN harus bergabung. Namun, kita tahu
bahwa tidak mudah untuk membuat mereka bersedia bergabung.
Sejauh ini belum pernah terjadi penggabungan sukarela di antara
dua partai. Penyebab utamanya adalah sulitnya mencapai kata sepakat tentang
pembagian posisi pimpinan di semua tingkat kepengurusan.
Jumlah pemilih partai Islam pada Pemilu 1955 mencapai 43 persen.
Kini, jumlah pemilih partai bernuansa Islam hanya sekitar 30 persen.
Perlu diteliti, apakah menurunnya jumlah pemilih partai bernuansa Islam itu
karena faktor yang bersifat ideologis/pemikiran atau karena tidak adanya tokoh
yang diterima berbagai pihak terkait (stakeholders)
dan masyarakat atau perilaku negatif para wakil rakyat dan tokoh partai.
Para tokoh partai bernuansa Islam perlu mencari solusi terhadap
fenomena tersebut. Kalau itu diabaikan, masa depan partai berbasis ormas Islam
atau berbasis massa Islam politik akan menghadapi tantangan berat.
Ke depan tetap diperlukan kehadiran dua partai bernuansa Islam, yaitu partai berbasis ormas Islam dan partai berbasis massa Islam politik. Partai bernuansa Islam akan berperan menjadi penyalur aspirasi massa Islam politik secara konstitusional. Kalau tidak ada saluran aspirasi itu, dikhawatirkan aspirasi massa Islam politik akan disampaikan secara inkonstitusional. []
KOMPAS, 27 Juni 2019
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar