Peziarah
Spiritual
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Sekadar
relaksasi, saya menonton video penampilan Whitney Houston, penyanyi kulit hitam
bersuara emas. Ia aktris sekaligus penyanyi cantik papan atas dunia.
Lahir di
New Jersey, 9 Agustus 1963, meninggal di kompleks perumahan mewah Beverly
Hills, California, 11 Februari 2012, pada usia 48 tahun, Houston ditemukan
meninggal di bak mandi terkena serangan jantung dan mengidap adiksi kokain.
Suara
indah dan paras cantiknya pelan-pelan menghilang. Pikiran saya menerawang jauh,
betapa hidup ini penuh misteri. Ada episode kapan seseorang mesti bekerja keras
untuk menemukan bakat dan mengejar mimpinya. Ada episode seorang bintang
berdiri di puncak ketenaran, berlimpah kemewahan.
Namun,
sering terjadi, selagi berada di puncak ketinggian, tiba-tiba horor dan teror
kehidupan datang menyergap. Muncul bayangan suram tentang hari-hari esok yang
pahit mencekam. Bayangan kerut wajah ketuaan, fisik yang kian rapuh,
popularitas memudar, dan sederet penyakit mengendap-endap siap menyergap. Semua
itu berakhir pada momen kekalahan di hadapan tangan kematian yang sangat
perkasa. Fisik yang semula gagah perkasa atau cantik lemah gemulai berubah jadi
seonggok daging yang segera membusuk.
Sering
kita lupa, manusia adalah makhluk peziarah, melintasi dan berkelana dalam ruang
dan waktu yang dia sendiri tidak tahu garis batas awal dan akhirnya. Ia berasal
dari Tuhan dan akhirnya kembali kepada Tuhan. Namun, banyak juga manusia yang
tidak percaya atau tidak peduli keberadaan Tuhan. Paling jauh orang hanya bisa
membangun argumentasi sebagai pijakan pilihan imannya, tetapi nalar tidak akan
membuktikannya. Akhirnya Tuhan yang mahagaib itu diimani saja, bukan
diperdebatkan.
Bagi
orang beriman, keunggulan dan kekhasan manusia dibandingkan dengan penghuni
bumi lain terletak pada dimensi dan kualitas rohaninya, mengingat Tuhan telah
meniupkan roh dari-Nya kepada Adam setelah bentuk jasadnya sempurna (Al Quran
15:29). Begitu pun Injil menyebutkan, ”Ketika itulah Tuhan Allah membentuk
manusia itu dari debu tanah dan mengembuskan napas hidup ke dalam hidungnya;
demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kejadian 2:7).
Demikianlah,
ibarat kertas putih atau flashdisk kosong,
setiap anak manusia adalah seorang peziarah yang senantiasa menorehkan memori
setiap peristiwa sekecil apa pun yang dialaminya ke dalam folder jiwanya.
Dia
bergerak ke depan dalam kapsul waktu yang tidak kenal mundur. Setiap momen
adalah sebuah peristiwa ziarah yang mungkin kita lupakan, tetapi memorinya tak
akan hilang, terekam dalam lembaran sel-sel neuron. Jadi, menjadi tua itu
keniscayaan yang tak perlu diperjuangkan, tidak juga bisa dihindari. Namun,
untuk tumbuh menjadi bijak dan membuat hidup lebih bermakna, perlu perjuangan
dan pengorbanan.
Ziarah agama dan budaya
Semua
agama besar yang diyakini asal-usulnya dari Tuhan yang sama melakukan
ziarah. Pada awalnya agama itu disampaikan oleh para rasul pilihan-Nya yang
hidup serta berkiprah dalam ruang dan waktu yang berbeda. Karena para nabi
utusan Tuhan itu menyapa umatnya yang berbeda ruang dan zaman, maka bahasa dan
metode penyampaiannya tidak sama, beberapa aspek ajarannya juga tidak sama.
Setelah
para nabi wafat, para murid dan pengikutnya menjaga dan mengembangkannya
sehingga di muka bumi terdapat beragam penerus dan umat dengan pegangan warisan
rasul Tuhan. Ibarat sungai, semua agama datang dari mata air yang sama dan
mengajak umat kembali kepada Tuhan yang sama.
Ajaran
agama yang berasal dari Tuhan, ketika masuk pelataran sejarah lalu menggunakan
kendaraan budaya untuk menemui dan menyapa umatnya, maka terjadi pergumulan
agama dan budaya. Bahkan, antarsesama tradisi agama itu saling berjumpa dan
berbaur sehingga tradisi keagamaan itu tak lagi eksklusif. Begitu pun pemeluk
sebuah agama saat ini saling tukar pengalaman, saling memperkaya, dan saling
memengaruhi.
Himpunan
ajaran dan tradisi keagamaan itu dikembangkan dan ditafsirkan dengan logika dan
instrumen budaya. Ada kalanya elemen agama lebih menonjol, ada kalanya elemen
budaya yang dominan. Namun, semua agama itu jika ditelusuri dan disarikan akan
ditemukan sari pati ajaran fundamental yang sama, yaitu mengimani Tuhan Yang
Maha Esa, sang pencipta alam semesta ini. Sebutan dan nama yang dinisbatkan
kepada Tuhan berbeda-beda, semata karena perbedaan bahasa.
Memasuki
era global yang didukung teknologi informatika yang semakin canggih, berlangsung
perjumpaan yang semakin intens tidak saja antarumat beragama, tetapi juga
berbagai ajaran dan pemikiran agama saling bertemu dan berdialog. Terjadi
ziarah budaya dan agama (passing
over) sehingga folder memori seseorang isinya semakin beragam, tak
lagi homogen hanya satu jenis agama dan budaya.
Dulu, di
abad tengah, bahasa pemikiran Islam didominasi oleh bahasa Arab, sekarang
buku-buku dan forum keilmuan Islam tingkat internasional banyak menggunakan
bahasa Inggris. Begitu pun orang menafsirkan agama menggunakan berbagai
disiplin ilmu dan teori yang dibangun oleh sarjana non- Arab dan non-Muslim.
Dengan demikian, apa yang disebut ajaran agama yang murni mesti diperjelas
maksud dan batasannya mengingat pertemuan dan percampuran lintas tradisi agama
telah berlangsung intensif dan ekstensif.
Lalu,
bagaimana gambaran masa depan agama? Esensi keagamaan masa lalu, masa kini, dan
masa depan tetaplah sama, yaitu sebuah kesadaran spiritual bahwa manusia itu
makhluk peziarah, dari Tuhan kembali kepada Tuhan. Adapun dunia ini obyek
ziarah budaya, entitas manusia yang spiritual dilengkapi instrumen fisikal dan
nalar untuk menikmati kemerdekaan yang dianugerahkan Tuhan. Sebuah kemerdekaan
yang tidak gratis, tetapi mesti dipertanggungjawabkan penggunaannya selama
manusia berkelana di muka bumi.
Manusia peziarah
Agama,
baik berupa doktrin maupun kesadaran fitri yang melekat dalam nurani setiap
orang, selalu mengingatkan status manusia sebagai peziarah dan bertanggung
jawab akan apa yang diperbuat dalam peziarahannya.
Kita
semua diingatkan bahwa seorang peziarah tidak boleh merusak bumi. Sesama
peziarah hendaknya saling mengasihi, bahu-membahu dalam membangun peradaban,
sehingga bumi semakin indah dan nyaman untuk dihuni rombongan peziarah
berikutnya.
Munculnya
pertengkaran dan perkelahian di antara umat beragama biasanya dipicu oleh
faktor non-agama, mirip film koboi yang awalnya berteman kompak menikmati
perjalanan bersama, lalu berantem saling tembak gara-gara harta karun atau
kekasih.
Di masa
mendatang, ekspresi keberagamaan masyarakat semakin beragam, penuh dengan
keragaman serta sintesis kultural dan bahasa sehingga yang masih terlihat
distingtif adalah format ritual setiap agama. Namun, sangat mungkin akan muncul
agama baru yang berusaha menyatukan berbagai agama dengan lebih menekankan
spiritualitas dan etika kemanusiaan. Ketika orang mengaku beragama,
pertanyaannya adalah apa yang disumbangkan untuk memperkaya peradaban secara
berkesinambungan, dari generasi ke generasi.
Jangan
sampai gerakan keagamaan malah merusak peradaban. Perjalanan ini akan indah
dijalani ketika kita bisa menjalin persahabatan dengan teman seperjalanan, lalu
meninggalkan warisan untuk meningkatkan standar hidup manusia. Namun, sungguh
menyedihkan jika di ujung perjalanan nanti kita menengok ke belakang, lalu
mendapatkan jejak hidup kita masuk kategori generasi peziarah perusak tak
bermoral. []
KOMPAS,
28 Mei 2019
Komaruddin Hidayat | Dosen pada Fakultas Psikologi UIN
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar