Keberanian Menjadi Pemimpin Bangsa
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dewasa ini bangsa kita tengah bersiap-siap menyambut pemilu 2004,
dengan segala duka dan suka, kelebihan dan kekurangannya. Ada yang
menyangsikan, dapatkah bangsa ini melakukan pemilu yang demokratis? Banyak juga
yang mempertanyakan dapatkah dilaksanakan Pemilu yang jujur dan mungkin dapat
dipertanggungjawabkan kepada generasi-generasi mendatang? Ada pula yang melihat
bahwa kita masih jauh dari demokrasi, tanpa menjelaskan apa yang dimaksudkan
dengan istilah tersebut. Tetapi rakyat kebanyakan justru percaya kepada
kemampuan bangsa kita untuk melaksanakan pemilihan umum yang demokratis. Tentu
saja masih akan terdapat kecurangan-kecurangan dan kesalahan-kesalahan dalam
pemilihan umummendatang, tetapi itu adalah hal yang sudah diramalkan akan
terjadi. Ketika penulis, sebagai salah seorang pimpinan PKB ditanya oleh
seorang wartawan Australia bukankah demokratisasi memerlukan waktu sangat
panjang, sekitar 80-90 tahun dan mengapakah penulis berani membentuk PKB untuk
sasaran tersebut? Penulis menjawab menurut pepatah Tiongkok kuno, perjalanan
10.000 lie (sekitar 5000 km) dimulai dengan sebuah ayunan langkah pertama.
Penulis berharap, pemilu yang akan datang, merupakan ayunan
langkah pertama seperti digambarkan oleh pepatah tersebut. kalau partai-partai
politik lain dikuasai preman dan ada pula yang menggunakan uang sebagai alat
memenangkan pihaknya dalam pemilu, penulis memilih untuk melakukan pembersihan
di kalangannya sendiri. Tentu saja, “pembersihan” yang dilakukan itu tidak
dapat diselesaikan sekaligus. Namun dalam pandangan penulis, kebersihan politik
akan menjadi salah satu faktor menangnya peserta pemilu, karena rakyat telah
sadar saat ini. Mereka tidak akan memberikan suara bagi partai politik yang
kotor. Terkadang, tindakan penulis untuk membersihkan PKB dianggap oleh
sementara pengamat sebagai tindakan yang sia-sia belaka. Mereka menunjuk kepada
pengalaman masa lampau, ketika pemerintahan Orde Baru memegang peranan yang
menentukan, dan selalu memenangkan pemilu.
Tidak mereka sadari, sebenarnya Orde Baru tidak pernah memenangkan
pemilu, yang mereka lakukan adalah rekayasa pemilu, guna menguntungkan pihak
sendiri. Rekayasa itu dilakukan melalui manipulasi hasil pemungutan suara.
Caranya, dengan menghitung suara “pihak lawan” dalam pemilu, atau suara yang
tidak dicoblos oleh para pemilih, seolah-olah dua pertiga atau lebih sisanya
mendukung pihak sendiri. Dengan cara itu, terjadi hal-hal menggelikan, seperti
penghitungan suara di pedalaman Sulawesi Selatan. Namun, para “pengamat”
menganggap rakyat memilih parpol itu, yang penulis rasa merupakan pendapat yang
salah Hal-hal semacam ini sudah bukan rahasia lagi, dan saat ini tinggal
menjadi kenangan bagi para pemilih.
Penulis yakin, dengan penjagaan aparat negara yang juga
menginginkan kejelasan dari pemilu itu, kita semua harus berpendirian bahwa
persiapannya dapat dilaksanakan dengan baik, walaupun pelaksanaannya masih
banyak kekuarangannya. Bahkan menurut kabar angin yang sampai ke telinga
penulis, KPU dan Panwaslu turut bermain uang. Benar atau tidaknya kabar angin
itu, akan dibuktikan oleh pemerintahan yang akan datang. Tetapi, dalam jangka
panjang hal-hal seperti itu akan “hilang” dengan sendirinya, jika penghasilan
para warga negara meningkat dan cukup untuk kebutuhan sehari-hari karena itu,
pemilu yang ideal dapat dilakukan saat ini di negeri kita, namun ia cukup
“bersih” secara relatif , untuk menjadi permulaan yang nyata dan kongret bagi
proses demokratisasi kehidupan bangsa kita.
Memang, jalan menuju demokratisasi kehidupan sebuah bangsa tidak
sama. Di Malaysia demokratisasi masih bertumpu pada hal-hal formal belaka, yang
selalu memenangkan UMNO (United Malaysian National Organization), seperti
adanya ISA (Internal Security Act), yang memungkinkan penangkapan dan penahanan
seseorang tanpa pemberian alasan oleh pemerintah kepada DPR maupun publik. Jika
nanti ISA telah dirubah, guna memungkinkan pertanggung jawaban yang jujur oleh
pemerintah, barulah demokratisasi yang penuh akan tercapai di negeri itu.
Selama ISA masih dapat dipakai oleh pemerintah sekehendak hatinya, selama itu
pula demokratisasi yang sebenarnya belum tegak di negeri jiran tersebut. Namun,
bagaimanapun juga proses demokratisasi telah mulai berjalan di negeri itu,
sehingga kita dapat melihat atau mengharapkan proses menuju pelaksanaan
demokratisasi dengan segala suka dan dukanya.
Demikian pula republik rakyat Tiongkok, orang mengeluhkan, bahwa
pemerintahan Jiang Zemin sebagai tidak demokratis tetapi tidak dapat disangkal
bahwa mereka adalah para pengikut Deng Hsiao-Ping yang oleh orang para pejabat
Tionghoa sendiri diakui menggunakan cara “pragmatis” dalam menyelesaikan segala
macam masalah. Pragmatis itu sebenarnya adalah paham politik, yang oleh Deng
dijadikan “ideologi ekonomis”. Karena pragmatisme di bidang ekonomi itu,
menuntut keleturan sikap, maka dengan sendirinya ia merupakan bagian dari
proses demokratisasi. Namun, ketika para mahasiswa menuntut pemerintahan
federal bagi Tiongkok, maka hal itu menimbulkan ketakutan pada para pemimpin
RRT, seperti Jiang Zemin, akan berantakannya Tiongkok sebagai sebuah negara hal
inilah yang membuat mereka mengambil sikap yang ‘otoriter” terhadap para mahasiswa
itu.
Ketika para mahasiswa yang menuntut pemerintahan federal
berdemonstrasi di lapangan Tiananmen, maka bagi Jiang Zemin dan kawan-kawan
tidak ada pilihan lain selain mengirimkan Tank:. Hasilnya adalah gambar yang
unik sebuah foto seorang mahasisawa yang dengan tangan terhentang menghadapi
sebuah Tank besar dengan moncong bermeriam yang sangat menakutkan. Gambar
inilah yang dicetak oleh seluruh pers di dunia, seolah-olah seolah-olah tidak
ada demokrasi di Tiongkok. Di sinilah, kesalah pengertian “pihak barat”
mengatakan tidak ada demokrasi di Tiongkok pada hari ini. Soal tersebut
dibiarkan oleh Jiang Zemin dan kawan-kawan tanpa ada bantahan sedikitpun.
Akibatnya RRT tetap dikucilkan dari percaturan dunia. Baru beberapa tahun yang
lalu RRT diterima kembali dalam masyarakat internasional melalui penetapan
Beijing sebagai tempat berlangsungnya Olimpiade beberapa tahun lagi. Barulah
Jiang Zemin mengorgnaisir perayaan terima kasih besar-besaran melalui sebuah
perayaan di lapangan Tiananmen, dengan mendatangkan para penyanyi kelas dunia
diantaranya, Pavarotti dan Placido Domingo.
Jelaslah dari kedua contoh Malaysia dan Tiongkok itu, bahwa
demokratisasi adalah sebuah proses, yang tidak sekali jadi. Karena ukuran yang
kita bawa berbeda dari apa yang dianggap “barang lumrah” di dunia kapitalis
atau di negeri-negeri yang memang sudah demokratis: Kalau memang kita gunakan
ukuran-ukuran seperti itu, seperti dilakukan oleh komisaris PBB untuk HAM, akan
lain hasilnya dari apa yang ada dilapangan. Hal inilah yang dilakukan oleh
“para pejuang HAM” di negeri kita, sebagian besar hingga hari ini.
Ukuran-ukuran “orang luar” menggunakan untuk menilai “perkembangan akar rumput”
di negeri kita, yang berbeda dari “nilai-nilai demokratis yang sudah mapan”.
Untunglah, akhir-akhir ini timbul kesadaran, bahwa hal itu tidak mencerminkan
kenyataan yang sebenarnya.
Karenanya, penulis gembira dengan adanya kenyataan bahwa telah
terbentuk Aliansi Anti Politisi Busuk. Ini menunjukan, para aktivis kita mulai
berbicara dengan “bahasa rakyat” yang menjadi perhatian akar rumput. Semoga
kesadaran seperti ini tumbuh luas dan mencakup pihak-pihak “kalangan atas”
juga. Hanya dengan kerjasama kalangan atas dan buruh, termasuk juga
partai-partai politik, perjuangan untuk kepentingan demokrasi di negeri
ini dapat berhasil dengan sungguh-sungguh. Karena itu, menyamaratakan para
pejuang hal-hal ideal dengan para politisi yang doyan uang, sama sekali
tidak produktif, yang dimenangkan haruslah para pejuang demokrasi itu. Mudah
dikatakan namun sulit dilaksanakan, bukan? []
Jakarta, 5 Pebruari 2004
Duta Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar