Hukum Membeli Produk Luar
Negeri Dibanding Produk Lokal
Pertanyaan:
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami
hormati. Sampai detik ini masih banyak anak-anak negeri ini lebih suka memakai
barang-barang impor. Biasanya kalau ada jenis barang sama di mana yang satu
adalah produk lokal sedang yang lainnya adalah barang impor, orang-orang kita
cenderung memilih untuk membeli barang impor. Padahal secara kualitas tidak
jauh beda bahkan mutu barang lokal itu kadang lebih bagus. Pertanyaan yang
ingin kami ajukan adalah bagaimana hukumnya lebih memilih barang impor
ketimbang memilih untuk membeli barang lokal padahal secara kualitas adalah
sama dan harganya tidak jauh berbeda? Atas penjelasanya kami ucapkan terima
kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Andrew – Jakarta
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah SWT. Fenomena produk impor dari luar negeri yang terus membanjiri negeri
kita adalah hal yang bisa mengandung nilai positif dan negatif. Hadirnya
produk-produk tersebut menyebabkan konsumen dalam negeri memiliki banyak
pilihan yang beragam.
Aktivitas jual-beli adalah termasuk dalam
kategori mu’amalah. Sedang pada dasarnya hukum bermuamalah adalah boleh
sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya. Tidak ada nash yang secara tegas
melarang seorang Muslim untuk membeli barang impor. Karena itu harus
dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu kebolehan untuk membeli barang impor
sepanjang barang yang dibeli tersebut bukan termasuk barang yang diharamkan
dalam pandangan Islam.
Namun persoalannya ternyata tidak sesederhana
itu karena kecenderungan konsumen dalam negeri untuk lebih memlih produk impor
ternayata disadari atau turut serta menghambat kemajuan perekenomian masyarakat
dalam negeri itu sendiri.
Sebab, sejatinya apabila konsumen dalam
negeri lebih senang membeli barang-barang impor maka yang akan memetik manfaat
terbesar adalah produsen barang di luar negeri. Uang kita akan mengalir ke luar
tanpa ada manfaat ekonomi ke dalam.
Hal Ini tentu menjadi problem tersendiri
karena sikap lebih senang membeli barang impor malah menguntungkan pihak luar
(i’anah ‘alal ghair) dan merugikan pihak dalam negeri secara ekonomi.
Dengan demikian kebiasaan untuk membeli
barang impor daripada barang buatan dalam negeri padahal ada barang buatan
dalam negeri yang sama-sama berkualitas merupakan kebiasaan yang sudah
sepatutnya untuk dihindari. Sebab, kebiasaan tersebut malah menguntung pihak
luar dan merugikan bangsa sendiri.
وَمِنْ
هَذِهِ الْعَادَاتِ وُلُوعُ النَّاسِ بِالشِّرَاءِ مِنَ الْأَجْنَبِيِّ
يُفَضِّلُونَ عَلَى أَبْنَاءِ الْوَطَنِ
Artinya, “Dari salah satu kebiasaan (yang
tidak baik) ini adalah orang lebih suka membeli (produk, pent) orang asing
ketimbang produk anak negeri,” (Lihat Ali Mahfudl, Al-Ibda’ fi Madharil
Ibtida’, [Riyadl, Maktabah Ar-Rusyd: 1421 H/2000 M], cet pertama, halaman
354).
Berpijak dari sini maka sudah sepatutnya bagi
kita untuk mencintai produk buatan dalam negeri. Karena dengan mencintainya,
maka sama dengan membantu memperkuat ekonomi sesama anak bangsa. Lain halnya
jika kita lebih cenderung memilih produk impor.
Jika penjelasan singkat ini ditarik dalam
konteks pertanyaan di atas, maka jawaban atas pertanyaan tersebut adalah boleh
membeli barang impor, tetapi kendati pun boleh tetapi sebaiknya dihindari jika
memang masih ada produk dalam negeri karena berpotensi merugikan produsen dalam
negeri sendiri.
Dengan kata lain, jika ada dua produk yang
sama kualitas dan dengan harga yang tak jauh berbeda, di mana yang satu adalah
produk impor sedang yang lainnya adalah produk dalam negeri, maka hukum membeli
produk impor dalam konteks ini adalah makruh. Alasannya sebagaimana yang telah
kami kemukakan di atas.
Untuk meningkatkan daya saing di antara
gempuran produk-produk dari luar, para produsen lokal harus selalu membuat
langkah-langkah terobosan dan inovatif sehingga membuat masyarakat lebih
tertarik untuk melirik produk lokal. Sudah sepatutnya kita semua mendukung
gerakan mencintai produk dalam negeri.
Hal penting yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa status hukum makruh tersebut mesti dibaca dalam konteks ketika barang
yang kita perlukan tidak bisa dipenuhi oleh produk lokal, tetapi harus
didatangkan dari luar.
Demikian jawaban singkat yang dapat kami
kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima
saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar