Apakah Shalat Jumat itu
Zuhur yang Diringkas?
Seperti yang maklum kita ketahui, shalat
Jumat dilaksanakan sebanyak dua rakaat. Keberadaannya dapat menggantikan
kewajiban shalat zuhur. Bahkan, orang yang tidak wajib menjalankan Jumat
seperti wanita, tidak perlu mengulangi shalat zuhur ketika mereka turut serta
melaksanakan Jumat. Ulama tidak ikhtilaf dalam hal ini.
Namun ulama berbeda pendapat mengenai
kedudukan shalat Jumat, apakah ia adalah shalat yang berdiri sendiri atau zuhur
yang diringkas. Menurut pendapat qaul jadid (pendapat Imam Syafi’i saat beliau
di Mesir), Jumat adalah shalat yang sempurna, dua rakaat Jumat tidak ada
hubungannya dengan shalat zuhur, ia berdiri sendiri secara sempurna. Sedangkan
menurut qaul al-qadim (pendapat Imam Syafi’i saat beliau di Iraq), Jumat adalah
hasil dari zuhur yang diringkas, dari empat menjadi dua rakaat.
Qaul al-jadid berargumen, bahwa zuhur tidak
dapat menggantikan Jumat, juga berdasarkan statemen Abdullah bin Umar yang
menyatakan bahwa dua rakaat Jumat adalah shalat yang sempurna.
Syekh Abdul Hamid al-Syarwani menegaskan:
والجديد
أنها ليست ظهرا مقصورا وأن وقتها وقته تتدارك به بل صلاة مستقلة لأنه لا يغني عنها
ولقول عمر رضي الله تعالى عنه الجمعة ركعتان تمام غير قصر على لسان نبيكم صلى الله
عليه وسلم وقد خاب من افترى أي كذب رواه الإمام أحمد وغيره نهاية ومغني وشيخنا
“Menurut qaul al-jadid, Jumat bukanlah zuhur
yang diringkas, waktu Jumat adalah waktu zuhur yang pelaksanaannya dapat
disusulkan di waktu tersebut, jumat merupakan shalat yang independen, sebab ia
tidak dapat digantikan oleh zuhur, dan karena ucapan Ibnu Umar, Jumat adalah
dua rakaat yang sempurna, bukan zuhur yang diringkas sesuai lisan Nabi kalian.
Dan sungguh merugi orang yang berbohong. Hadits riwayat Imam Ahmad dan
lainnya.” (Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, juz 2,
hal. 404).
Senada dengan keterangan di atas, Syekh
Sulaiman al-Bujarimi mengatakan:
قوله
: ( والجمعة ليست ظهراً مقصوراً ) أشار به للردّ على القول القديم القائل بأنها
ظهر مقصورة
“Ucapan Syekh Khatib, Jumat bukan zuhur yang
diringkas, beliau memberi isyarat untuk menolak pendapat qaul al-qadim yang
mengatakan Jumat adalah zuhur yang diringkas.” (Syekh Sulaiman al-Bujairimi,
Tuhfah al-Habib ‘ala Syrh al-Iqna’, juz 2, hal. 389).
Perbedaan pendapat ini berpengaruh pada
rumusan hukum dalam beberapa cabangan masalah. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, mekanisme niat shalat Jumat.
Apabila dalam Jumat diniati zuhur yang
diringkas, misalkan jamaah meniatkan “saya niat zuhur yang diringkas”, maka ada
dua pendapat. Tidak sah bila berpijak pada pendapat yang menyatakan Jumat adalah
shalat yang independen, wajib bagi jamaah untuk niat Jumat secara khusus.
Sedangkan bila berpijak pada prinsip zuhur yang diringkas, maka sebagian ulama
menganggapnya sah.
Ulama juga berbeda pendapat berkaitan dengan
keharusan niat mengqashar dalam mekanisme niat shalat Jumat. Niat mengqashar
misalkan “nawaitu ushalli al-Jum’ata qahran, saya niat shalat Jumat dengan
diringkas.” Sebagian ulama mewajibkannya, berpijak dari pendapat qaul al-qadim,
sebagian tidak mewajibkan, berpijak dari pendapat qaul al-jadid.
Kedua, hukum shalat zuhur diqashar bagi
musafir yang bermakmum dengan imam shalat Jumat.
Bila mengikuti prinsipnya qaul al-qadim, maka
musafir tersebut diperbolehkan melakukan shalat zuhurnya secara qashr (dua
rakaat). Sedangkan bila mengikuti prinsip qaul al-jadid, maka tidak
diperbolehkan, wajib bagi musafir tersebut melakukan zuhurnya secara sempurna.
Ketiga, hukum menjamak shalat Jumat dengan
shalat Ashar bagi musafir.
Menurut al-Imam al-‘Alla’i, permasalah ini
juga tidak lepas dari dasar pemikiran di atas. Bila berpijak mengikuti prinsip
qaul al-jadid, maka tidak sah, sementara bila mengikuti qaul al-qadim, maka
sah. Menurut al-Imam al-Suyuthi, pendapat yang kuat adalah sah.
Keempat, ketika di tengah-tengah pelaksanaan
Jumat waktu habis.
Ketika di tengah-tengah shalat Jumat waktu
zuhur habis, ulama sepakat tidak cukup meneruskannya sebagai Jumat (hanya
dilakukan dua rakaat). Namun, bolehkah meneruskannya sebagai shalat zuhur
sempurna atau wajib mengulangi dari awal?. Bila mengikuti prinsip shalat yang
independen, maka harus mengulang dari awal. Bila mengikuti dasar pemikiran
zuhur yang diringkas, maka boleh melanjutkan. Menurut imam al-Rafi’i, yang kuat
adalah pendapat yang membolehkan untuk meneruskan zuhur.
Kelima, hukum shalat Jumat bermakmum dengan
musafir yang shalat zuhur diqashar
Dalam masalah ini, bila mengikuti prinsip
pendapat qaul al-qadim, maka hukumnya sah. Namun, jika mengikuti prinsip qaul
al-jadid, sebagian ulama menyatakan tidak sah.
Beberapa cabangan permasalahan fiqih di atas
berkaitan erat dengan perbedaan pandangan mengenai kedudukan shalat Jumat
antara qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Menurut Imam al-Suyuthi, status kuat
dan lemahnya dua pendapat di atas berbeda-beda dalam setiap cabang
permasalahannya. Tidak bisa digeneralkan, prinsip qaul al-jadid lebih kuat,
qaul al-qadim lebih lemah. Dalam satu cabang permasalahan terkadang kuat yang
qaul al-jadid, dalam permasalahan yang lain lebih kuat qaul al-qadim. Demikian
sebagaimana ditegaskan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wa al-Nazhair,
juz 1, hal. 162. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar