Politik
Kebohongan
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Di negara
mana pun, setiap diselenggarakan pemilu selalu muncul isu terjadinya kebohongan
dan kecurangan. Pertanyaannya, seberapa besar kecurangan itu terjadi, lalu apa
dan bagaimana mekanisme penyelesaiannya. Penyelesaian di luar jalur konstitusi
bukannya menyelesaikan masalah, melainkan justru mencederai demokrasi
serta bisa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemenangan
Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat telah menimbulkan
kontroversi di kalangan pengamat politik. Dia bukannya curang dalam melakukan
penghitungan suara, melainkan yang disoroti adalah provokasi dan kebohongan
dalam materi kampanyenya.
Di era
keterbukaan sekarang ini, terlebih jika pilpres diikuti oleh dua pasangan
capres-cawapres, sulit melakukan kecurangan secara masif, sistematis, dan
terstruktur karena masyarakat, partai politik (parpol) peserta pemilu, dan pers
ikut mengawasi serta mengawal proses penghitungan, dari tingkat bawah sampai
pusat.
Sejak
Trump maju sebagai calon presiden AS, berbagai buku yang membahas karakter dan
manuver politiknya bermunculan. Trump telah menggugah kesadaran warga AS
tentang pentingnya kejujuran, sportivitas, dan etika berdemokrasi untuk menjaga
martabat negaranya. Dalam The
Death of Truth (2018), Michiko Kakutani mengulas the decline and fall of reason dalam
narasi politik Donald Trump.
Rakyat AS
diingatkan kembali perjuangan dan pengorbanan Abraham Lincoln yang meletakkan
nilai-nilai fundamental AS berupa rasionalitas, kebebasan, kemajuan, dan
toleransi beragama. Sebagai presiden ke-16 AS, Lincoln dikenal sebagai pemimpin
yang menghapuskan perbudakan dan sangat mencintai persatuan sekalipun dia mesti
mempertaruhkan keselamatan jiwanya yang pada akhirnya ia mati terbunuh, tetapi
dirinya sangat dipuji dan dicintai rakyat sampai hari ini.
Kebohongan
Kakutani
mengutip Paus Fransiskus, There
is no such thing as harmless disinformation; trusting in falsehood can have
dire consequences. Tidak ada yang namanya disinformasi yang tidak
membahayakan, memercayai kebohongan/ kepalsuan dapat menyebabkan konsekuensi
yang mengerikan. Kalimat ini diangkat berkaitan dengan kebiasaan Trump yang
senang bohong, berbicara lebih menonjolkan emosi dan halusinasi, serta
mengabaikan fakta atau kebenaran selama masa kampanye.
Bahkan,
setelah duduk di Gedung Putih, selama setahun menjadi presiden, The Washington Post menghitung
Trump telah berbohong 2.140 kali. Tak ayal lagi, maka bermunculan diksi
semacam truth
decay, post truth, fake news, hoaks, dan semacamnya yang
menjadi bagian dari politik kebohongan dalam perebutan kekuasaan.
Dengan
meminjam kalimat dari Alexander Hamilton, Kakutani menyindir Donald Trump
sebagai a man
unprincipled in private life dan bold in his temper. Trump
juga tanpa malu-malu melancarkan serangan kepada Barack Obama dengan
jargon birtherism,
orang kulit berwarna yang mendaku kelahiran AS yang sesungguhnya tidak layak
menjadi kepala negara yang berkantor di Gedung Putih.
Meminjam
istilah Christopher Lasch, fenomena Trump masuk pada tipologi budaya narsisisme
(the culture of
narcissism) yang menyimpan rasa marah yang intens (intense feeling of rage),
kehampaan jiwa (a sense of
inner emptiness), fantasi dirinya hebat (fantasies of omnipotense),
dan yakin bisa menggerakkan serta mengeksploitasi orang lain untuk memenuhi
ambisinya (a strong belief
in his right to exploit others). Dengan delusi dan fantasi yang
menguasai dirinya, pribadi seperti itu tak segan-segan merusak prinsip
kebenaran, mengutamakan opini ketimbang kebenaran (celebration of opinion over knowledge),
mengutamakan perasaan ketimbang data dan fakta (feeling over facts).
Belakangan
ini Rusia menjadi bahan perbincangan di kalangan analis politik global, diduga
ikut bermain dalam kemenangan Trump di AS. Lebih dari itu, Rusia juga
ditengarai mendukung Nigel Farage di Inggris, Marine Le Pen di Perancis,
Jaroslaw Kaczynski di Polandia, dan Viktor Orban di Hongaria, yang kesemuanya
menggelorakan politik populisme sehingga mereka disebut sebagai grup
Neo-Bolsheviks.
Apa yang
terjadi di AS, perpecahan dalam masyarakat yang timbul akibat berita palsu
(hoaks), akun media sosial dan pernyataan-pernyataan Trump yang mengundang
kemarahan telah dimanfaatkan oleh pasukan web Rusia (troll) untuk merusak
demokrasi di Amerika (Michiko Kakutani, 106).
Bagaimana Indonesia?
Tentu
saya tidak punya kapasitas untuk menilai seberapa jauh pengaruh kekuatan asing
dalam setiap pemilu di Indonesia, termasuk Pemilu 2019. Yang pasti, sejak dulu
wilayah Nusantara ini menjadi wilayah yang diperebutkan (contested zones) oleh
kekuatan asing mengingat sumber alamnya yang kaya raya dan letak geografisnya
sangat strategis secara politik. Dengan demikian, sulit dinafikan pengaruh
kekuatan adidaya dalam setiap pergantian rezim di Indonesia. Mirip suasana
pemilu di AS yang mengantarkan Trump masuk Gedung Putih, pemilu di Indonesia
juga dilanda hoaks dan masyarakatnya terbelah secara tajam oleh isu yang lebih
emosional ketimbang rasional.
Setidaknya
terdapat empat faktor yang membuat situasi politik terasa memanas dan
mengancam persatuan bangsa. Pertama, kondisi masyarakat Indonesia sangat
plural, tersebar ke dalam ratusan pulau dengan tingkat ekonomi dan pendidikan
yang tidak merata.
Kondisi
ini mudah disulut untuk menyudutkan pemerintah yang dianggap gagal mewujudkan
keadilan dan pemerataan pembangunan, yang dianggap masih Jawasentris. Terlebih
lagi di sana terdapat sekelompok minoritas keturunan Tionghoa yang sangat
menonjol dalam berbisnis dan pengelolaan aset negara.
Kedua,
penerapan demokrasi liberal dalam pemilu yang telah membuka peluang bagi
kebangkitan politik identitas keagamaan dan etnis yang hal ini kemudian
dikapitalisasi oleh para politisi sehingga menciptakan polarisasi masyarakat.
Sisi positif dari demokrasi liberal ini adalah merupakan pendidikan politik
bagi warga negara sehingga mereka sadar akan hak-hak politiknya.
Konsekuensi dari demokrasi liberal adalah kegaduhan politik yang merupakan
bagian integral setiap diadakan pemilu.
Ketiga,
pengaruh disrupsi sosial yang diakibatkan oleh kemunculan media sosial berbasis
internet yang membuat birokrasi negara dan tokoh masyarakat memudar wibawanya
serta tidak mampu mengendalikan lalu lintas informasi dan opini yang berkembang
dalam masyarakat. Muncul warga dunia maya yang sangat leluasa menjalin
komunikasi serta opini di luar sekat-sekat dan kaidah konvensional sehingga
keragaman masyarakat Indonesia serta dinamika dan pergaduhan demokrasi
berlangsung sangat bebas. Tak ada institusi dan figur otoritatif yang mampu
membentuk opini tunggal.
Keempat,
dan ini yang paling krusial serta fenomenal, beredarnya hoaks yang ditengarai
menjadi bagian dari strategi kampanye untuk memenangi kontestasi pemilu,
khususnya pilpres. Yang keempat ini sangat efektif digunakan untuk melakukan
pembunuhan karakter lawan (character
assasination). Ketika emosi dan prasangka sudah berkembang dalam
diri seseorang, orang cenderung hanya mau menerima berita yang sejalan dengan
emosinya, bukan nalar kritisnya.
Situasi
ini persis seperti yang ditulis Robert A Heinlein: Anda dapat lebih cepat
memengaruhi seribu orang dengan menarik dan memperkuat prasangka mereka
daripada satu orang dengan menggunakan logika.
Dituntut legawa dan kesatria
Berbagai
kajian psikologi sosial menyimpulkan, dalam setiap pemilu ataupun referendum,
yang lebih menonjol adalah pilihan berdasarkan emosi, senang dan tidak senang,
bukannya nalar sehat yang berbicara benar atau salah. Mengamati pilpres yang
baru saja berlalu, di luar hasil penghitungan suara yang akan diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi siapa yang akan jadi pemenangnya, saya ingin membuat
catatan kecil.
Pilpres
di negara mana pun, pihak petahana sangat diuntungkan oleh posisinya yang lebih
dahulu bekerja sebagai modal untuk memenangi pilpres periode berikutnya. Dengan
fasilitas negara dalam menjalankan tugasnya, Jokowi sudah empat tahun bekerja
dan berkunjung menemui warganya ke berbagai pelosok negeri. Seorang petahana
akan mudah dikalahkan oleh penantangnya jika terlibat skandal korupsi,
melanggar UU, dan sama sekali tidak memiliki prestasi. Di pihak lain, Prabowo
sebagai penantangnya akan mudah mengalahkan petahana jika prestasi sosial
politiknya sangat cemerlang yang dilihat dan dirasakan oleh masyarakat.
Dengan
melihat hasil sementara penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU), perolehan
suara Prabowo sekitar 45 persen sudah merupakan prestasi luar biasa. Ditambah
lagi persentase kenaikan suara untuk Gerindra yang saat ini menduduki posisi
kelima. Ini sebuah capaian karier politik Prabowo yang fenomenal. Namun, untuk
mengalahkan Jokowi sebagai petahana tentu tidak mudah karena Jokowi lebih
dahulu berlari meski Prabowo tetap memiliki harapan menang dalam sidang di
Mahkamah Konstitusi (MK) nanti. Kalau tidak ada harapan, untuk apa melakukan
gugatan. Kecuali ada pertimbangan lain yang saya tidak tahu.
Yang
sangat disayangkan adalah manuver dan retorika politik yang jauh-jauh hari
sebelum pilpres berlangsung, bahwa yang bisa mengalahkan Prabowo hanyalah
kecurangan. Sebagai peserta kontestan, jika tidak lagi percaya pada panitia
penyelenggara sebaiknya jangan ikut berlomba. Atau, pilihan kedua, secara gigih
mengawal proses dan peraturan pemilu agar kecurangan tidak terjadi. Namun,
rupanya yang selalu ditonjolkan adalah menuduh kecurangan dengan membangkitkan
emosi masyarakat yang sesungguhnya masyarakat tidak tahu persis di mana letak
kecurangan yang dituduhkan.
Terjadinya
demonstrasi 22 Mei yang memakan korban jiwa sangatlah merugikan citra Prabowo
sebagai pejuang demokrasi dan sosok jenderal negarawan yang sangat paham etika
serta logika demokrasi. Sebuah demonstrasi yang hanya melukai perasaan
rakyat yang sudah menyukseskan pemilu dengan damai. Untunglah akhirnya tuduhan
dan gugatan terjadinya kecurangan dibawa ke MK. Rakyat menunggu-nunggu bagaimana
proses dan hasil akhir sidang sengketa pemilu itu. Rakyat sangat mengharapkan
persidangan berlangsung transparan serta obyektif dan siapa pun yang dinyatakan
kalah mesti legawa dan menerima secara kesatria. Kalaupun nanti ada demo, kita
akan lebih jelas melihat siapa yang sesungguhnya senang pada kerusuhan serta
tak ingin demokrasi ini tegak di Indonesia. []
KOMPAS,
13 Juni 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam
Internasional Indonesia (UIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar