Rabu, 26 Juni 2019

Kang Komar: Politik Kebohongan


Politik Kebohongan
Oleh: Komaruddin Hidayat

Di negara mana pun, setiap diselenggarakan pemilu selalu muncul isu terjadinya kebohongan dan kecurangan. Pertanyaannya, seberapa besar kecurangan itu terjadi, lalu apa dan bagaimana mekanisme penyelesaiannya. Penyelesaian di luar jalur konstitusi bukannya menyelesaikan masalah, melainkan justru  mencederai demokrasi serta bisa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemenangan Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat telah menimbulkan kontroversi di kalangan pengamat politik. Dia bukannya curang dalam melakukan penghitungan suara, melainkan yang disoroti adalah provokasi dan kebohongan dalam materi kampanyenya.

Di era keterbukaan sekarang ini, terlebih jika pilpres diikuti oleh dua pasangan capres-cawapres, sulit melakukan kecurangan secara masif, sistematis, dan terstruktur karena masyarakat, partai politik (parpol) peserta pemilu, dan pers ikut mengawasi serta mengawal proses penghitungan, dari tingkat bawah sampai pusat.

Sejak Trump maju sebagai calon presiden AS, berbagai buku yang membahas karakter dan manuver politiknya bermunculan. Trump telah menggugah kesadaran warga AS tentang pentingnya kejujuran, sportivitas, dan etika berdemokrasi untuk menjaga martabat negaranya. Dalam The Death of Truth (2018), Michiko Kakutani mengulas the decline and fall of reason dalam narasi politik Donald Trump.

Rakyat AS diingatkan kembali perjuangan dan pengorbanan Abraham Lincoln yang meletakkan nilai-nilai fundamental AS berupa rasionalitas, kebebasan, kemajuan, dan toleransi beragama. Sebagai presiden ke-16 AS, Lincoln dikenal sebagai pemimpin yang menghapuskan perbudakan dan sangat mencintai persatuan sekalipun dia mesti mempertaruhkan keselamatan jiwanya yang pada akhirnya ia mati terbunuh, tetapi dirinya sangat dipuji dan dicintai rakyat sampai hari ini.

Kebohongan

Kakutani mengutip Paus Fransiskus, There is no such thing as harmless disinformation; trusting in falsehood can have dire consequences. Tidak ada yang namanya disinformasi yang tidak membahayakan, memercayai kebohongan/ kepalsuan dapat menyebabkan konsekuensi yang mengerikan. Kalimat ini diangkat berkaitan dengan kebiasaan Trump yang senang bohong, berbicara lebih menonjolkan emosi dan halusinasi, serta mengabaikan fakta  atau kebenaran selama masa kampanye.

Bahkan, setelah duduk di Gedung Putih, selama setahun menjadi presiden, The Washington Post menghitung Trump telah berbohong 2.140 kali. Tak ayal lagi, maka bermunculan diksi semacam  truth decay, post truth, fake news, hoaks, dan semacamnya yang menjadi bagian dari politik kebohongan dalam perebutan kekuasaan.

Dengan meminjam kalimat dari Alexander Hamilton, Kakutani menyindir Donald Trump sebagai a man unprincipled in private life dan bold in his temper. Trump juga tanpa malu-malu melancarkan serangan kepada Barack Obama dengan jargon birtherism, orang kulit berwarna yang mendaku kelahiran AS yang sesungguhnya tidak layak menjadi kepala negara yang berkantor di Gedung Putih.

Meminjam istilah Christopher Lasch, fenomena Trump masuk pada tipologi budaya narsisisme (the culture of  narcissism) yang menyimpan rasa marah yang intens (intense feeling of rage), kehampaan jiwa (a sense of inner emptiness), fantasi dirinya hebat (fantasies of omnipotense), dan yakin bisa menggerakkan serta mengeksploitasi orang lain untuk memenuhi ambisinya (a strong belief in his right to exploit others). Dengan delusi dan fantasi yang menguasai dirinya, pribadi seperti itu tak segan-segan merusak prinsip kebenaran, mengutamakan opini ketimbang kebenaran (celebration of opinion over knowledge), mengutamakan perasaan ketimbang data dan fakta (feeling over facts).

Belakangan ini Rusia menjadi bahan perbincangan di kalangan analis politik global, diduga ikut bermain dalam kemenangan Trump di AS. Lebih dari itu, Rusia juga ditengarai mendukung  Nigel Farage di Inggris, Marine Le Pen di Perancis, Jaroslaw Kaczynski di Polandia, dan Viktor Orban di Hongaria, yang kesemuanya menggelorakan politik populisme sehingga mereka disebut sebagai grup Neo-Bolsheviks.

Apa yang terjadi di AS, perpecahan dalam masyarakat yang timbul akibat berita palsu (hoaks), akun media sosial dan pernyataan-pernyataan Trump yang mengundang kemarahan telah dimanfaatkan oleh pasukan web Rusia (troll) untuk merusak demokrasi di Amerika (Michiko Kakutani, 106).

Bagaimana Indonesia?   

Tentu saya tidak punya kapasitas untuk menilai seberapa jauh pengaruh kekuatan asing dalam setiap pemilu di Indonesia, termasuk Pemilu 2019. Yang pasti, sejak dulu wilayah Nusantara ini menjadi wilayah yang diperebutkan (contested zones) oleh kekuatan asing mengingat sumber alamnya yang kaya raya dan letak geografisnya sangat strategis secara politik. Dengan demikian, sulit dinafikan pengaruh kekuatan adidaya dalam setiap pergantian rezim di Indonesia. Mirip suasana pemilu di AS yang mengantarkan Trump masuk Gedung Putih, pemilu di Indonesia juga dilanda hoaks dan masyarakatnya terbelah secara tajam oleh isu yang lebih emosional ketimbang rasional.

Setidaknya terdapat empat faktor yang membuat situasi politik terasa  memanas dan mengancam persatuan bangsa. Pertama, kondisi masyarakat Indonesia sangat plural, tersebar ke dalam ratusan pulau dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang tidak merata.

Kondisi ini mudah disulut untuk menyudutkan pemerintah yang dianggap gagal mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan, yang dianggap masih Jawasentris. Terlebih lagi di sana terdapat sekelompok minoritas keturunan Tionghoa yang sangat menonjol dalam berbisnis dan pengelolaan aset negara.

Kedua, penerapan demokrasi liberal dalam pemilu yang telah membuka peluang bagi kebangkitan politik identitas keagamaan dan etnis yang hal ini kemudian dikapitalisasi oleh para politisi sehingga menciptakan polarisasi masyarakat. Sisi positif dari demokrasi liberal ini adalah merupakan pendidikan politik bagi  warga negara sehingga mereka sadar akan hak-hak politiknya. Konsekuensi dari demokrasi liberal adalah kegaduhan politik yang merupakan bagian integral setiap diadakan pemilu.

Ketiga, pengaruh disrupsi sosial yang diakibatkan oleh kemunculan media sosial berbasis internet yang membuat birokrasi negara dan tokoh masyarakat memudar wibawanya serta tidak mampu mengendalikan lalu lintas informasi dan opini yang berkembang dalam masyarakat. Muncul warga dunia maya yang sangat leluasa menjalin komunikasi serta opini di luar sekat-sekat dan kaidah konvensional sehingga keragaman masyarakat Indonesia serta dinamika dan pergaduhan demokrasi berlangsung sangat bebas. Tak ada institusi dan figur otoritatif yang mampu membentuk opini tunggal.
Keempat, dan ini yang paling krusial serta fenomenal, beredarnya hoaks yang ditengarai menjadi bagian dari strategi kampanye untuk memenangi kontestasi pemilu, khususnya pilpres. Yang keempat ini sangat efektif digunakan untuk melakukan pembunuhan karakter lawan (character assasination). Ketika emosi dan prasangka sudah berkembang dalam diri seseorang, orang cenderung hanya mau menerima berita yang sejalan dengan emosinya, bukan nalar kritisnya.

Situasi ini persis seperti yang ditulis Robert A Heinlein: Anda dapat lebih cepat memengaruhi seribu orang dengan menarik dan memperkuat prasangka mereka daripada satu orang dengan menggunakan logika.

Dituntut legawa dan kesatria

Berbagai kajian psikologi sosial menyimpulkan, dalam setiap pemilu ataupun referendum, yang lebih menonjol adalah pilihan berdasarkan emosi, senang dan tidak senang, bukannya nalar sehat yang berbicara benar atau salah. Mengamati pilpres yang baru saja berlalu, di luar hasil penghitungan suara yang akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi siapa yang akan jadi pemenangnya, saya ingin membuat catatan kecil.

Pilpres di negara mana pun, pihak petahana sangat diuntungkan oleh posisinya yang lebih dahulu bekerja sebagai modal untuk memenangi pilpres periode berikutnya. Dengan fasilitas negara dalam menjalankan tugasnya, Jokowi sudah empat tahun bekerja dan berkunjung menemui warganya ke berbagai pelosok negeri. Seorang petahana akan mudah dikalahkan oleh penantangnya jika terlibat skandal korupsi, melanggar UU, dan sama sekali tidak memiliki prestasi. Di pihak lain, Prabowo sebagai penantangnya akan mudah mengalahkan petahana jika prestasi sosial politiknya sangat cemerlang yang dilihat dan dirasakan oleh masyarakat.

Dengan melihat hasil sementara penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU), perolehan suara Prabowo sekitar 45 persen sudah merupakan prestasi luar biasa. Ditambah lagi persentase kenaikan suara untuk Gerindra yang saat ini menduduki posisi kelima. Ini sebuah capaian karier politik Prabowo yang fenomenal. Namun, untuk mengalahkan Jokowi sebagai petahana tentu tidak mudah karena Jokowi lebih dahulu berlari meski Prabowo tetap memiliki harapan menang dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) nanti. Kalau tidak ada harapan, untuk apa melakukan gugatan. Kecuali ada pertimbangan lain yang saya tidak tahu.

Yang sangat disayangkan adalah manuver dan retorika politik yang jauh-jauh hari sebelum pilpres berlangsung, bahwa yang bisa mengalahkan Prabowo hanyalah kecurangan. Sebagai peserta kontestan, jika tidak lagi percaya pada panitia penyelenggara sebaiknya jangan ikut berlomba. Atau, pilihan kedua, secara gigih mengawal proses dan peraturan pemilu agar kecurangan tidak terjadi. Namun, rupanya yang selalu ditonjolkan adalah menuduh kecurangan dengan membangkitkan emosi masyarakat yang sesungguhnya masyarakat tidak tahu persis di mana letak kecurangan yang dituduhkan.

Terjadinya demonstrasi 22 Mei yang memakan korban jiwa sangatlah merugikan citra Prabowo sebagai pejuang demokrasi dan sosok jenderal negarawan yang sangat paham etika serta logika demokrasi. Sebuah demonstrasi yang  hanya melukai perasaan rakyat yang sudah menyukseskan pemilu dengan damai. Untunglah akhirnya tuduhan dan gugatan terjadinya kecurangan dibawa ke MK. Rakyat menunggu-nunggu bagaimana proses dan hasil akhir sidang sengketa pemilu itu. Rakyat sangat mengharapkan persidangan berlangsung transparan serta obyektif dan siapa pun yang dinyatakan kalah mesti legawa dan menerima secara kesatria. Kalaupun nanti ada demo, kita akan lebih jelas melihat siapa yang sesungguhnya senang pada kerusuhan serta tak ingin demokrasi ini tegak di Indonesia. []

KOMPAS, 13 Juni 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar