Anjuran
Maaf-Memaafkan dan Berlapang Dada
Bagian integral dari
momen Idul Fitri ialah maaf-memaafkan. Maaf-memaafkan tidak terlepas dari
dampaknya terhadap kehidupan yang luas di tengah masyarakat. Meminta maaf
membutuhkan sikap ksatria untuk mengakui segala kesalahannya kepada orang lain.
Hal ini berangkat
dari diktum bahwa meminta maaf tak semudah memberi maaf. Namun tidak lantas
bahwa memberi maaf juga persoalan mudah, karena ia menuntut kelapangan dada
untuk menerima maaf orang yang pernah menyakiti hatinya.
Mengingat dalamnya
arti meminta dan memberi maaf, sebuah pertanyaan terlontar, adakah yang lebih
tinggi tingkatannya daripada maaf (al-afwu)? Soal ini, Al-Qur’an mengajarkan
bahwa dalam maaf-memaafkan butuh sikap ksatria dan kelapangan dada, ini benang
merah yang dapat ditarik.
Muhammad Quraish
Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1999) menerangkan, tingkatan yang lebih
tinggi dari al-afwu adalah al-shafhu. Kata ini pada mulanya berarti kelapangan.
Lebih jauh, Pakar Tafsir Al-Qur’an itu menjelaskan, dari al-shafhu dibentuk
kata shafhat yang berarti lembaran atau halaman, serta mushafahat yang berarti
berjabat tangan.
Seseorang melakukan
al-shafhu seperti anjuran ayat yang dipaparkan di awal, dituntut untuk
melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat
pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru, inilah esensi dari Hari
Raya Lebaran atau Idul Fitri.
Mengutip Al-Raghib
Al-Asfahaniy, seorang pakar bahasa Arab dan Al-Qur’an, Quraish Shihab
menyatakan bahwa Al-shafhu yang digambarkan dalam bentuk berjabat tangan itu,
lebih tinggi nilanya daripada memaafkan. Bukankah masih ada satu-dua titik yang
sulit bersih dalam lembaran yang salah walaupun kesalahannya telah dihapus?
Atau bukankah lembaran yang telah ternoda walaupun telah bersih kembali tidak
sama dengan lembaran yang baru?
Dari
renungan-renungan tersebut, dapat ditarik esensi bahwa membuka lembaran baru
merupakan langkah yang sangat penting. Sama signifaknnya ketika masing-masing
orang yang terlibat dalam sebuah kesalahan untuk menutup lembaran lama.
Sehingga hakikat Idul Fitri (kembali kepada kesucian) dapat diraih sebagai
wujud peneguhan sikap ihsan, karena itulah yang paling disukai Allah.
Peneguhan sikap ihsan
akan terlihat jelas ketika seseorang memahami apa itu istilah maaf. Kata
maaf berasal dari Al-Qur’an al-afwu yang berarti menghapus, karena yang
memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. (Quraish Shihab, 1999)
Artinya, bukan
memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada
dendam yang membara dalam hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya
baru sampai pada tahap menahan amarah. Artinya, jika manusia mampu berusaha
menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa
dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.
Oleh karena itu,
syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yang memohon maaf atas kesalahnnya
kepada orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk
tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang
pernah diambilnya. Kalau berupa materi, maka materinya dikembalikan, dan kalau
bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan kepada yang
dimohonkan maafnya.
Keterangan di atas
juga menjadi syarat bertaubat seorang hamba kepada Tuhannya. Taubat menuntut
penyesalan yang mendalam atas segala salah, khilaf, dan dosa yang diperbuat
seorang hamba. Esensi taubat juga bukan hanya satu arah saja, yakni hubungannya
dengan Tuhan, tetapi juga mengubah perilaku sosialnya di tengah masyarakat
menjadi laku yang positif.
Bahkan dalam urusan
meminta ampunan kepada Allah atas segala kesalahannya kepada orang lain, Allah
tidak akan mengampuni jika yang bersangkutan belum meminta maaf kepada orang
tersebut. Jadi, keseimbangan hidup di bumi perlu diperhatikan ketika ingin
memperoleh kebaikan di langit. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar