Tuan Syekh
Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (1)
Pada tahun 2011, saya
diminta oleh Djalaluddin Pane Foundation (DPF) untuk meneliti tentang sosok
seorang ulama asal Tapanuli, yaitu Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan.
Penelitian ini menarik karena belum banyak ulama asal Tapanuli yang dijadikan
bahan penelitian dan hasilnya diperkenalkan ke publik, bahkan sampai saat ini.
Salah satunya adalah Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan.
Dari kisah hidup Tuan
Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan, kita mengetahui tentang kekejaman Kaum
Padri, pengikut Wahabi, dalam menyiarkan paham mereka di tanah Tapanuli karena
ia adalah saksi hidup dari kekerasan mereka.
Selain itu, kita
dapat mengetahui dan memahami tentang adat istiadat dan budaya masyarakat
Tapanuli, sejarah masuknya Islam di Tapanuli, serta tantangan, suka duka,
dari perjuangan dakwah Islam di Tapanuli di masa Tuan Syekh Djalaluddin
Pane Parsambilan. Kisahnya ini tentu untuk menjadi pelajaran yang berharga
bagi para juru dakwah dan hikmahnya untuk kita semua.
Perjalanan hidup Tuan
Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan tidak terlepas dari gerakan Kaum Padri yang
mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Arab Saudi. Paham dan
gerakan Wahabi ini (yang keras dan tidak segan-segan memaksakan pahamnya dengan
kekerasan atau perang) mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandaui Sikat (Luhak
Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad
Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Makkah, Arab
Saudi dan merupakan pendiri Kaum Padri.
Pada tahun 1802 M,
ketiga orang ini kembali ke Sumatera Barat. Dari praktik keislaman yang
dijalankan kaum Muslimin di Sumatera Barat waktu itu, mereka menilai bahwa yang
dijalankan baru kulitnya saja, hanya mengaku beragama Islam namun praktik
keagamaannya masih jauh dari ajaran Islam yang sejati.
Dengan penilaian
semacam ini, maka mereka mulai berdakwah di daerahnya masing-masing. Namun
dakwah mereka tidak mulus. H. Muhammad Arief di Sumanik mendapat tantangan
hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau; Haji Miskin juga
mendapat perlawanan hebat di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat
Angkat. Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak halangan dan tantangan.
Kepindahan Haji
Miskin ke Ampat Angkat tidaklah sia-sia, karena ia mendapatkan sahabat-sahabat
perjuangan yang setia. Di antaranya adalah Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku
di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Koto di Padang Luar, Tuanku
di Galung, Tuanku di Koto Ambalau, dan Tuanku di Lubuk Aur.
Mereka inilah tujuh
orang yang berbai`ah (berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji Miskin.
Jumlah para ulama yang berbai`ah ini menjadi delapan orang yang kemudian
terkenal dengan sebutan Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan
ini menyadari bahwa gerakan mereka akan lebih berhasil jika mendapat dukungan
dari ulama yang lebih senior dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di
Ampat Angkat. Oleh mereka, diutuslah Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan
lebih lincah untuk menjumpai Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat berkali-kali dengan
maksud agar ia bersedia menjadi imam atau pemimpin gerakan ini.
Setelah
bertukar-pikiran berulang kali, Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat menolak tawaran
itu. Sebab penolakan itu karena Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat memandang Harimau Nan
Salapan hendak memaksakan penerapan syari`at Islam di setiap negeri yang telah
ditaklukannya, kalau perlu dilakukan dengan kekuataan dan kekuasaaan.
Padahal menurutnya,
jika ada orang yang beriman di satu nagari walaupun hanya seorang, maka nagari
itu tidak boleh diserang. Yang penting adalah menanamkan pengaruh yang besar
pada setiap nagari. Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar
pengaruhnya, ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu,
imam khatib, mantra dan dubalang.
Karena berbedaan
pendapat ini, Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat tidak mungkin diangkat oleh Harimau
Nan Salapan sebagai imam atau pemimpin gerakan ini. Untuk memecahkan kebuntuan
ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak Tuanku di Mansiangan, yaitu putra
dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo yang merupakan guru dari Tuanku Nan Tuo Ampat
Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi
imam gerakan Harimau Nan Salapan dengan gelar Tuanku Nan Tuo.
Tuanku Nan Tuo Ampat
Angkat akhirnya sulit untuk mencegah dan menentang gerakan Harimau Nan Salapan
karena yang diangkat menjadi imamnya adalah anak dari gurunya sendiri. Padahal
sebenarnya yang menjadi imam dari gerakan ini adalah Tuanku Nan Renceh,
sedangkan Tuanku Nan Tuo di Mansiangan hanya sebagai simbol saja.
Kaum Harimau Nan
Salapan selalu memakai pakaian putih-putih sebagai lambang kesucian dan
kebersihan yang kemudian gerakan kaum ini terkenal dengan nama Gerakan Padri
atau gerakan Kaum Padri.
Asal kata padri ada
yang berpendapat berasal dari kata Pidari dari Sumatera Barat, dan ada
yang berpendapat berasal dari kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya
pendeta, dalam hal ini adalah ulama.
Setelah berhasil
mengangkat Tuanku Nan Tuo Mansiangan menjadi imam gerakan Padri, maka Tuanku
Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol dari Harimau Nan Lapan
mencanangkan perjuangan Kaum Padri ini dan memusatkan gerakannya di daerah
Kamang.
Untuk memuluskan
aksinya mereka berpendapat bahwa tidak ada cara lain selain memperoleh
kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik saat itu berada di tangan para
penghulu adat.
Oleh karenanya, untuk
memperoleh kekuasaan politik, juga tidak ada cara lain kecuali merebut
kekuasaan dari tangan para penghulu adat. Karena daerah Kamang menjadi pusat
perjuangan Kaum Padri, maka kekuasaan Penghulu Kamang harus diambil alih oleh
Kaum Padri dan usaha itu berjalan dengan baik.
Sementara itu, para
penghulu adat dari daerah-daerah lain yang mendengar keberhasilan Kaum Padri
mengambil kekuasaan Penghulu Kamang ingin membuktikan sampai sejauh mana
kemampuan alim ulama dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan syari`at Islam
secara utuh dan murni ini. Para penghulu adat itu kemudian memilih Bukit
Batabuh dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi sebagai tempat memancing
reaksi Kaum Padri kepada mereka.
Para penghulu adat
itu dengan sengaja dan mencolok mengadakan penyambungan ayam, main judi, dan
minum-minuman keras yang dimeriahkan dengan berbagai macam pertunjukan. Tentu
saja pancingan ini membuat marah Kaum Padri.
Dengan segala
persenjataan yang ada, seperti setengger (senapan balansa), parang, tombak,
cangkul, sabit, pisau dan sebagainya, Kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh untuk
membubarkan pesta maksiat yang diselenggarakan oleh golongan Penghulu Adat
tersebut.
Sesampainya Kaum
Padri di Bukit Batabuh, mereka disambut dengan serangan dari kelompok Penghulu
Adat. Pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya
dimenangkan oleh Kaum Padri. Inilah awal permulaan peperangan yang dilancarkan
oleh Kaum Padri, bukan hanya di Sumatera Barat tetapi sampai ke tanah
Tapanuli.
Setelah seluruh
Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk penyerangan ke
utara, didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini terletak
agak ke sebelah utara Minangkabau dan masuk di daerah Tapanuli.
Benteng Rao dikepalai
oleh Tuanku Rao sedangkan Benteng Dalu-Dalu dikepalai Tuanku Tambuse. Kedua
perwira Padri ini berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam
Bonjol.
Dengan mengangkat
Tuanku Rao dan Tuanku Tambuse, kaum Padri dengan kedua pimpinan tersebut, secara
ekspansif melakukan perluasan kekuasaanya di daerah Tapanuli yang memiliki
sistem religi tersendiri yang sudah mapan dan berbeda dengan masyarakat
Pariaman. []
(bersambung…)
Rakhmad Zailani Kiki,
Sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai Kepala Divisi
Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar