Jumat, 14 Juni 2019

Sejarah di Balik KH Wahab Chasbullah Cetuskan Halal Bihalal


Sejarah di Balik KH Wahab Chasbullah Cetuskan Halal Bihalal

Ijtihad para ulama pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara patut diapresiasi. Terutama ketika bangsa Indonesia terancam perpecahan dan disintegrasi antar-anak bangsa sendiri. Perhatian para kiai begitu besar terhadap kerharmonisan kehidupan bangsa hingga saat ini. Dasar negara Pancasila merupakan salah satu buah pikir para ulama yang menautkan nilai-nilai religiusitas sebagai pondasi persatuan di tengah keberagaman bangsa Indonesia.

Pun setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 1945. Namun justru ancaman pemberontakan dan disintegrasi bangsa muncul di mana-mana, antara lain pemberontakan yang dilakukan dan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan DI/TII. Rais Syuriyah PBNU KH Masdar Farid Mas’udi mengungkapkan gagasan salah seorang Pendiri NU, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) untuk menggelar halal bihalal untuk seluruh tokoh bangsa atas permintaan Bung Karno.

Dari riwayat yang diceritakan Kiai Masdar tersebut, pada tahun 1948 yaitu di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya dengan harapan dapat mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat kala itu. 

Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturahim. Sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim. Lalu Bung Karno menjawab, "Silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain".

"Itu gampang,” kata Kiai Wahab. "Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab.

Dari saran Kiai Wahab itulah kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi nama halal bihalal. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi bangsa Indonesia pasca-lebaran hingga kini. 

Begitu mendalam perhatian seorang Kiai Wahab Chasbullah untuk menyatukan seluruh komponen bangsa yang saat itu sedang dalam konfik politik yang berpotensi memecah belah persatuan. Hingga secara filosofis pun, Kiai Wahab sampai memikirkan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah silaturahim yang menurut Bung Karno terdengar biasa sehingga kemungkinan akan ditanggapi biasa juga oleh para tokoh yang sedang berkonflik tersebut.

Kini, halal bihalal yang dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia lebih dari sekadar memaknai silaturahim. Tujuan utama Kiai Wahab untuk menyatukan para tokoh bangsa yang sedang berkonflik menuntut pula para individu yang mempunyai salah dan dosa untuk meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti dengan hati dan dada yang lapang. Begitu pun dengan orang yang dimintai maaf agar secara lapang dada pula memberikan maaf sehingga maaf-memaafkan mewujudkan Idul Fitri itu sendiri, yaitu kembali pada jiwa yang suci tanpa noda bekas luka di hati.

Dengan demikian, ditegaskan bahwa bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah. Artinya, jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.

Karena itu, syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yang memohon maaf atas kesalahnnya kepada orang lain agar terlebih dahulu harus menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya. Kalau berupa materi, maka materinya dikembalikan, dan kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar