Kisah Orang yang Berlebihan dalam Beribadah
(II)
Sepanjang hayat, saat Rasulullah memimpin
ibadah, tidak pernah sekalipun menyusahkan para sahabat yang menjadi makmumnya.
Hal ini karena kegiatan yang dilakukan Rasulullah selalu sedang-sedang saja,
tidak terlalu cepat, juga tidak terlampau lama. Rasulullah tidak berlebihan.
Sahabat Abdullah bin Jabir mengakui lewat
ceritanya yang terekam pada sebuah hadits sebagai berikut:
كُنْتُ
أصَلِّي مَعَ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - الصَّلَوَاتِ، فَكَانتْ صَلاتُهُ
قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا
Artinya: “Saya shalat bersama Nabi ﷺ berkali-kali. Shalat
beliau sedang, khutbahnya juga sedang (tidak terlalu cepat dan tidak terlampau
lama).” (HR Muslim: 866)
Satu ketika Salman al-Farisi berkunjung ke
rumah Abu Darda’. Kita tahu, antara mereka berdua sudah diikatkan persaudaraan
oleh Rasulullah ﷺ.
Rasulullah banyak mengikatkan persaudaraan sahabat, antara kaum muhajirin
sebagai pendatang dengan kaum anshar sebagai pribumi. Sahabat Salman yang
terkenal dengan ide briliannya membuat parit pada perang Khandaq ini merupakan
asli warga Persia. Oleh Baginda Nabi Muhammad ﷺ, ia diikatkan persaudaraan dengan warga lokal (anshar) bernama
Abu Darda’.
Saat Salman masuk ke rumah Abu Darda’ pada
suatu ketika ia melihat ibunda Dar’da sedang memakai pakaian lusuh yang kurang
layak pakai. Salman mencoba menelisik, apa gerangan yang menjadikan ibunda
Darda’ memakai pakaian yang sedemikian buruk.
“Bu, anda ini kenapa?” tanya Salman pada sang
Ibu.
“Itu lho, saudaramu Abu Darda’ sudah tidak
butuh dunia lagi.”
Habis mengatakan begitu, Abu Darda’ datang,
ia mempersiapkan jamuan makan untuk tamu yang sekaligus saudaranya tersebut.
Sembari mempersilahkan, Abu Darda’ mengatakan, “Ayo, silakan dimakan. Saya
sedang puasa ini.”
Salman menjawab, “Tidak, saya tidak mau makan
kalau kamu tidak juga makan.”
Akhirnya mereka makan bersama-sama.
Usai makan, Salman menginap di rumah Abu
Darda’. Di dalam keheningan malam, di saat seluruh anggota keluarga tidur, Abu
Darda’ yang sedang tidur bersama Salman meninggalkan tempat. Ia melaksanakan
shalat malam. Namun tiba-tiba Salman menyergahnya. “Ayo, tidur lagi!” suruh
Salman.
Setelah Abu Darda’ tidur, ia bangun lagi, dan
disuruh tidur lagi oleh Salman untuk yang kedua kalinya. Hingga mereka berdua
memasuki waktu subuh. Saat subuh benar-benar menyapa, Salman baru kemudian
mengajak Abu Darda’ bangun. “Nah, kalau sekarang, ayo bangun!” Mereka berdua
melakukan shalat secara berjamaah.
Usai shalat, Salman menasihati saudaranya
tersebut, “Tuhanmu mempunyai hak yang harus kamu tunaikan. Tubuhmu juga
mempunyai hak yang harus kamu berikan. Begitu pula keluargamu juga mempunyai
hak yang wajib kamu penuhi. Berilah haknya masing-masing sesuai porsinya.”
Setelah mendapat nasihat, Abu Darda’ sowan
kepada Baginda Rasul ﷺ.
Ia menuturkan kisah yang baru saja terjadi. Lalu Rasul menjawab, “Benar apa
yang dikatakan Salman.” (HR Bukhari: 1968)
Hampir senada dengan cerita di atas, hadits
riwayat dari Anas. Satu ketika Nabi Muhammad ﷺ masuk ke dalam
masjid. Di sana, Rasul melihat ada tali yang membentang antara dua tiang
masjid.
“Tali apa ini?” tanya Rasul
“Oh, itu tali milik ibu Zaenab, Ya Rasul.
Saat letih, beliau berpegangan pada seutas tali itu,” jawab sahabat.
Rasul kemudian berpesan, “Lepaskan tali itu.
Shalatlah kalian saat bugar. Ketika capek, tidurlah.” (Muttafaq ‘Alaih)
Hadits di atas memberikan pelajaran kepada
kita, ibadah-ibadah sunnah itu sangat bagus nilai pahalanya. Namun kita perlu
adil dalam membagi waktu. Jangan sampai kita beribadah, namun ada hak lain yang
perlu kita penuhi namun belum terbayarkan. Apalagi, makna ibadah sejatinya amat
luas. Ia tak sebatas pada ritual-ritual, tapi juga mencakup berbagai aktivitas
lain seperti bekerja, memasak, merawat keluarga, dan lainnya yang dilandasi
niat ibadah. Wallâhu a’lam. []
(Ahmad Mundzir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar