Hukum Batalkan Shalat Jumat
karena Kehujanan
Musim kemarau telah lewat, pertanda sebagian
besar bumi di Nusantara bakal sering diguyur hujan. Hujan sebagaimana
difirmankan Allah adalah rahmat untuk sekalian alam. Dalam firman-Nya, Allah
menegaskan bahwa turunnya hujan merupakan salah satu yang menunjukkan kasih
sayang Allah kepada manusia.
Hujan bukan menjadi halangan untuk
menjalankan ibadah. Namun problem terkadang muncul saat hujan melanda dengan
begitu deras di tengah-tengah pelaksanaan shalat Jumat bagi jamaah yang shalat
di luar masjid, mengingat daya tampung masjid yang tidak cukup memadai.
Pertanyaannya adalah, saat kondisi kehujanan tersebut, bolehkah mereka
membatalkan shalat Jumatnya? Jika tidak boleh, apa yang harus mereka
lakukan?.
Pada dasarnya, memutus ibadah wajib tanpa ada
uzur, termasuk shalat Jumat hukumnya haram. Syekh Muhammad bin Salim bin Sa’id
Babashil mengatakan:
ومنها
(قطع الفرض) أداء كان
أوقضاء ولو موسعا وصلاة كان أو غيرها كحج وصوم واعتكاف بأن يفعل ما ينافيه لأنه
يجب إتمامه بالشروع فيه لقوله تعالى ولا تبطلوا أعمالكم ومن المنافي أن ينوي قطع
الصلاة التي هو فيها ولو إلى صلاة مثلها
“Di antara makshiat badan adalah memutus
ibadah fardlu, baik ada’ atau qadla’, meski ibadah yang dilapangkan waktunya,
baik ibadah shalat atau lainnya seperti haji, puasa dan i’tikaf. Memutus ibadah
fardlu maksudnya dengan sekira melakukan perkara yang merusaknya, sebab ibadah
fardlu wajib disempurnakan ketika sudah berlangsung pelaksanaannya, berdasarkan
firman Allah Swt, dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian. Termasuk
perkara yang merusak shalat adalah niat memutus shalat yang tengah dilakukan,
meski berpindah niatnya menuju shalat yang lain. (Syekh Muhammad bin Salim bin
Sa’id Babashil, Is’ad al-Rafiq, hal. 121).
Begitu pentingnya menjaga diri untuk tetap
bertahan di dalam shalat, syariat melarang membatalkan shalat saat di tengah
shalat terdapat dlaruat seperti kebakaran, perang berkecamuk atau yang sejenis.
Dalam kondisi yang demikian, kewajibannya adalah shalat dengan cara syiddah
al-khauf, yaitu shalat dalam kondisi yang paling memungkinkan, sambil lari,
membelakangi kiblat atau melakukan gerakan-gerakan berat sekalipun, sesuai
dengan kebutuhannya.
Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:
ـ
(وخامسها استقبال ) عين
( القبلة ) أي الكعبة بالصدر فلا يكفي استقبال جهتها خلافا لأبي حنيفة رحمه الله
تعالى ( إلا في ) حق العاجز عنه وفي صلاة ( شدة خوف ) ولو فرضا فيصلي كيف أمكنه ماشيا وراكبا مستقبلا
أو مستدبرا كهارب من حريق وسيل وسبع وحية ومن دائن عند إعسار وخوف حبس
“Yang kelima adalah menghadap tepat ke
kiblat, yaitu Ka’bah. Maka tidak cukup menghadap arahnya saja, berbeda menurut
pendapat Abu Hanifah. Kecuali bagi orang yang tidak mampu menghadap kiblat dan
dalam shalat syiddah al-khauf, meski shalat fardlu, maka cukup shalat dengan
kondisi semampunya, berjalan dan menaiki kendaraan, menghadap atau membelakangi
kiblat, seperti orang yang lari dari kebakaran, kebanjiran, binatang buas,
ular, orang yang memiliki hak piutang ketika tidak mampu membayar dan khawatir
dipenjara”. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in Hamisy I’anah
al-Thalibin, juz 1, hal. 145).
Dalam komentarnya atas referensi di atas,
Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
ـ
(قوله: وفي صلاة شدة
خوف) أي في قتال مباح، كقتال المسلمين للكفار، وقتال أهل العدل للبغاة، وما ألحق
به، كهرب من حريق وسيل وسبع وحية.
“Ucapan Syekh Zainuddin, dan dalam shalat
syiddah al-Khauf, maksudnya di dalam peperangan yang mubah, seperti perang
menghadapi pasukan non muslim, perang melawan para pemberontak dan yang
disamakan dengan hal-hal tersebut, seperti lari dari kebakaran, kebanjiran,
binatag buas dan ular. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, juz 1,
hal. 145).
Berkaitan dengan hujan yang melanda di tengah
shalat, menurut Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, bila hujan dikhawatirkan dapat
merusak harta, misalkan seperti peci, smartphone, maka diperbolehkan melakukan
shalat syiddah al-khauf, shalat sambil lari mencari tempat berteduh, setelah
menemukan tempat yang teduh, kemudian menjalankan shalat dengan normal.
Syekh Abdul Hamid al-Syarwani mengatakan:
أقول
ويؤخذ من قولهم المذكور أيضا أنه لو جاء نحو المطر في الصلاة على نحو كتابه جازت
له صلاة شدة الخوف إذا خاف ضياعه حتى على مرضى الشارح فيمن أخذ ماله الخ لأنه خائف
هنا كما مر
“Aku berkata, diambil dari ucapan para ulama
yang telah disebutkan, bahwa bila datang semisal hujan di tengah shalat
mengenai kitabnya, boleh melakukan shalat syiddah al-khauf bila khawatir
tersia-sia, meski mengikuti pola yang diterima sang pensyarah dalam kasus orang
yang diambil hartanya, karena dalam kondisi hujan yang mengenai kitab ini,
seseorang disebut orang yang khawatir seperti keterangan yang telah lewat”.
(Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz
3, hal. 16).
Dalam pandangan yang lain, sebagian ulama
membolehkan untuk memutus shalat ketika kekhusyukan seseorang hilang
dikarenakan menahan kencing di tengah shalat. Bila dikontekstualisasikan dalam
masalah ini, hujan deras yang menghujam, besar kemungkinan dapat membuyarkan
konsentrasi jamaah dalam pelaksanaan shalat Jumat. Persoalan kehujanan di
tengah shalat bisa kita analogikan dengan permasalahan shalat menahan kencing
dengan titik temu keduanya dapat menyebabkan buyarnya ketenangan.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
ـ
(والصلاة حاقنا) بالنون
أي بالبول (أو حاقبا) بالباء أي بالغائط أو حاذقا أي بالريح للخبر الآتي ولأنه يخل
بالخشوع بل قال جمع إن ذهب به بطلت الى أن قال وجوز بعضهم قطعه لمجرد فوت الخشوع
به وفيه نظر
“Dan makruh shalat menahan kencing dan buang
air besar atau menahan kentut, karena hadits yang telah lewat dan dapat merusak
kekhusyukan, bahkan sekelompok ulama berpendapat, bila hilang kekhusyukan, maka
batal shalatnya. Sebagian ulama membolehkan memutus halat karena
hilangnya kekhusyukan, dan pendapat ini perlu dikaji ulang. (Syekh Ibnu Hajar
al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Juz 1, hal. 238)
Simpulannya, bila mengikuti pendapat yang
kuat, membatalkan shalat Jumat saat kehujanan di tengah shalat hukumnya haram.
Dan apabila khawatir rusaknya harta yang dipakai atau yang dibawa, kewajibannya
adalah shalat dengan cara yang paling memungkinkan, bisa sambil berjalan untuk
mencari tempat yang teduh, kemudian melanjutkan shalat secara normal. Hanya,
bila cara tersebut tidak memungkinkan, bisa mengikuti pendapat sebagian ulama
yang membolehkan untuk membatalkan shalat saat kondisi kehujanan dapat menghilangkan
kekhusyukan, untuk kemudian mencari tempat yang memungkinkan untuk menyusul
mengikuti Jumatan. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar