Musuh Demokrasi Itu Politisi Sumbu Pendek
Oleh: Ahmad
Syafii Maarif
Saya tidak setuju dengan pandangan bahwa untuk menciptakan sebuah
sistem demokrasi yang sehat dan kuat perlu waktu ratusan tahun. Biasa yang
dijadikan rujukan adalah Amerika Serikat yang harus menunggu sekitar 250 tahun
setelah kemerdekaannya pada 1776, baru bangunan demokrasinya berada pada
tingkat yang sekarang ini, dan itu pun bukan tanpa masalah pada era politik
pascakebenaran ini.
Tinjauan semacam ini bersumber dari paradigma sesat fikir,
seolah-olah gerak peradaban umat manusia bersifat statis. Dengan perkembangan
ilmu dan teknologi informasi yang luar biasa pada abad ke-21 ini, upaya
mempercepat menjalarnya 'virus' demokrasi yang sehat itu bisa dilakukan dalam
tempo per detik dengan syarat para politikus sebuah negara mau meninggalkan
posisi manusia sumbu pendek.
Artinya, jika politisi itu tetap merasa nyaman dan aman dalam
posisi yang tidak naik kelas itu, bangunan demokrasi yang diidamkan itu bisa
jadi tidak akan menjadi kenyataan selama-lamanya. Oleh sebab itu, Indonesia
perlu secepatnya melahirkan para politikus yang berwawasan luas, berintegritas,
berlapang dada, dan siap menyatakan talak tiga terhadap segala sesuatu yang
berasal dari kultur sumbu pendek, yang salah satu karakternya adalah rabun
ayam.
Penglihatan si rabun ayam ini hanyalah sebatas pekarangan rumahnya
yang sesak. Itulah dunianya. Tuan dan puan akan sia-sia menanyakan kepada
manusia tipe ini tentang wawasan kebangsaan, integrasi nasional, masa depan
Indonesia, serta rasa tanggung jawab berbangsa dan bernegara.
Sumbu otaknya yang pendek tidak mampu menjangkau gagasan-gagasan
besar itu karena kapasitasnya yang terbatas. Yang berdaulat dalam otak dan
hatinya hanyalah bagaimana cara memburu kepentingan sesaat dengan segala cara
dan upaya.
Jika politisi sumbu pendek ini berhasil menduduki jabatan sebagai
anggota DPRD dengan penghasilan Rp 20 juta per bulan di sebuah daerah dengan
pendapatan asli daerah (PAD) yang rendah, dia merasa itulah surganya yang jika
mungkin bisa bertahan di sana untuk sekurang-kurangnya lima periode. Percakapan
dengan berbagai pihak tentang fenomena ini telah membawa saya kepada simpulan
serupa itu. Wajah demokrasi Indonesia masih kental dengan warna yang
serbakelabu itu.
Bahwa masih tersedia stok politisi yang berwawasan luas dan punya
rasa tanggung jawab tinggi untuk membela rakyat di suatu daerah adalah juga
kenyataan yang patut dihargai, tetapi jumlahnya sungguh minoritas. Mereka ini
biasa kandas dalam pertarungan politik untuk periode kedua karena tidak mampu
membeli suara pemilih yang semakin rentan dengan politik uang.
Keluhan semacam ini dapat dengan mudah dipantau dengan menghubungi
mereka yang tidak beruntung ini di seluruh nusantara. Dalam Pileg 2019 ini
saja, ada beberapa caleg dengan kualitas tinggi yang gagal meraih posisi
sebagai anggota DPR dan DPRD karena ketatnya persaingan internal dalam sebuah
partai.
Bahwa masih ada yang kembali dipilih untuk sekian periode adalah
juga sebuah kenyataan karena darmabaktinya terhadap rakyat di daerah pilihannya
memang sudah dikenal publik secara luas, apakah itu melalui program penyebaran
pupuk organik, pembibitan ikan, pemeliharaan hewan ternak bagi para petani.
Namun, jumlah politisi dalam kualitas ini bisa dihitung dengan
jari sebelah tangan. Mereka inilah sebenarnya yang patut dinobatkan sebagai
wakil rakyat sejati.
Teladan yang ditunjukkan oleh kelompok kecil inilah yang memberi
secercah harapan bahwa demokrasi Indonesia belum mati suri. Semestinya, parpol
yang menaunginya mempromosikan sosok teladan ini ke posisi yang lebih tinggi
agar jangkauan kiprahnya menjadi lebih luas. Tidak tertutup kemungkinan semua
parpol punya stok manusia dalam tipe ini dalam jumlah yang sangat terbatas.
Masalah yang biasa mereka hadapi adalah karena belum tentu pimpinan partainya
memberikan penghargaan dan peluang kepada politisi teladan ini.
Akhirnya, saya melalui ruang ini mengimbau pimpinan parpol untuk
selalu mendorong dan memberi peluang yang luas kepada para kadernya yang
berpotensi menjadi manusia teladan di daerahnya masing-masing. Dan pada waktu
yang sama, mempersempit gerak kader-kader sumbu pendek yang tidak punya
sumbangan apa-apa untuk kepentingan rakyat di daerahnya.
Hanya dengan sistem ini sajalah demokrasi Indonesia akan berjalan
efektif dan berdaya guna untuk mencapai tujuan kemerdekaan: terciptanya sebuah
masyarakat yang adil, makmur, nyaman, dan terbebas dari virus ideologi impor
yang tidak laku di negara asalnya. []
REPUBLIKA, 18 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar