Selasa, 18 Juni 2019

Buya Syafii: Musuh Demokrasi Itu Politisi Sumbu Pendek


Musuh Demokrasi Itu Politisi Sumbu Pendek
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Saya tidak setuju dengan pandangan bahwa untuk menciptakan sebuah sistem demokrasi yang sehat dan kuat perlu waktu ratusan tahun. Biasa yang dijadikan rujukan adalah Amerika Serikat yang harus menunggu sekitar 250 tahun setelah kemerdekaannya pada 1776, baru bangunan demokrasinya berada pada tingkat yang sekarang ini, dan itu pun bukan tanpa masalah pada era politik pascakebenaran ini.

Tinjauan semacam ini bersumber dari paradigma sesat fikir, seolah-olah gerak peradaban umat manusia bersifat statis. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi informasi yang luar biasa pada abad ke-21 ini, upaya mempercepat menjalarnya 'virus' demokrasi yang sehat itu bisa dilakukan dalam tempo per detik dengan syarat para politikus sebuah negara mau meninggalkan posisi manusia sumbu pendek.

Artinya, jika politisi itu tetap merasa nyaman dan aman dalam posisi yang tidak naik kelas itu, bangunan demokrasi yang diidamkan itu bisa jadi tidak akan menjadi kenyataan selama-lamanya. Oleh sebab itu, Indonesia perlu secepatnya melahirkan para politikus yang berwawasan luas, berintegritas, berlapang dada, dan siap menyatakan talak tiga terhadap segala sesuatu yang berasal dari kultur sumbu pendek, yang salah satu karakternya adalah rabun ayam.

Penglihatan si rabun ayam ini hanyalah sebatas pekarangan rumahnya yang sesak. Itulah dunianya. Tuan dan puan akan sia-sia menanyakan kepada manusia tipe ini tentang wawasan kebangsaan, integrasi nasional, masa depan Indonesia, serta rasa tanggung jawab berbangsa dan bernegara.

Sumbu otaknya yang pendek tidak mampu menjangkau gagasan-gagasan besar itu karena kapasitasnya yang terbatas. Yang berdaulat dalam otak dan hatinya hanyalah bagaimana cara memburu kepentingan sesaat dengan segala cara dan upaya.

Jika politisi sumbu pendek ini berhasil menduduki jabatan sebagai anggota DPRD dengan penghasilan Rp 20 juta per bulan di sebuah daerah dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang rendah, dia merasa itulah surganya yang jika mungkin bisa bertahan di sana untuk sekurang-kurangnya lima periode. Percakapan dengan berbagai pihak tentang fenomena ini telah membawa saya kepada simpulan serupa itu. Wajah demokrasi Indonesia masih kental dengan warna yang serbakelabu itu.

Bahwa masih tersedia stok politisi yang berwawasan luas dan punya rasa tanggung jawab tinggi untuk membela rakyat di suatu daerah adalah juga kenyataan yang patut dihargai, tetapi jumlahnya sungguh minoritas. Mereka ini biasa kandas dalam pertarungan politik untuk periode kedua karena tidak mampu membeli suara pemilih yang semakin rentan dengan politik uang.

Keluhan semacam ini dapat dengan mudah dipantau dengan menghubungi mereka yang tidak beruntung ini di seluruh nusantara. Dalam Pileg 2019 ini saja, ada beberapa caleg dengan kualitas tinggi yang gagal meraih posisi sebagai anggota DPR dan DPRD karena ketatnya persaingan internal dalam sebuah partai.

Bahwa masih ada yang kembali dipilih untuk sekian periode adalah juga sebuah kenyataan karena darmabaktinya terhadap rakyat di daerah pilihannya memang sudah dikenal publik secara luas, apakah itu melalui program penyebaran pupuk organik, pembibitan ikan, pemeliharaan hewan ternak bagi para petani.

Namun, jumlah politisi dalam kualitas ini bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Mereka inilah sebenarnya yang patut dinobatkan sebagai wakil rakyat sejati.

Teladan yang ditunjukkan oleh kelompok kecil inilah yang memberi secercah harapan bahwa demokrasi Indonesia belum mati suri. Semestinya, parpol yang menaunginya mempromosikan sosok teladan ini ke posisi yang lebih tinggi agar jangkauan kiprahnya menjadi lebih luas. Tidak tertutup kemungkinan semua parpol punya stok manusia dalam tipe ini dalam jumlah yang sangat terbatas. Masalah yang biasa mereka hadapi adalah karena belum tentu pimpinan partainya memberikan penghargaan dan peluang kepada politisi teladan ini.

Akhirnya, saya melalui ruang ini mengimbau pimpinan parpol untuk selalu mendorong dan memberi peluang yang luas kepada para kadernya yang berpotensi menjadi manusia teladan di daerahnya masing-masing. Dan pada waktu yang sama, mempersempit gerak kader-kader sumbu pendek yang tidak punya sumbangan apa-apa untuk kepentingan rakyat di daerahnya.

Hanya dengan sistem ini sajalah demokrasi Indonesia akan berjalan efektif dan berdaya guna untuk mencapai tujuan kemerdekaan: terciptanya sebuah masyarakat yang adil, makmur, nyaman, dan terbebas dari virus ideologi impor yang tidak laku di negara asalnya. []

REPUBLIKA, 18 Juni 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar