Halal bi Halal dan Kisah Rasulullah
Selesaikan Urusannya pada Akasyah
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa
lepas dari berinterkasi satu sama lain. Dalam interaksi tersebut tidak jarang
terjadi gesekan antara satu dengan lainnya di mana ada pihak yang dirugikan.
Keadaan inilah yang melatar belakangi perlunya hahal bihahal untuk
menyelesaikan hak-hak adami di masyarakat. Namun demikian perlu diingatkan
bahwa halal bi halal baru menyelesaikan aspek moral saja dan tidak sekaligus
aspek hukumnya. Rasulullah telah memberikan keteladanannya bahwa persoalan
hukum terhadap seseorang sebaiknya diselesaikan secara hukum dan bukan sekadar
meminta maaf.
Jadi memang beberapa kasus gesekan di masyarakat
sering kali memiliki dua aspek, yakni aspek hukum dan aspek moral. Sebagai
contoh, jika saya meminjam sebuah buku kepada anda dan saya telah berjanji
waktu itu untuk segera mengembalikannya, namun hingga kini saya belum
mengembalikan buku itu kepada anda, maka ada dua masalah dalam hal ini. Masalah
pertama adalah saya telah melakukan kesalahan moral kepada anda karena saya
tidak menepati janji untuk segera mengembalikan buku itu. Pada tingkat tertentu
kesalahan secara moral ini bisa berkembang menjadi kesalahan secara hukum
ketika telah berkembang menjadi kasus penipuan.
Masalah kedua adalah saya telah melakukan
kesalahan secara hukum karena bagaimanapun buku itu adalah milik anda dan tidak
akan pernah menjadi milik saya sekalipun anda telah lupa akan buku tersebut,
misalnya. Jadi persoalan buku ini adalah masalah hak milik anda dan saya tidak
memiliki hak sedikitpun atas buku itu. Perpindahan hak milik seseorang kepada
pihak lain harus melalui prosedur hukum yang sah, misalnya melalui jual-beli atau
lainnya, seperti hibah, yang disepakati kedua belah pihak.
Halal bi halal yang diikrarkan secara
tertulis atau lisan dengan menyatakan, misalnya, “Mohon maaf lahir batin atas
seluruh kesalahan saya,” pernyataan tersebut sangat umum, dalam arti tidak menyebut
kesalahan tertentu secara jelas. Jika kemudian permintaan maaf tersebut dijawab
dengan pernyataan umum pula, misalnya, “Ya sama-sama saling memaafkan,” maka
kedua belah pihak telah saling memaafkan dan tuntaslah persoalan mereka. Sampai
di sini persoalan moral sudah bisa dianggap selesai.
Tetapi hal tersebut tidak secara otomatis
telah menyelesaikan masalahnya secara hukum seperti dalam kasus pinjan-meminjam
buku sebagaimana disinggung di atas. Hal ini disebabkan pinjan-meminjam buku
merupakan masalah spesifik hukum yang terjadi melalui prosedur hukum atau akad
yang telah disepakati kedua belah pihak sebelumnya.
Kisah Rasulullah Selesaikan Urusannya
Dalam sebuah buku berjudul Kisah Teladan
Rasulullah Menghadirkan Jiwa Muraqabah Lewat Puasa sebagaimana diceritakan
ulang dalam situs republika.co.id pada edisi 30 June 2015, dikisahkan bahwa
ketika menjelang ajal tiba beliau menanyakan kepada para sahabat adakah beliau
berhutang kepada mereka? Pertanyaan ini beliau ajukan kepada para sahabat karena
beliau tidak mau jika bertemu dengan Allah dalam keadaan berhutang dengan
manusia.
Mendengar pertanyaan itu para sahabat pada
awalnya diam semuanya karena berpikir mana ada Rasullullah ﷺ berhutang kepada
mereka. Namun kemudian salah seorang dari mereka bernama Akasyah berkata, “Ya
Rasulullah! Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang,
maka aku minta kau selesaikan. Seandainya bukan hutang, maka tidak perlulah
engkau berbuat apa-apa.”
Akasyah kemudian mulai bercerita, "Aku
masih ingat ketika perang Uhud dulu, satu ketika engkau menunggang kuda, lalu
Engkau pukulkan cemeti ke belakang kuda. Tetapi, cemeti tersebut tidak kena
pada belakang kuda, sebenarnya cemeti itu terkena pada dadaku karena ketika itu
aku berdiri di sebelah belakang kuda yang engkau tunggangi wahai Rasulullah.”
Mendengar hal itu, Rasulullah ﷺ berkata,
"Sesungguhnya itu adalah hutang wahai Akasyah. Kalau dulu aku pukul
engkau, maka hari ini aku akan terima hal yang sama."
Dengan suara yang agak tinggi, Akasyah
berkata, "Kalau begitu aku ingin segera melakukannya wahai
Rasulullah."
Mendengar suaranya yang lantang, Rasulullah
segera membuka bajunya untuk memberi kesempatan kepada Akasyah mengambil haknya
memukul tubuh Rasulullah ﷺ untuk menyelesaikan
masalah hukum dengan sesama manusia.
Meski Akasyah pada akhirnya tidak jadi
memukul tubuh Rasulullah ﷺ dengan membuang
cemeti yang sudah ada di tangannya, dan bahkan meminta maaf dan menangis karena
beliau sebetulnya sedang sakit, tetapi cara bagaimana beliau menyelesaikan
masalahnya dengan Akasyah haruslah menjadi catatan penting bagi umatnya.
Catatan penting itu adalah tidak sebaiknya
dalam menyelesaikan masalah dengan orang lain kita mencukupkan diri dengan
hanya meminta maaf dan kemudian minta dihalalkan atau diikhlaskan begitu saja,
sementara kita masih mampu menyelesaikannya secara hukum sebagaimana sebuah
hutang harus dibayar atau diganti secara sepadan. Prinsip ini agar tidak
merugikan pihak lain.
Oleh karena itu dalam berhalal bi halal
haruslah selalu diingat bahwa telah meminta maaf tidak berarti telah
menyelesaikannya secara hukum. Jika kita memiliki kesanggupan tertentu kepada
orang lain, kesanggupan itu harus dilaksanakan sebagaimana telah disepakati.
Jika kita telah menghilangkan atau membuat rusak barang milik orang lain, maka
barang itu harus diganti yang sepadan. Kesadaran ini penting agar halal bi
halal bukan sekadar ritual belaka tanpa mengamalkan maknanya yang
hakiki. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar