Budaya Demokrasi
Oleh: Azyumardi Azra
Kalau kita iseng-iseng bertanya kepada masyarakat awam tentang
kegaduhan politik pasca-pemilu 17 April lalu, agaknya banyak di antara mereka
menjawab: sudah capek dan bosan. Kegaduhan demi kegaduhan dan drama demi drama
dari elite politik telah mereka saksikan, terutama di layar televisi. Bagi
orang awam, apa yang mereka pertengkarkan jauh panggang dari api.
Lihatlah, pada awal pertarungan politik setiap kontestan di depan
publik menyatakan siap menang siap kalah dan siap pula bertarung dalam pemilu
damai. Namun, kenyataannya, ada kontestan yang menolak mengakui kekalahan. Juga
ada kalangan masyarakat yang diarahkan bukan untuk damai, tetapi membuat
kegaduhan dan kekerasan pada Mei lalu.
Melelahkan! Demokrasi damai saja sudah melelahkan; apalagi
demokrasi disertai kegaduhan, antara lain lewat pernyataan bertentangan yang
diikuti kekerasan di beberapa lokasi di Jakarta. Terakhir, ada adu argumen dan
bukti yang tidak selalu jelas dan bahkan konyol di sidang-sidang Mahkamah
Konstitusi dalam dua minggu terakhir.
Jika semua perkembangan ini disimak, pertanyaan patut diajukan:
siapa sebenarnya yang tidak siap berdemokrasi secara damai?
Masyarakat akar rumput tampaknya senang-senang saja atau
damai-damai saja dengan demokrasi. Mereka antusias berbondong-bondong
memberikan suara pada 17 April 2019. Hasilnya tingkat partisipasi yang
tinggi—81 persen dari total pemilih atau 158.012.506 pemilih memberikan suara
dari jumlah total 199.987.870 warga yang memiliki hak pilih.
Lalu, faktanya tidak ada kegaduhan dan kekerasan di antara para
pemilih akar rumput sejak pencoblosan, penghitungan suara, dan penetapan hasil
pemilu di setiap TPS. Setelah semua itu selesai, warga tampaknya berkeinginan
untuk kembali ke kehidupan normal sehari-hari.
Lebih jauh, survei harian Kompas (17/6/2019) mengungkap fakta
bahwa publik menerima hasil pemilu. Menurut jajak pendapat itu, 96,4 persen
pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin berbanding 53,5 persen pendukung Prabowo
Subianto- Sandiaga Uno dapat menerima hasil pemilu. Lalu, siapa yang ingin
gaduh?
Sikap menerima hasil pemilu seperti itu tampaknya terkait gejala
lain. Menurut survei Saiful Mujani Research Consulting yang dirilis 16 Juni, 69
persen pemilih menilai pemilihan presiden (pilpres) sudah jurdil dan 68 persen
berpendapat sama untuk pemilihan anggota legislatif (pileg).
Sementara itu, elite politik tingkat nasional terus gaduh antara
kubu yang mengklaim pilpres penuh kecurangan dan pihak yang menganggap pilpres
berjalan baik. Kegaduhan ini terus menyebar melalui media sosial—mempertajam
polarisasi di lingkungan masyarakat politik.
Tidak ada tanda-tanda penyelesaian kegaduhan itu lewat pertemuan
atau bahkan silaturahmi halalbihalal pasca-Ramadhan 1440 Hijriah secara
terbuka. Sebaliknya, publik diterpa berita dan laporan tentang adanya political
deals di balik layar di antara kubu-kubu yang masih berkontestasi.
Harapan masyarakat untuk rekonsiliasi dan islah terbuka belum
terwujud. Apakah keputusan MK pada 27 Juni 2019 ini dapat menghasilkan islah?
Mengingat polarisasi begitu tajam dan pahit, rekonsiliasi yang mencakup seluruh
lapisan masyarakat (across the board) butuh waktu cukup panjang.
Kegaduhan panjang di kubu elite politik menghasilkan dampak jelek
terhadap pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi. Lagi-lagi dengan mengutip jajak
pendapat Kompas, 60,1 persen responden menyatakan, pelaksanaan Pemilu 2019
cenderung lebih buruk daripada pemilu sebelumnya (2014).
Seperti terungkap dari jajak pendapat Kompas dan SMRC, menurunnya
kualitas Pemilu 2019 tak lain terutama terkait aksi kekerasan di beberapa
tempat di Jakarta pada Mei. Kekerasan seperti itu tidak lazim; sejak pilpres
langsung digelar pada 2004, kekerasan dapat dikatakan relatif absen.
Dengan mengangkat kerusuhan itu sebagai indikator lebih buruknya
Pemilu 2019, secara mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) sebagai salah satu
kaidah ushul fiqh, para pemilih umumnya berpandangan, kualitas demokrasi
menjadi lebih baik jika tidak ada kegaduhan atau kekerasan. Demokrasi
berkualitas adalah demokrasi yang tertib dan damai.
Pada tahap ini pembicaraan mesti menyangkut budaya demokrasi, yang
bukanlah subyek baru; tetapi tetap relevan. Diplomat dan pemikir politik asal
Perancis, Alexis Tocqueville (1805-1859), yang mengamati pertumbuhan demokrasi
Amerika, menyimpulkan tentang urgensi budaya demokrasi agar demokrasi bisa
bertahan dan berkelanjutan.
Dalam proses demokrasi, Tocqueville mengamati ketegangan dalam
diri aktor-aktor utama demokrasi. Ketegangan yang terjadi di antaranya karena
narsisisme diri dengan tendensi meraup kekuasaan secara berlebihan untuk
mendominasi narasi politik.
Ketegangan ini dapat mengganggu proses demokrasi. Karena itu,
diperlukan budaya demokrasi yang berperan sebagai penengah di antara
kecenderungan narsistik dan haus kekuasaan berlebihan dalam diri elite. Budaya
demokrasi itu berpusat pada civic culture, budaya kewargaan. Dengan civic
culture, pemimpin dan elite politik memiliki hubungan berbasis sikap saling
percaya dan saling menghormati.
Demokrasi bisa bertumbuh baik sehingga dapat menjadi sistem
politik efektif jika elite politik dan warga memiliki civic culture yang kuat.
Hanya dengan civic culture yang kuat dapat tumbuh public civility, keadaban
publik yang menghasilkan keteraturan dan kedamaian (public order and peace).
Inilah salah satu tantangan terberat demokrasi pasca-Pilpres 2019. []
KOMPAS, 27 Juni 2019
Azyumardi Azra | Profesor Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Jakarta; Anggota AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar