Berwudhu dengan Air Satu
Gayung, Bolehkah? (III)
Sebelumnya telah disebutkan bahwa niat
ightiraf yang diwajibkan oleh para ulama ketika mencelupkan tangan ke dalam
wadah wudhu sejatinya hanyalah niat untuk membasuh anggota wudhu di luar wadah,
sehingga asalkan wudhunya tidak di dalam wadah maka otomatis sudah terpenuhi
niat ightiraf. Praktik demikian menurut Syaikh asy-Syarwani adalah praktik
hampir semua orang, bahkan yang awam sekalipun, sebagaimana sudah dinukil
sebelumnya.
Meskipun sudah demikian mudah untuk
dipraktikkan, namun ternyata para ulama, bahkan di internal Syafi’iyah
sekalipun, tidak seluruhnya sepakat untuk mewajibkan adanya niat ightiraf ini.
Ada juga tokoh Syafi’iyah yang menganggap bila saat tangan menyentuh air di
dalam wadah tanpa ada niat apapun, maka airnya tidak menjadi musta’mal. Imam
Nawawi menyebutkan:
وَإِنْ
لَمْ يَنْوِ شَيْئًا، فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَصِيرُ، وَقَطَعَ الْبَغَوِيُّ
بِأَنَّهُ لَا يَصِيرُ
“Apabila ia tidak berniat apapun maka menurut
pendapat yang shahih airnya menjadi musta’mal. Tetapi al-Baghawi memastikan
bahwa air tersebut tidak musta’mal”. (an-Nawawi, Raudlat al-Thâlibîn, juz I,
halaman 9).
Dengan demikian menurut al-Baghawi, ketika
tangan menyentuh air di dalam wadah belum ada niatan sama sekali, baik niatan
untuk membasuh tangan di dalam wadah atau membasuhnya di luar wadah, maka tetap
saja tak masalah sebab airnya tidak menjadi musta’mal. Pendapat ini lebih
ringan daripada pendapat resmi mazhab Syafi’i.
Senada dengan al-Baghawi, beberapa ulama
Syafi’iyah lainnya banyak yang tidak mewajibkan niat ightirâf sama sekali,
sebagaimana dinukil dalam kitab Bughyat al-Musytarsyidîn. Di antara mereka yang
tidak mewajibkannya adalah Ibnu al-Muqri, asy-Syasi, Ibnu Abdissalam, Ibnu
‘Ujail, dan inilah pendapat yang dipilih oleh Imam al-Ghazali. Hal ini membuat
Syaikh Abu Makhramah menghimbau para alim ulama demikian:
قال
أبو مخرمة : فلا يشدد العالم على العامي بل يفتيه بعدم وجوبها
Abu Makhramah berkata: “Maka orang alim
janganlah mempersulit orang awam, tapi hendaknya dia berfatwa dengan ketidak
wajiban niat ightirâf.” (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyat al-Musytarsyidîn,
halaman 26).
Bila kita mengikuti pendapat yang tak
mewajibkan niat ightiraf ini, maka asalkan wudhu dilakukan di luar wadah air
berarti hukumnya sah meskipun dalam hati tak ada niatan sama sekali untuk
mengeluarkan air ke luar dari wadahnya. Anggap saja misalnya orangnya masih
mengobok-obok air tanpa ada niatan melanjutkan wudhu. Hal ini tak membuat
airnya menjadi musta’mal. Meskipun dinilai sebagai pendapat lemah dalam mazhab,
namun pendapat ini bisa difatwakan untuk orang dipraktikkan orang awam
Yang bermasalah hanyalah ketika ada niatan
untuk membasuh tangan di dalam wadah air, tidak di luarnya. Dalam perspektif
Syafi’iyah, ini menyebabkan airnya menjadi musta’mal sehingga tak bisa dipakai
lagi, seperti sudah dibahas sebelumnya. Namun, bila kita keluar dari mazhab
Syafi’i dan beralih ke mazhab lain, maka air musta’mal pun masih boleh dipakai
untuk berwudhu. Mazhab Malikiyah misalnya berpendapat:
المالكية
قالوا: الاستعمال لا يرفع طهورية الماء، فيجوز استعماله في الوضوء، والغسل،
ونحوهما، ولكن يكره استعماله في ذلك إن وجد غيره، فالاستعمال لا يسلب طهورية
الماء، ولو كان ذلك الماء قليلاً
“Para Ulama Malikiyah berkata: Pemakaian air
tidak menghilangkan kemampuan air tersebut Untuk menyucikan [lagi], maka boleh
memakai air musta’mal di dalam wudhu, mandi dan selainnya. Akan tetapi makruh
untuk memakai air musta’mal untuk tujuan tersebut apabila masih ditemukan air
lainnya. Pemakaian air itu sendiri tidak menghilangkan kemampuan air untuk
mensucikan benda lain meskipun air tersebut sedikit.” (Abdurrahman al-Jaza’iri,
al-Fiqh ‘ala Madzâhib al-Arba’ah, juz I, halaman 37).
Tentunya bila beralih mazhab seharusnya
mengikuti seluruh aturan mazhab tersebut. Misalnya, dalam mazhab Maliki
berwudhu wajib untuk membasuh seluruh kepala dari depan hingga belakang dan
wajib untuk menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya dengan mengalirkan air
saja ke kulit. Asal aturan ini dilakukan maka tak masalah berwudhu langsung ke
dalam air gayung sekalipun sebab meskipun berstatus air sisa tetapi tetap dapat
digunakan.
Dengan demikian, polemik tentang sah tidaknya
wudhu dalam air yang hanya satu gayung adalah ranah ikhtilaf (perbedaan
pendapat di kalangan ulama) yang lumrah di dalam dunia fiqih. Inti dari
semua bahasan ini adalah: bila mengikuti mazhab yang melarang penggunaan air
musta’mal, maka berwudhu dengan air satu gayung adalah sah selama wudhunya
dilakukan di luar gayung. Bila mengikuti mazhab yang tidak melarang
penggunaannya, maka wudhunya sah meskipun dilakukan di dalam gayung itu
sekalipun. Wallahu a'lam. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Pengurus Lembaga
Bahtsul Masa’il PWNU Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar