Senin, 17 Februari 2020

(Ngaji of the Day) Definisi Umat Islam dalam Kitab ‘al-Farq bain al-Firaq’


Definisi Umat Islam dalam Kitab ‘al-Farq bain al-Firaq’

Kitab al-Farq bain al-Firaq ditulis oleh ulama bermazhab Asy’ari dalam aqidah, dan Syafi’i dalam fiqih, bernama Abu Manshur Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), berisi tentang penjelasan doktrinal berbagai sekte dalam Islam. Ditulis sebagai uraian terhadap hadits yang berbicara soal terpecahnya umat Islam dalam tujuh puluh tiga firqah (sekte), dan hanya satu yang selamat. Kitab ini menjabarkan semua sekte yang berkembang pada saat itu disertai dengan penjelasan tentang keyakinan Ahlusunnah wal Jama’ah yang benar.

Dalam salah satu babnya, kitab ini secara spesifik membahas “siapa umat Islam” atau “siapa orang yang bisa diberi predikat Muslim.” Imam Abdul Qahir al-Baghdadi mengatakan, terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa yang secara umum bisa disebut beragama Islam. Ia mengutip banyak pendapat dari berbagai sekte, diawali dengan pendapat Abu al-Qasim al-Ka’bi (273-319 H), salah satu ulama Mu’tazilah yang pandangannya tentang tauhid banyak berbeda dengan pandangan umum Mu’tazilah, pengikutnya biasa disebut “al-Ka’biyyah.” Abu al-Qasim al-Ka’bi berkata:

أَن قَول الْقَائِل أمة الاسلام تقع على كل مقرّ بنبوة مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وان كل مَا جَاءَ بِهِ حق 

“Sesungguhnya perkataan umat Islam merujuk pada setiap orang yang mengakui (mengikrarkan) kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan (meyakini) setiap yang datang darinya adalah kebenaran.” (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, Kairo: Maktabah Ibnu Sina, tt, h. 29)

Pandangan lain dikemukakan oleh kelompok “al-Karrâmiyyah”, sebuah sekte mujassimah Khurasan. Namanya dinisbatkan pada pendirinya Muhammad bin Karrâm. Kelompok “al-Karrâmiyyah” terpecah menjadi tiga golongan: Haqâ’iqiyyah, Tharâ’iqiyyah, dan Ishâqiyyah. Ketiga golongan ini tidak saling mengafirkan satu sama lain, tapi mereka memvonis kafir seluruh umat Islam yang di luar sektenya. Mereka berkata:

أَن امة الاسلام جَامِعَة لكل من أقرّ بشهادتي الاسلام لفظا وَقَالُوا كل من قَالَ لَا اله الا الله مُحَمَّد رَسُول الله فَهُوَ مُؤمن حَقًا وَهُوَ من أهل مِلَّة الاسلام سَوَاء كَانَ مخلصا فِيهِ أَو منافقا مُضْمر الْكفْر فِيهِ والزندقة وَلِهَذَا زَعَمُوا أَن الْمُنَافِقين فِي عهد رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم كَانُوا مُؤمنين حَقًا وَكَانَ ايمانهم كايمان جِبْرِيل وميكائيل والانبياء وَالْمَلَائِكَة مَعَ اعْتِقَادهم النِّفَاق وَإِظْهَار الشَّهَادَتَيْنِ

“Sesungguhnya umat Islam adalah komunitas untuk setiap orang yang mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan ucapan.’ Mereka (juga) mengatakan: ‘setiap orang yang mengucapkan, ‘tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah’, dia adalah orang yang beriman secara hakiki, dan termasuk pemeluk agama Islam, entah dia orang yang tulus dalam (memeluk)nya atau seorang munafik yang menyembunyikan kekufurannya, serta zindiq.’ Mereka berpendapat, ‘orang-orang munafik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang beriman secara hakiki. Iman mereka seperti imannya Jibril, Mikail, para nabi dan para malikat, yang keimanannya dibarengi kemunafikan dan menampakkan (pengikraran) dua syahadat.” (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 29)

Pendapat ini, menurut Imam Abdul Qahir al-Baghdadi terbantahkan oleh pendapat yang dikemukakan kalangan ‘Iswiyyah, sekte Yahudi Isfahan, yang didirikan oleh Abu ‘Isa Ishaq bin Ya’qub al-Asfahani yang hidup di masa kepemimpinan Marwan bin Muhammad (w. 132 H) dari Dinasti Umayyah, dan sekte Yahudi lainnya, Musykâniyyah. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi menulis:

فانهم يقرونَ بنبوة نَبينَا مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَبِأَن كل مَا جَاءَ بِهِ حق وَلَكنهُمْ زَعَمُوا انه بعث الى الْعَرَب لَا الى بنى اسرائيل وَقَالُوا: ايضا مُحَمَّد رَسُول الله وَمَا هم معدودين فِي فرق الاسلام

“Mereka (kelompok ‘Iswiyyah) mengakui kenabian nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan meyakini setiap yang datang darinya adalah kebenaran, tapi mereka berpandangan bahwa Nabi Muhammad (hanya) diutus untuk bangsa Arab, tidak untuk Bani Israil.’ Mereka juga mengatakan bahwa Muhammad adalah rasulullah. (Meski demikian) mereka tidak termasuk dalam sekte Islam.” (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 29-30)

وَقوم من موشكانية الْيَهُود حكوا عَن زعيمهم الْمَعْرُوف بمشكان أَنه قَالَ: إن مُحَمَّدًا رَسُول الله الى الْعَرَب والى سَائِر النَّاس مَا خلا الْيَهُود, وَأَنه قَالَ: إن الْقُرْآن حق وكل الاذان وَالْإِقَامَة والصلوات الْخمس وَصِيَام شهر رَمَضَان وَحج الْكَعْبَة كل ذَلِك حق غير أَنه مَشْرُوع للْمُسلمين دون الْيَهُود, وَرُبمَا فعل ذَلِك بعض الموشكانية, وقد أقرُّوا بشهادتي أَن لَا اله الا الله وَأَن مُحَمَّدًا رَسُول الله, واقروا بِأَن دينه حق, وَمَا هم مَعَ ذَلِك من أمة الاسلام لقَولهم بَان شَرِيعَة الاسلام لَا تلزمهم

“Satu kelompok dari Yahudi Muskaniyyah menuturkan pandangan (pemimpin) mereka yang dikenal dengan Musykan, ia berkata: ‘Sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah untuk bangsa Arab dan seluruh manusia di dunia kecuali Yahudi.’ Ia (juga) berkata: ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah benar. Setiap azan, iqamah, shalat lima waktu, puasa ramadan, dan pergi haji ke Baitullah, semuanya adalah benar, (dan) disyariatkan untuk umat islam, tapi tidak untuk orang Yahudi.’ (Bahkan), terkadang sebagian pengikut al-Musykaniyyah mengamalkan (ibadah-ibadah umat Islam) yang disebut di atas. Mereka (juga) mengikrarkan dua syahadat bahwa, ‘sesungguhnya tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.’ Mereka (juga) meyakini bahwa agama Islam adalah agama yang benar. (Meski demikian), dengan berbagai (keyakinan)nya, mereka tidak termasuk umat Islam karena ucapan mereka bahwa syariat Islam tidak menetapi mereka.” (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 30)

Dua pandangan sekte Yahudi tersebut, bagi Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, merupakan bantahan terhadap dua pendapat awal, bahwa menjadi Muslim tidak cukup hanya dengan mengikrarkan syahadat dan meyakini kebenarannya, tanpa mempertimbangkan banyak aspek lainnya. Jika menjadi Muslim cukup dengan itu, maka dua sekte Yahudi di atas sudah bisa dianggap sebagai Muslim, karena mereka mengikrarkan syahadat dan meyakini kebenaran risalah yang dibawanya, bahkan sebagian dari mereka mengamalkan ibadah Islam. 


Dengan memasukkan pendapat dua sekte Yahudi, Imam Abdul Qahir al-Baghdadi ingin mengatakan bahwa ia tidak sependapat dengan dua pendapat di atas. Di paragraf berikutnya, ia mengungkapkan pendapatnya sendiri. Ia menulis:

وَالصَّحِيح عندنَا أَن أمة الاسلام تجمع المقرين بحدوث الْعَالم وتوحيد صانعه وَقدمه وَصِفَاته وعدله وحكمته وَنفى التَّشْبِيه عَنهُ وبنبوة مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم ورسالته الى الكافة وبتأييد شَرِيعَته وَبِأَن كل مَا جَاءَ بِهِ حق وَبِأَن الْقُرْآن منبع أَحْكَام الشَّرِيعَة وَأَن الْكَعْبَة هِيَ الْقبْلَة الَّتِي تجب الصَّلَاة اليها فَكل من أقرّ بذلك كُله وَلم يشبه ببدعة تُؤَدّى الى الْكفْر فَهُوَ السنى الموحد 

“Dan yang benar menurut kami, bahwa umat Islam adalah umat yang meyakini (berikrar) atas baharunya alam semesta, keesaan Penciptanya, keqadiman-Nya, sifat-sifat-Nya, keadilan-Nya, hukum-hukum-Nya, peniadaan menyamakan-Nya, dan (meyakini) kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam serta risalahnya secara menyeluruh, (meyakini) tetapnya syariat-Nya, (meyakini) bahwa setiap yang dibawanya adalah benar. (Meyakini) Al-Qur’an adalah sumber hukum-hukum syariat, dan Ka’bah adalah kiblat yang diwajibkan shalat menghadapnya. Maka, setiap orang yang meyakini (berikrar) dengan semua itu, dan tidak terkontaminasi dengan bid’ah yang bisa membawa pada kekufuran, dia adalah Ahlussunnah yang mengesakan Tuhan.” (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 30)

Perkataan Imam Abdul Qahir al-Baghdadi di atas adalah aqidah dalam bentuk teori, meski terkesan sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya, tapi sebenarnya ada perbedaan yang cukup mencolok. Imam Abdul Qahir menguraikan pengertian “umat Islam” lebih terperinci, dari meyakini bahwa alam semesta ini baharu karena tidak ada yang qadim selain Allah, hingga meyakini Al-Qur’an sebagai sumber hukum-hukum syariat. Artinya, aqidah dibawa masuk ke dalam banyak aspek, termasuk fiqih atau syariat. 

Selain itu, Imam Abdul Qahir al-Baghdadi juga memberi batasan, yaitu tidak melakukan bid’ah yang bisa membawa pada kekufuran. Bid’ah yang dimaksud oleh Imam Abdul Qahir al-Baghdadi adalah bid’ah teologis (aqidah), bukan bid’ah syariah yang dimensinya sangat luas. Ia membagi bid’ah teologis dalam dua kelompok besar: pertama, kelompok yang tidak termasuk umat Islam, seperti Bathiniyyah, Bayaniyyah, atau kelompok yang meyakini sisi ketuhanan para Imam, mempercayai titisan, atau bid’ahnya mazhab al-Maimuniyyah dari Khawarij yang membolehkan menikahi cucu perempuan dan cucu laki-laki dari anak perempuan, atau bid’ahnya mazhab al-Yazidiyyah dari sekte Ibadiyah yang meyakini bahwa syariat Islam akan terhapus di akhir zaman, dan masih banyak yang lainnya. (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 31)

Kedua, kelompok yang sebagian ajarannya masih termasuk umat Islam, dan sebagian lagi tidak, seperti Mu’tazilah, Khawarij, Najjariyyah, Jahmiyyah, Mujassimah dan lain sebagainya. Mereka masih termasuk umat Islam dalam sebagian hukum, sehingga mereka berhak dikuburkan di perkuburan Islam, boleh shalat di masjid, dan seterusnya. Begitu juga sebaliknya, mereka tidak termasuk umat Islam dalam bagian hukum yang lain, contohnya mereka tidak diperbolehkan menjadi imam, dan lain sebagainya. (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 31)

Sebagai penutup, terlepas dari pembahasan teologis di atas, seorang Muslim harus memahami konsekuensi mengikat dari dua kalimat syahadat. Jika hanya mencukupkan diri dengan mengikrarkan dua kalimat syahadat, ia sekadar Muslim, tapi tidak sampai pada cita-cita kesalehan yang diharapkan, apalagi jika ikrarnya tidak diikuti keimanan di hatinya, seperti kaum munafik di zaman nabi. Karena itu, banyak sekali hadits yang diawali dengan, “lâ yu’minu ahadukum—tidak dianggap beriman salah satu dari kalian,” dan, “man amana billlahi wal yaumil akhir—barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” Hal ini menunjukkan bahwa wilayah kerja iman sangat luas, tidak sekadar berkutat di area keyakinan. Sebab, banyak orang beriman tapi masih bermaksiat; banyak orang beriman tapi tetap berbuat dosa. Inilah pentingnya iman dijadikan sebagai motor penggerak, agar manusia bergerak ke arah kebaikan yang dicita-citakan Al-Qur’an dan al-Sunnah.

Wallahu a’lam bi al-shawwab. []

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen dan PP. Al-Islam, Kaliketing, Doro, Pekalongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar