Definisi Umat Islam dalam
Kitab ‘al-Farq bain al-Firaq’
Kitab al-Farq bain al-Firaq ditulis oleh
ulama bermazhab Asy’ari dalam aqidah, dan Syafi’i dalam fiqih, bernama Abu
Manshur Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), berisi tentang penjelasan doktrinal
berbagai sekte dalam Islam. Ditulis sebagai uraian terhadap hadits yang
berbicara soal terpecahnya umat Islam dalam tujuh puluh tiga firqah (sekte),
dan hanya satu yang selamat. Kitab ini menjabarkan semua sekte yang berkembang
pada saat itu disertai dengan penjelasan tentang keyakinan Ahlusunnah wal
Jama’ah yang benar.
Dalam salah satu babnya, kitab ini secara
spesifik membahas “siapa umat Islam” atau “siapa orang yang bisa diberi
predikat Muslim.” Imam Abdul Qahir al-Baghdadi mengatakan, terjadi perbedaan
pendapat mengenai siapa yang secara umum bisa disebut beragama Islam. Ia
mengutip banyak pendapat dari berbagai sekte, diawali dengan pendapat Abu
al-Qasim al-Ka’bi (273-319 H), salah satu ulama Mu’tazilah yang pandangannya
tentang tauhid banyak berbeda dengan pandangan umum Mu’tazilah, pengikutnya
biasa disebut “al-Ka’biyyah.” Abu al-Qasim al-Ka’bi berkata:
أَن
قَول الْقَائِل أمة الاسلام تقع على كل مقرّ بنبوة مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ
وَسلم وان كل مَا جَاءَ بِهِ حق
“Sesungguhnya perkataan umat Islam merujuk
pada setiap orang yang mengakui (mengikrarkan) kenabian Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, dan (meyakini) setiap yang datang darinya adalah kebenaran.”
(Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, Kairo: Maktabah Ibnu
Sina, tt, h. 29)
Pandangan lain dikemukakan oleh kelompok
“al-Karrâmiyyah”, sebuah sekte mujassimah Khurasan. Namanya dinisbatkan pada
pendirinya Muhammad bin Karrâm. Kelompok “al-Karrâmiyyah” terpecah menjadi tiga
golongan: Haqâ’iqiyyah, Tharâ’iqiyyah, dan Ishâqiyyah. Ketiga golongan ini
tidak saling mengafirkan satu sama lain, tapi mereka memvonis kafir seluruh
umat Islam yang di luar sektenya. Mereka berkata:
أَن
امة الاسلام جَامِعَة لكل من أقرّ بشهادتي الاسلام لفظا وَقَالُوا كل من قَالَ لَا
اله الا الله مُحَمَّد رَسُول الله فَهُوَ مُؤمن حَقًا وَهُوَ من أهل مِلَّة
الاسلام سَوَاء كَانَ مخلصا فِيهِ أَو منافقا مُضْمر الْكفْر فِيهِ والزندقة
وَلِهَذَا زَعَمُوا أَن الْمُنَافِقين فِي عهد رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ
وَسلم كَانُوا مُؤمنين حَقًا وَكَانَ ايمانهم كايمان جِبْرِيل وميكائيل والانبياء
وَالْمَلَائِكَة مَعَ اعْتِقَادهم النِّفَاق وَإِظْهَار الشَّهَادَتَيْنِ
“Sesungguhnya umat Islam adalah komunitas
untuk setiap orang yang mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan ucapan.’
Mereka (juga) mengatakan: ‘setiap orang yang mengucapkan, ‘tiada tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah’, dia adalah orang yang beriman secara
hakiki, dan termasuk pemeluk agama Islam, entah dia orang yang tulus dalam
(memeluk)nya atau seorang munafik yang menyembunyikan kekufurannya, serta
zindiq.’ Mereka berpendapat, ‘orang-orang munafik di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang beriman secara hakiki. Iman
mereka seperti imannya Jibril, Mikail, para nabi dan para malikat, yang keimanannya
dibarengi kemunafikan dan menampakkan (pengikraran) dua syahadat.” (Imam Abdul
Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 29)
Pendapat ini, menurut Imam Abdul Qahir
al-Baghdadi terbantahkan oleh pendapat yang dikemukakan kalangan ‘Iswiyyah,
sekte Yahudi Isfahan, yang didirikan oleh Abu ‘Isa Ishaq bin Ya’qub al-Asfahani
yang hidup di masa kepemimpinan Marwan bin Muhammad (w. 132 H) dari Dinasti
Umayyah, dan sekte Yahudi lainnya, Musykâniyyah. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi
menulis:
فانهم
يقرونَ بنبوة نَبينَا مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَبِأَن كل مَا جَاءَ بِهِ
حق وَلَكنهُمْ زَعَمُوا انه بعث الى الْعَرَب لَا الى بنى اسرائيل وَقَالُوا: ايضا
مُحَمَّد رَسُول الله وَمَا هم معدودين فِي فرق الاسلام
“Mereka (kelompok ‘Iswiyyah) mengakui
kenabian nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan meyakini setiap
yang datang darinya adalah kebenaran, tapi mereka berpandangan bahwa Nabi
Muhammad (hanya) diutus untuk bangsa Arab, tidak untuk Bani Israil.’ Mereka
juga mengatakan bahwa Muhammad adalah rasulullah. (Meski demikian) mereka tidak
termasuk dalam sekte Islam.” (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain
al-Firaq, h. 29-30)
وَقوم
من موشكانية الْيَهُود حكوا عَن زعيمهم الْمَعْرُوف بمشكان أَنه قَالَ: إن
مُحَمَّدًا رَسُول الله الى الْعَرَب والى سَائِر النَّاس مَا خلا الْيَهُود,
وَأَنه قَالَ: إن الْقُرْآن حق وكل الاذان وَالْإِقَامَة والصلوات الْخمس وَصِيَام
شهر رَمَضَان وَحج الْكَعْبَة كل ذَلِك حق غير أَنه مَشْرُوع للْمُسلمين دون
الْيَهُود, وَرُبمَا فعل ذَلِك بعض الموشكانية, وقد أقرُّوا بشهادتي أَن لَا اله
الا الله وَأَن مُحَمَّدًا رَسُول الله, واقروا بِأَن دينه حق, وَمَا هم مَعَ
ذَلِك من أمة الاسلام لقَولهم بَان شَرِيعَة الاسلام لَا تلزمهم
“Satu kelompok dari Yahudi Muskaniyyah
menuturkan pandangan (pemimpin) mereka yang dikenal dengan Musykan, ia berkata:
‘Sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah untuk bangsa Arab dan seluruh
manusia di dunia kecuali Yahudi.’ Ia (juga) berkata: ‘Sesungguhnya Al-Qur’an
adalah benar. Setiap azan, iqamah, shalat lima waktu, puasa ramadan, dan pergi
haji ke Baitullah, semuanya adalah benar, (dan) disyariatkan untuk umat islam,
tapi tidak untuk orang Yahudi.’ (Bahkan), terkadang sebagian pengikut
al-Musykaniyyah mengamalkan (ibadah-ibadah umat Islam) yang disebut di atas.
Mereka (juga) mengikrarkan dua syahadat bahwa, ‘sesungguhnya tiada tuhan selain
Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.’ Mereka (juga) meyakini bahwa agama
Islam adalah agama yang benar. (Meski demikian), dengan berbagai
(keyakinan)nya, mereka tidak termasuk umat Islam karena ucapan mereka bahwa
syariat Islam tidak menetapi mereka.” (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq
bain al-Firaq, h. 30)
Dua pandangan sekte Yahudi tersebut, bagi
Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, merupakan bantahan terhadap dua pendapat awal,
bahwa menjadi Muslim tidak cukup hanya dengan mengikrarkan syahadat dan
meyakini kebenarannya, tanpa mempertimbangkan banyak aspek lainnya. Jika
menjadi Muslim cukup dengan itu, maka dua sekte Yahudi di atas sudah bisa
dianggap sebagai Muslim, karena mereka mengikrarkan syahadat dan meyakini
kebenaran risalah yang dibawanya, bahkan sebagian dari mereka mengamalkan
ibadah Islam.
Dengan memasukkan pendapat dua sekte Yahudi,
Imam Abdul Qahir al-Baghdadi ingin mengatakan bahwa ia tidak sependapat dengan
dua pendapat di atas. Di paragraf berikutnya, ia mengungkapkan pendapatnya
sendiri. Ia menulis:
وَالصَّحِيح
عندنَا أَن أمة الاسلام تجمع المقرين بحدوث الْعَالم وتوحيد صانعه وَقدمه
وَصِفَاته وعدله وحكمته وَنفى التَّشْبِيه عَنهُ وبنبوة مُحَمَّد صلى الله
عَلَيْهِ وَسلم ورسالته الى الكافة وبتأييد شَرِيعَته وَبِأَن كل مَا جَاءَ بِهِ
حق وَبِأَن الْقُرْآن منبع أَحْكَام الشَّرِيعَة وَأَن الْكَعْبَة هِيَ الْقبْلَة
الَّتِي تجب الصَّلَاة اليها فَكل من أقرّ بذلك كُله وَلم يشبه ببدعة تُؤَدّى الى
الْكفْر فَهُوَ السنى الموحد
“Dan yang benar menurut kami, bahwa umat Islam
adalah umat yang meyakini (berikrar) atas baharunya alam semesta, keesaan
Penciptanya, keqadiman-Nya, sifat-sifat-Nya, keadilan-Nya, hukum-hukum-Nya,
peniadaan menyamakan-Nya, dan (meyakini) kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam serta risalahnya secara menyeluruh, (meyakini) tetapnya syariat-Nya,
(meyakini) bahwa setiap yang dibawanya adalah benar. (Meyakini) Al-Qur’an
adalah sumber hukum-hukum syariat, dan Ka’bah adalah kiblat yang diwajibkan
shalat menghadapnya. Maka, setiap orang yang meyakini (berikrar) dengan semua
itu, dan tidak terkontaminasi dengan bid’ah yang bisa membawa pada kekufuran,
dia adalah Ahlussunnah yang mengesakan Tuhan.” (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi,
al-Farq bain al-Firaq, h. 30)
Perkataan Imam Abdul Qahir al-Baghdadi di
atas adalah aqidah dalam bentuk teori, meski terkesan sama dengan
pendapat-pendapat sebelumnya, tapi sebenarnya ada perbedaan yang cukup
mencolok. Imam Abdul Qahir menguraikan pengertian “umat Islam” lebih terperinci,
dari meyakini bahwa alam semesta ini baharu karena tidak ada yang qadim selain
Allah, hingga meyakini Al-Qur’an sebagai sumber hukum-hukum syariat. Artinya,
aqidah dibawa masuk ke dalam banyak aspek, termasuk fiqih atau syariat.
Selain itu, Imam Abdul Qahir al-Baghdadi juga
memberi batasan, yaitu tidak melakukan bid’ah yang bisa membawa pada kekufuran.
Bid’ah yang dimaksud oleh Imam Abdul Qahir al-Baghdadi adalah bid’ah teologis
(aqidah), bukan bid’ah syariah yang dimensinya sangat luas. Ia membagi bid’ah
teologis dalam dua kelompok besar: pertama, kelompok yang tidak termasuk umat
Islam, seperti Bathiniyyah, Bayaniyyah, atau kelompok yang meyakini sisi
ketuhanan para Imam, mempercayai titisan, atau bid’ahnya mazhab al-Maimuniyyah
dari Khawarij yang membolehkan menikahi cucu perempuan dan cucu laki-laki dari
anak perempuan, atau bid’ahnya mazhab al-Yazidiyyah dari sekte Ibadiyah yang
meyakini bahwa syariat Islam akan terhapus di akhir zaman, dan masih banyak
yang lainnya. (Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 31)
Kedua, kelompok yang sebagian ajarannya masih
termasuk umat Islam, dan sebagian lagi tidak, seperti Mu’tazilah, Khawarij,
Najjariyyah, Jahmiyyah, Mujassimah dan lain sebagainya. Mereka masih termasuk
umat Islam dalam sebagian hukum, sehingga mereka berhak dikuburkan di
perkuburan Islam, boleh shalat di masjid, dan seterusnya. Begitu juga
sebaliknya, mereka tidak termasuk umat Islam dalam bagian hukum yang lain,
contohnya mereka tidak diperbolehkan menjadi imam, dan lain sebagainya. (Imam
Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 31)
Sebagai penutup, terlepas dari pembahasan
teologis di atas, seorang Muslim harus memahami konsekuensi mengikat dari dua
kalimat syahadat. Jika hanya mencukupkan diri dengan mengikrarkan dua kalimat
syahadat, ia sekadar Muslim, tapi tidak sampai pada cita-cita kesalehan yang
diharapkan, apalagi jika ikrarnya tidak diikuti keimanan di hatinya, seperti
kaum munafik di zaman nabi. Karena itu, banyak sekali hadits yang diawali
dengan, “lâ yu’minu ahadukum—tidak dianggap beriman salah satu dari kalian,”
dan, “man amana billlahi wal yaumil akhir—barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir.” Hal ini menunjukkan bahwa wilayah kerja iman sangat luas,
tidak sekadar berkutat di area keyakinan. Sebab, banyak orang beriman tapi
masih bermaksiat; banyak orang beriman tapi tetap berbuat dosa. Inilah
pentingnya iman dijadikan sebagai motor penggerak, agar manusia bergerak ke
arah kebaikan yang dicita-citakan Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Wallahu a’lam bi al-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen dan PP. Al-Islam, Kaliketing,
Doro, Pekalongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar