Ketika Sayyidina Abu Hurairah Dituduh Mencuri
Dalam Kitâb al-Imtâ wa al-Mu’ânasah, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi (w. 414 H) mencatat sebuah riwayat tentang Sayyidina Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dituduh mencuri sesuatu. Berikut riwayatnya:
وقال
رجل لأبي هريرة: أنت أبو هريرة؟ قال: نعم. قال: سارق الذّريْرة؟ قال: اللهم إن كان كاذبا فاغفر له, وإن كان صادقا فاغفر لي, هكذا
أمرني رسول الله
Seorang laki-laki bertanya pada Abu Hurairah:
“Kau Abu Hurairah?”
Abu Hurairah menjawab: “Benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi: “Sang pencuri
dzarîrah (salah satu jenis wewangian)?”
Abu Hurairah berkata: “Ya Allah, jika dia
berbohong, maka ampunilah dia. Jika dia benar, maka ampunilah aku. Seperti
inilah yang diperintahkan (diajarkan) Rasulullah kepadaku.”
(Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, Kitâb al-Imtâ wa
al-Mu’ânasah, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 2011, h. 247)
****
Dari jawaban Sayyidina Abu Hurairah
radliyallahu ‘anhu, ia menunjukkan sikap yang diajarkan Rasulullah, atau lebih
tepatnya diperintahkan Rasulullah, karena kata yang digunakan adalah “amaranî”
(memerintahkan kepadaku). Artinya bersikap memaafkan dan membalas tuduhan
dengan doa kebaikan merupakan akhlak yang harus diteladani. Menariknya, doa
yang dipanjatkan Sayyidina Abu Hurairah tidak hanya merujuk pada orang yang mencurigainya,
tapi juga terhadap dirinya sendiri.
Ini membuktikan bahwa, ia sebagai manusia
berpeluang salah dan butuh ampunan Tuhan. Barangkali ia pernah secara tak
sengaja melakukan kesalahan atau tertempel minyak wangi dan mendapat tuduhan
ini. Karena itu, ia tak lupa memanjatkan doa untuk dirinya sendiri: “Ya Allah,
jika dia benar, maka ampunilah aku.” Penggunaan kata “shadîqan” (benar/jujur)
menunjukkan kerendahan-hati dan ketulusannya. Karena bagaimanapun juga, di
titik tertentu manusia pati mengalami perasaan tidak bersalah atau tidak merasa
melakukan kesalahan meski ia sebenarnya melakukannya.
Di poin inilah kenapa memohon ampun kepada
Allah sangat penting. Karena di setiap tuduhan, gunjingan dan celaan yang kita
terima, bisa jadi ada kebenaran di dalamnya. Hanya karena disampaikan dengan
cara yang buruk dan menyinggung, kita marah dan menganggapnya sebagai hinaan.
Kita menjadi lupa akan sisi kemanusiaan kita yang kemungkinan salahnya tidak
lebih kecil dari kemungkinan benarnya.
Sayyidina Abu Hurairah juga mendoakan orang
yang mencurigainya dengan mengucapkan: “Ya Allah, jika dia berbohong, maka
ampunilah dia.” Jika kita menelaahnya lebih dalam, doa ini menunjukkan
ketidak-relaan Sayyidina Abu Hurairah jika ada orang yang berdosa karenanya,
atau ia menjadi penyebab dosa orang tersebut. Tuduhan palsu adalah perbuatan
dosa, maka sudah bisa dipastikan laki-laki yang menuduh Sayyidina Abu Hurairah
akan menanggung dosa. Artinya, ia menjadi penyebab tidak langsung dosa orang
tersebut. Karena itu, ia memohonkan ampunan kepadanya jika dia berbohong.
Apa yang dilakukan Sayyidina Abu Hurairah ini
merupakan kasih sayang. Karena ia tak mau ada orang yang menanggung dosa karena
tuduhan kepadanya. Ia ingin setiap kesalahan orang kepadanya diampuni oleh
Tuhan. Sebagai murid langsung Rasulullah, tentunya ia ingin agar semua orang
terbersihkan dari dosa. Ia tak mau melihat orang-orang kesusahan di akhirat
kelak.
Karena itu, dalam jawabannya yang berupa doa,
ia melakukan dua hal sekaligus untuk orang tersebut. Pertama, memohonkan
ampunan untuknya agar tidak terbebani dosa dari tuduhannya. Kedua, ia sedang
mengajarkan akhlak yang baik seperti yang diperintahkan Rasulullah. Ia tidak
menampakkan kemarahan dan tidak melakukan pembelaan diri. Ia malah bergegas
berdoa, memohonkan ampunan untuk orang yang mencurigainya dan memohon ampun
untuk dirinya sendiri.
Tindakan ini dibarengi dengan pertunjukkan akhlak yang baik, yaitu tidak menggunakan kata gantu “kau”, “kamu” atau “Anda” dalam doanya. Ia menggunakan kata ganti orang ketiga, “dia”. Dengan menggunakan kata ganti orang ketiga, Sayyidina Abu Hurairah tidak menuduh secara langsung orang di depannya berbuat salah, sekaligus memohonkan ampunan untuk para pembawa mata rantai berita “pencuri minyak wangi” hingga sampai kepada orang yang di depannya ini.
Dengan demikian, ia sedang berdakwah dan
mendidik orang yang menuduhnya ini. Dakwah yang ditampilkan dengan wajah yang
sejuk, menembus relung hati, dan membuat objeknya tak habis pikir. Maksud “tak
habis pikir” adalah memberikan efek kejut yang luar biasa.
Sebab, dalam batasan tertentu manusia bisa
memprediksi respon umum yang akan dilakukan seseorang. Misalnya jika pribadinya
dihina, atau kebaikannya dipertanyakan, sudah bisa dipastikan responsnya akan
marah, sakit hati, tersinggung, membela diri, memusuhi, bahkan mungkin
membalas. Tapi respon yang ditampilkan Sayyidina Abu Hurairah berbeda, ia
menampakkan sesuatu yang di luar prediksinya, ditambah lagi Sayyidina Abu
Hurairah menutupnya dengan perkataan, “Seperti inilah yang diperintahkan
Rasulullah kepadaku (ketika sedang menghadapi hal-hal semacam ini).”
Pertanyaannya, maukah kita meneladaninya? Wallahu a’lam bish-shawwab.[]
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar