Meneladani Sifat
Shamadiyyah Allah melalui Puasa
Puasa merupakan satu dari beberapa ibadah
yang spesial. Puasa memiliki pahala dan keutamaan yang besar sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Nabi. Besarnya pahala puasa hanya Allah yang
mengetahuinya, saat amal-amal ibadah lain diketahui kadar pahalanya. Puasa
menjadi benteng dari api neraka. Semakin puasa dijalani dengan adab-adabnya,
semakin besar pula peluang puasa tersebut diterima. Lantas, bagaimana tanda
puasa diterima?
Perlu dijelaskan terlebih dahulu apa maksud
puasa diterima. Dari sudut pandang hukum legal formal fiqih, puasa yang
dijalani sesuai dengan syarat dan rukunnya, maka sah dan cukup untuk
menggugurkan kewajiban, meski dilakukan dengan banyak menggunjing, banyak
nyinyir, berkata dusta, masih gemar mencaci maki, gemar menyebar berita hoaks dan
perbuatan buruk lainnya. Namun, sesungguhnya puasa tersebut tidak berarti
apa-apa kecuali menggugurkan kewajiban qadla’. Sebab, sah secara fiqih bukan
berarti puasa tersebut diterima di sisi Allah dan berpahala.
Dari itu, Nabi bersabda:
كم
من صائم ليس له من صيامه إلا الظمأ
“Banyak orang berpuasa, tidak ada dari
puasanya selain haus.” (HR ad-Darimi, an-Nasai, dan lainnya)
Syekh Abi al-Hasan Ubaidillah al-Mubarakfauri
menjelaskan hadits di atas dengan komentarnya sebagai berikut:
كم من صائم
ليس له) أي حاصل أو حظ (من صيامه) أي من أجله (إلا الظمأ) بالرفع أي العطش ونحوه
من الجوع يعني ليس لصومه قبول عند الله فلا ثواب له ، نعم سقوط التكليف عن الذمة
حاصل عند العلماء
“Banyak orang berpuasa tiada bagian yang
dihasilkan dari puasanya kecuali haus dan lapar. Maksud Nabi, puasanya tidak
diterima di sisi Allah, sehingga tidak mendapat pahala sama sekali. Namun
demikian, gugurnya tuntutan dari tanggung jawab fiqih seseorang telah terpenuhi
menurut para ulama.” (Syekh Abi al-Hasan Ubaidillah bin al-‘Allamah Muhammad
Abdissalam al-Mubarakfauri, Mir’at al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, Juz 6,
halaman 1053)
Puasa yang diterima tidak sebatas menahan
syahwat perut dan kemaluan (makan, minum, dan bersenggama). Namun juga dengan
menjaga mata, lisan, telinga, kaki, mulut, tangan dan anggota tubuh lainnya
dari hal-hal yang dilarang Allah, sehingga dapat mencapai maksud tujuan puasa
yaitu, meneladani sifat shamadiyyah Allah dan mengikuti perilaku malaikat dalam
hal mencegah diri dari syahwat-syahwat dengan segenap kemampuan.
Yang dimaksud dengan sifat shamadiyyah adalah
tidak membutuhkan orang lain melainkan sebaliknya: dibutuhkan oleh mereka.
Orang yang berpuasa dilatih untuk melepas ketergantungan kepada selain-Nya,
tidak menjadi hamba hawa nafsunya, hamba uang, hamba kekuasaan, hamba jabatan
dan lain sebagainya.
Al-Imam al-Ghazali mengatakan:
فأما
علماء الآخرة فيعنون بالصحة القبول وبالقبول الوصول إلى المقصود ويفهمون أن
المقصود من الصوم التخلق بخلق من أخلاق الله عز و جل وهو الصمدية والاقتداء
بالملائكة في الكف عن الشهوات بحسب الإمكان فإنهم منزهون عن الشهوات، والإنسان
رتبته فوق رتبة البهائم لقدرته بنور العقل على كسر شهوته ودون رتبة الملائكة
لاستيلاء الشهوات عليه وكونه مبتلى بمجاهدتها فكلما انهمك في الشهوات انحط إلى
أسفل السافلين والتحق بغمار البهائم وكلما قمع الشهوات ارتفع إلى أعلى عليين
والتحق بأفق الملائكة، والملائكة مقربون من الله عز و جل والذي يقتدى بهم ويتشبه
بأخلاقهم يقرب من الله عز و جل كقربهم فإن الشبيه من القريب قريب وليس القريب ثم
بالمكان بل بالصفات
“Ulama akhirat menghendaki sahnya puasa
dengan diterima, dan yang dimaksud diterima adalah sampai kepada tujuan puasa
yaitu meneladani satu dari beberapa sifat-sifat Allah yaitu ‘shamadiyyah’ dan
mengikuti perilaku malaikat dengan mencegah diri dari beberapa syahwat dengan
segenap kemampuan, sesungguhnya mereka dibersihkan dari syahwat-syahwat.
Derajat manusia di atas binatang-binatang karena kemampuan berakalnya dapat
mencegah syahwatnya dan di bawah derajat malaikat karena syahwat dapat
menguasainya dan ia diberi cobaan untuk memeranginya. Saat manusia asyik
terlena dengan syahwat-syahwat, ia turun kasta di dasar yang paling dasar
menyusul kelompok binatang-binatang. Saat manusia mampu menahan syahwatnya, ia
naik di atas derajat tertinggi menyusul wilayah para malaikat. Para malaikat
didekatkan di sisi Allah. Orang yang mengikuti dan berperilaku seperti mereka,
ia dekat dengan Allah seperti kedekatan mereka, sesungguhnya orang yang
menyerupai orang dekat, ia juga dekat. Kedekatan di sisiNya bukan diukur dengan
tempat, namun dengan sifat.” (Hujjah al-Islam Syekh Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 1, halaman 236)
Semoga puasa kita tidak sebatas menjalankan
hukum legal formal fiqih, namun juga dapat meneladani sifat Allah dan para
malaikat-Nya. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar