Hukum Mengonsumsi Makanan
yang Kehalalannya Diragukan
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb. Redaksi NU Online, kami sering kali mendapatkan hidangan daging hewan yang halal. Tetapi kami ragu apakah daging hewan ini diolah sesuai ketentuan agama. Apakah kami tetap dapat memakan hidangan yang meragukan? Demikian kami sampaikan, atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Subhan – Serang
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb. Penanya dan pembaca
yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Kita sering
kali mengonsumsi daging hewan yang halal baik ayam, sapi, kambing, maupun
daging halal lainnya dengan aneka cara penghidangan. Pengalaman ini sering kita
lewati. Namun semua itu sampai di atas meja makan kita atau di dapur kita tanpa
kita ketahui bagaimana cara penyembelihannya.
Perihal mengonsumsi makanan yang kehalalannya
diragukan karena cara penyembelihannya, ulama berbeda pendapat. Bagi ulama
Syafi’i, seorang penyembelih dianjurkan untuk membaca “bismillah” berdasarkan
Surat Al-An’am ayat 118. Menurut mereka, baca “bismillah” tidak wajib ketika
menyembelih hewan. Jika tidak membaca bismillah secara sengaja atau lupa,
daging hewan sembelihannya tetap halal. Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan
bahwa daging hewan itu tidak halal jika penyembelih sengaja tidak membaca
“bismillah.”
Adapun Surat Al-An’am ayat 118 berbunyi
sebagai berikut:
فَكُلُوا
مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ
Artinya, “Makanlah hewan-hewan (halal) yang
disebut nama Allah (saat menyembelihnya), jika kamu mengimani ayat-ayat-Nya.”
Para ulama mazhab Syafi’i mencoba menjawab
pandangan Imam Abu Hanifah dengan Surat Al-Maidah ayat 3, ayat 5, dan sejumlah
hadits riwayat Imam Bukhari. Argumentasi mazhab Syafi’i ini disebutkan oleh
Al-Khatib As-Syarbini dalam karyanya, Mughnil Muhtaj, berikut ini:
وأجاب
أئمتنا بقوله تعالى { حرمت عليكم الميتة والدم } إلى قوله : { إلا ما ذكيتم }
فأباح المذكى ولم يذكر التسمية، وبأن الله تعالى أباح ذبائح أهل الكتاب بقوله
تعالى : { وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم } وهم لا يسمون غالبا ، فدل على أنها
غير واجبة ، وبقول عائشة رضي الله تعالى عنها { إن قوما قالوا يا رسول الله إن
قومنا حديثو عهد بالجاهلية يأتونا بلحام لا ندري أذكروا اسم الله عليها أم لم
يذكروا أنأكل منها ؟ فقال : اذكروا اسم الله وكلوا } رواه البخاري ولو كان واجبا
لما أجاز الأكل مع الشك
Artinya, “Ulama kami menjawab (pandangan
Hanafi) dengan firman Allah, ‘Bangkai, darah, dan …kecuali apa yang kalian
sembelih,’ (Surat Al-Maidah ayat 3).
Allah membolehkan (kita untuk mengonsumsi)
hewan sembelihan dan tidak menyebut pembacaan bismillah; Allah juga
menghalalkan hewan sembelihan ahli kitab melalui firman-Nya, ‘Makanan ahli
kitab halal buat kalian,’ (Surat Al-Maidah ayat 5). Mereka umumnya tidak baca
bismillah. Semua ini menunjukkan bahwa baca bismillah pada saat penyembelihan
tidak wajib dan berdasarkan riwayat Sayidatina Aisyah, sekelompok orang pernah
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, masyarakat kami masih dekat dengan jahiliyah.
Mereka membawakan kami daging yang kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama
Allah atau tidak menyebut-Nya. Apakah kami boleh memakannya?’ ‘Sebutlah nama
Allah, lalu makanlah,’ HR Bukhari. Seandainya baca bismillah saat penyembelihan
itu wajib, niscaya Rasulullah tidak mengizinkan makan yang disertai keraguan,”
(Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun],
juz IV, halaman 272).
Mazhab Syafi’i juga mengutip hadits berikut
dalam menguatkan argumentasinya, yaitu sabda Rasulullah, “Seorang Muslim
menyembelih atas nama Allah, baik membaca ‘bismillah’ maupun tanpa
‘bismillah;’” dan riwayat “Seorang sahabat datang bertanya, ‘Ya Rasulullah,
bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyembelih dan lupa menyebut nama
Allah?’ ‘Nama Allah sudah ada pada hati setiap Muslim’”.
Menurut Mazhab Syafi’i, kesunnahan membaca
bismillah tidak hanya berlaku pada saat penyembelihan hewan. Kesunnahan membaca
bismillah juga berlaku pada saat melepas hewan buruan, melesatkan anak panah
saat berburu, dan menjaring ikan. Kesunnahan membaca bismillah ini jika
ditinggalkan menjadi makruh.
Per Oktober 2019, UU Jaminan Produk Halal
yang disahkan pada 2014 telah berlaku. Meski pelaksanaannya belum maksimal,
pandangan mazhab Syafi’i cukup membantu masyarakat dalam menghadapi hidangan
makanan yang kehalalannya belum jelas. Masyarakat cukup membaca bismillah
sebelum mengonsumsi makanan berbahan halal yang diragukan cara pengolahannya.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar