Wali Nikah bagi Anak Hasil
Kawin Beda Agama
Salah satu permasalahan yang kerap terjadi
dalam hal perkawinan adalah soal wali nikah. Di Kantor Urusan Agama (KUA)
permasalahan seputar wali nikah yang sering terjadi di antaranya wali yang
enggan menikahkan anaknya karena berbagai alasan, wali yang ternyata bukan
orang tua kandungnya, berebut menjadi wali di antara beberapa orang yang
sederajat dan berhak menjadi wali, wali muallaf bagi pengantin muallaf, wali
nikah bagi anak yang lahir dari hasil perkawinan beda agama, dan lain
sebagainya.
Tulisan singkat ini mencoba membahas tentang
persoalan wali nikah yang disebut terakhir, yakni wali nikah bagi anak
perempuan dari hasil perkawinan beda agama. Sebagai gambaran contoh kasus dalam
hal ini; seorang perempuan Muslimah hendak melangsungkan perkawinan dengan
lelaki calon suaminya. Saat pemeriksaan di KUA diketahui bahwa anak perempuan
ini lahir dari hasil perkawinan orang tuanya yang beda agama di mana sang ayah
beragama Islam dan sang ibu beragama selain Islam. Keduanya menikah dalam
status memeluk agamanya masing-masing dan terus berlanjut sampai saat ini.
Pada kasus yang demikian dapatkah sang ayah
yang notabene seorang Muslim menjadi wali nikah bagi anak perempuannya yang
Muslimah? Untuk menjawab hal ini sebelumnya mesti dibahas terlebih dahulu
bagaimana status keabsahan perkawinan beda agama dalam pandangan hukum Islam.
Imam Syafi’i di dalam kitabnya Al-Umm
menuturkan:
وَيَحِلُّ
نِكَاحُ حَرَائِرِ أَهْلِ الْكِتَابِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى
أَحَلَّهُنَّ بِغَيْرِ اسْتِثْنَاءٍ
Artinya: “Halal bagi setiap Muslim laki-laki
menikahi perempuan merdeka ahli kitab karena Allah ta’ala menghalalkan mereka
tanpa adanya pengecualian.” (Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, [Beirut:
Darul Fikr, 2009], jil. III, juz V, hal. 7)
Dari tuturan Imam Syafi’i di atas bisa
diambil satu kesimpulan bahwa pada dasarnya diperbolehkan seorang laki-laki
Muslim menikah dengan seorang perempuan non-Muslim dengan catatan ia adalah
seorang ahli kitab. Pernikahan keduanya dihukumi sah oleh agama.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah
siapa yang dimaksud dengan ahli kitab? Apakah termasuk hali kitab semua orang
yang beragama selain Islam tanpa terkecuali? Atau, apakah hanya pemeluk agama
samawi—seperti Yahudi dan Nasrani—saja yang termasuk non-Muslim ahli kitab?
Menjawab pertanyaan ini Imam Syafi’i di dalam
kitab yang sama menjelaskan:
وَأَهْلُ
الْكِتَابِ الَّذِينَ يَحِلُّ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ
الْمَشْهُورَيْنِ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَهُمْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
دُونَ الْمَجُوسِ قَالَ وَالصَّابِئُونَ وَالسَّامِرَةُ مِنْ الْيَهُودِ
وَالنَّصَارَى الَّذِينَ يَحِلُّ نِسَاؤُهُمْ وَذَبَائِحُهُمْ
Artinya: “Ahli kitab yang dihalalkan menikahi
perempuan merdeka di anatara mereka adalah orang-orang yang memiliki dua kitab
yang masyhur yakni Taurat dan Injil. Mereka adalah orang Yahudi dan Nasrani,
bukan Majusi (penyembah api). Beliau berkata, Kaum Shabiun dan Samirah termasuk
orang Yahudi dan Nasrani yang perempuannya halal dinikahi dan sembelihannya
halal dimakan.” (Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, hal. 7)
Dari sini kembali bisa diambil satu
kesimpulan bahwa yang dimaksud ahli kitab adalah orang-orang yang beragama
Yahudi dan Nasrani yang berkitab Taurat dan Injil. Perempuan-perempuan dari
kedua agama ini halal dinikahi oleh seorang Muslim.
Namun demikian masih ada satu pertanyaan lagi
yang mesti dijelaskan untuk bisa memastikan apakah pernikahan seorang laki-laki
Muslim dan perempuan non-Muslim dari ahli kitab di atas dapat dipastikan
keabsahannya. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah para pemeluk
agama Yahudi dan Nasrani pada masa sekarang ini, termasuk yang ada di
Indonesia, termasuk ahli kitab sebagaimana yang dimaksud di atas?
Tentang hal ini Ahmad Al-Mahamili dalam kitab
Al-Lubâb fil Fiqhis Syâfi’i (Madinah: Darul Bukhari, 1416 H, hal. 307-108)
menerangkan bahwa seorang Muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab, kecuali
dalam tiga hal; pertama, bila sang perempuan bukan dari kalangan Bani Israil;
kedua, bila sang perempuan memeluk agama tersebut setelah adanya penggantian
atau perubahan ajaran dalam kitab sucinya; dan ketiga, bila sang perempuan
memeluk agama tersebut setelah diutusnya Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alai
wa sallam.
Dari sini maka bisa dipahami bahwa perempuan
ahli kitab yang boleh dinikahi oleh seorang Muslim dan pernikahannya dianggap
sah adalah seorang perempuan keturunan asli Bani Israil yang memeluk agama
Yahudi atau Nasrani dengan kitab suci yang masih asli sebagaimana diturunkan
oleh Allah kepada rasul yang menerimanya dan ia memeluk agama tersebut sebelum
diutusnya Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Bila salah satu
dari ketiga kriteria tersebut luput dari sang perempuan maka ia bukanlah ahli
kitab yang halal dinikahi oleh seorang Muslim.
Maka dengan demikian para perempuan
non-Muslim yang ada pada masa sekarang ini, termasuk yang berada di Indonesia,
bukan termasuk ahli kitab yang halal dinikahi oleh seorang laki-laki Muslim.
Dengan demikian pula, perkawinan beda agama
antara seorang laki-laki Muslim dan seorang perempuan non-Muslim sebagaimana
digambarkan di atas tidak bisa dihukumi sah dan perkawinannya menjadi batal.
Lalu bagaimana dengan wali nikah bagi anak
perempuan hasil perkawinan beda agama yang hendak melangsungkan pernikahan
sebagaimana contoh kasus di atas?
Permasalah tersebut dapat diambil satu
simpulan bahwa karena ia lahir dalam sebuah perkawinan yang tidak sah menurut
ajaran agama Islam maka ia tidak bisa dinasabkan kepada sang ayah dan karenanya
sang ayah tidak bisa menjadi wali nikah bagi dirinya. Pada saat ijab kabul
nanti anak perempuan tersebut menikah dengan wali kepala KUA yang bertindak
sebagai wali hakim. Wallâhu a’lam. []
Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok
Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai Penghulu di lingkungan
Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar