Propaganda ISIS di Media Sosial
Oleh: Zuhairi Misrawi
Kematian pimpinan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) Abu Bakar
al-Baghdadi dan kekalahan yang dialami dalam perang terbuka di Suriah dan Irak
bukanlah akhir dari kisah organisasi teroris yang paling brutal ini. ISIS
jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan sebuah transformasi baru, yaitu Islamic State (IS). ISIS
tidak lagi menjadikan Irak dan Suriah sebagai wilayah kekuasaan mereka,
melainkan sebuah organisasi yang mendunia melalui media sosial.
Setelah kematian sang khalifah, ISIS segera menunjuk Abu Ibrahim
al-Hashimi al-Quraishi sebagai khalifah teranyar yang akan mengendalikan
seluruh kegiatan dan pergerakan organisasi. Mereka memilih taktik untuk
mengonsolidasikan jaringan internasional yang sudah terbentuk sembari melalukan
propaganda ideologis melalui media sosial.
Baru-baru ini, jagad Timur-Tengah dikejutkan dengan banjirnya
propaganda ISIS di media sosial, khususnya Twitter. Bahkan, propaganda mereka
menjadi trending topic. Mereka
menampilkan kembali masa-masa kejayaan ISIS, seperti aksi bom bunuh diri,
pidato Abu Bakar al-Baghdadi, dan eksekusi brutal dengan memenggal mereka yang
dianggap "kafir". ISIS hendak menyampaikan pesan kepada pengikut dan
pencintanya bahwa mereka masih eksis dan sedang mencari momentum yang tepat
untuk melakukan reinkarnasi.
ISIS rupanya ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Irak
dan Suriah kembali kepada titik nadir. Kondisi politik Irak yang penuh
gonjang-ganjing, menyebabkan negara yang dikenal "kota seribu satu
malam" kembali pada friksi, bahkan konflik politik yang tidak menentu.
Keamanan di Irak semakin tidak menentu.
Irak saat ini sedang mengalami krisis yang serius, karena
keterbelahan politik. Ada pihak-pihak yang ingin mendulang di air keruh dengan
menggunakan propaganda sektarianisme sebagai pemantik memuluskan dan
memperpanjang keterbelahan politik. Isu yang dihembuskan adalah krisis
kepercayaan terhadap para elite dalam menjalankan mandat rakyat.
Pasalnya, mereka yang berkuasa di Irak saat ini adalah faksi Syiah
sebagai pemenang pemilu. Mereka dengan mudah mengembuskan narasi pengaruh Iran
dalam politik dalam negeri Irak. Seolah-olah Syiah Irak dan Syiah Iran
mempunyai preferensi yang sama. Padahal semua tahu, preferensi kemazhaban (al-marja'iyyah) antara
Syiah Iran dan Syiah Irak berbeda. Syiah Irak pada umumnya merujuk pada Ali
Sistani, sedangkan Syiah Iran merujuk pada Ayatullah Ali Khamenei sebagai rahbar.
Situasinya semakin rumit saat wacana mengakhiri intervensi Amerika
Serikat di Irak mengemuka. Faksi Sunni dan Kurdi tidak menghadiri sidang
darurat di parlemen pasca kemartiran Qassem Soleimani. Hanya faksi-faksi Syiah
di parlemen yang secara bulat mengambil sikap menolak intervensi AS di Irak.
Mereka meminta agar AS menutup pangkalan militer dan memulangkannya.
Kemartiran Abu Mahdi al-Mohandes yang menemani Qassem Soleimani
dalam lawatan ke Irak merupakan tindakan yang tidak dimaafkan. AS tidak hanya
melakukan kejahatan terhadap Iran, tetapi juga terhadap Irak. Abu Mahdi
al-Mohandes juga berjasa dalam melumpuhkan ISIS di Irak.
Moqtada al-Sadr, salah satu faksi Syiah di Irak, juga menurunkan
jutaan massa dalam rangka meneguhkan sikap Irak yang tidak menghendaki lagi
kehadiran AS di Irak. Faksi-faksi Syiah di Irak sepakat bahwa kehadiran AS
bukan untuk memastikan keamanan, melainkan justru mengancam keamanan karena
secara sengaja membunuh Abu Mahdi al-Mohandes yang telah berperan besar dalam
mengalahkan ISIS.
Di Suriah, kondisi keamanan yang terus memburuk di Idlib telah
membuka konflik baru antara Suriah dan Turki. Suriah memandang upaya
melumpuhkan oposisi kontra-pemerintah di Idlib merupakan sebuah perjuangan
terakhir untuk mengonsolidasikan kekuasaan Bashar Assad. Sedangkan Turki
memandang serangan ke Idlib akan berdampak bagi masuknya jumlah pengungsi dari
Suriah ke Turki.
Setidaknya 900.000 warga Suriah yang mengungsi ke Turki akibat
konflik antara rezim Bashar Assad dengan oposisi. Turki memandang situasi akan
terus memburuk jika Assad melakukan serangan militer.
Keterbelahan politik di Irak dan Suriah merupakan momentum yang
dijadikan ISIS untuk mengonsolidasikan jaringannya dan melakukan rekrutmen.
Pada Januari saja terhitung ada sekitar 5.800 kicauan di Twitter di seantero
Timur-Tengah. Dalam dua hari ada sekitar 4.100 kicauan yang menunjukkan bahwa
mereka masih eksis dan siap melakukan aksi.
Pemandangan ini mestinya harus menjadi perhatian semua pihak.
Sebab ISIS tidak benar-benar mati. Mereka justru sedang berusaha untuk
melakukan reinkarnasi melalui media sosial. Pada 2016 lalu, Twitter mencatat
ada sekitar 125.000 akun yang ditengarai mempunyai hubungan dengan ISIS.
Dan sekali lagi, Twitter sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk
membendung banjirnya propaganda ISIS tersebut. Faktanya, ISIS masih bisa
menguasai jagad Twitter dengan propaganda yang menyasar kalangan milenial dan
mereka yang tidak mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang keislaman.
Dalam konteks tersebut, kebangkitan kembali ISIS harus menjadi
perhatian semua pihak. Meskipun negara-negara Arab bersepakat untuk tidak
memulangkan anggota ISIS yang saat ini masih ditahan di Suriah, tetapi harus
diakui bahwa masih banyak pengikut ISIS yang juga masih bisa hidup bebas di
dalam negeri mereka. Dan mereka saat ini sedang membanjiri media sosial, khususnya
twitter dengan propaganda kejayaan ISIS di masa lalu.
Dengan demikian, ISIS tidak benar-benar bubar dan mati. Mereka
masih eksis dan sel-selnya masih melakukan aktivitas konsolidasi dan propaganda
melalui media. Mereka dengan mudah menggunakan Twitter dan Facebook sebagai
cara mereka untuk terus membanjiri media sosial dengan ideologi, paham, dan
masa-masa kejayaan mereka.
Dalam konteks inilah, sebenarnya pemerintah Indonesia juga harus
hati-hati dan waspada. Menolak pemulangan anggota ISIS dari Suriah, Turki, dan
Irak merupakan sebuah langkah tegas dan perlu diapresiasi. Tetapi upaya ISIS
untuk terus menguasai panggung media sosial juga perlu diwaspadai, karena
sebenarnya ISIS tidak benar-benar mati. Mereka masih hidup dan sedang
memperkuat pasukan dan jaringannya melalui propaganda di media sosial. []
DETIK, 20 Februari 2020
Zuhairi Misrawi |
Cendekiawan
Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East
Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar