Jumat, 28 Februari 2020

Zuhairi: Propaganda ISIS di Media Sosial


Propaganda ISIS di Media Sosial
Oleh: Zuhairi Misrawi

Kematian pimpinan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) Abu Bakar al-Baghdadi dan kekalahan yang dialami dalam perang terbuka di Suriah dan Irak bukanlah akhir dari kisah organisasi teroris yang paling brutal ini. ISIS jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan sebuah transformasi baru, yaitu Islamic State (IS). ISIS tidak lagi menjadikan Irak dan Suriah sebagai wilayah kekuasaan mereka, melainkan sebuah organisasi yang mendunia melalui media sosial.

Setelah kematian sang khalifah, ISIS segera menunjuk Abu Ibrahim al-Hashimi al-Quraishi sebagai khalifah teranyar yang akan mengendalikan seluruh kegiatan dan pergerakan organisasi. Mereka memilih taktik untuk mengonsolidasikan jaringan internasional yang sudah terbentuk sembari melalukan propaganda ideologis melalui media sosial.

Baru-baru ini, jagad Timur-Tengah dikejutkan dengan banjirnya propaganda ISIS di media sosial, khususnya Twitter. Bahkan, propaganda mereka menjadi trending topic. Mereka menampilkan kembali masa-masa kejayaan ISIS, seperti aksi bom bunuh diri, pidato Abu Bakar al-Baghdadi, dan eksekusi brutal dengan memenggal mereka yang dianggap "kafir". ISIS hendak menyampaikan pesan kepada pengikut dan pencintanya bahwa mereka masih eksis dan sedang mencari momentum yang tepat untuk melakukan reinkarnasi.

ISIS rupanya ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Irak dan Suriah kembali kepada titik nadir. Kondisi politik Irak yang penuh gonjang-ganjing, menyebabkan negara yang dikenal "kota seribu satu malam" kembali pada friksi, bahkan konflik politik yang tidak menentu. Keamanan di Irak semakin tidak menentu.

Irak saat ini sedang mengalami krisis yang serius, karena keterbelahan politik. Ada pihak-pihak yang ingin mendulang di air keruh dengan menggunakan propaganda sektarianisme sebagai pemantik memuluskan dan memperpanjang keterbelahan politik. Isu yang dihembuskan adalah krisis kepercayaan terhadap para elite dalam menjalankan mandat rakyat.

Pasalnya, mereka yang berkuasa di Irak saat ini adalah faksi Syiah sebagai pemenang pemilu. Mereka dengan mudah mengembuskan narasi pengaruh Iran dalam politik dalam negeri Irak. Seolah-olah Syiah Irak dan Syiah Iran mempunyai preferensi yang sama. Padahal semua tahu, preferensi kemazhaban (al-marja'iyyah) antara Syiah Iran dan Syiah Irak berbeda. Syiah Irak pada umumnya merujuk pada Ali Sistani, sedangkan Syiah Iran merujuk pada Ayatullah Ali Khamenei sebagai rahbar.

Situasinya semakin rumit saat wacana mengakhiri intervensi Amerika Serikat di Irak mengemuka. Faksi Sunni dan Kurdi tidak menghadiri sidang darurat di parlemen pasca kemartiran Qassem Soleimani. Hanya faksi-faksi Syiah di parlemen yang secara bulat mengambil sikap menolak intervensi AS di Irak. Mereka meminta agar AS menutup pangkalan militer dan memulangkannya.

Kemartiran Abu Mahdi al-Mohandes yang menemani Qassem Soleimani dalam lawatan ke Irak merupakan tindakan yang tidak dimaafkan. AS tidak hanya melakukan kejahatan terhadap Iran, tetapi juga terhadap Irak. Abu Mahdi al-Mohandes juga berjasa dalam melumpuhkan ISIS di Irak.

Moqtada al-Sadr, salah satu faksi Syiah di Irak, juga menurunkan jutaan massa dalam rangka meneguhkan sikap Irak yang tidak menghendaki lagi kehadiran AS di Irak. Faksi-faksi Syiah di Irak sepakat bahwa kehadiran AS bukan untuk memastikan keamanan, melainkan justru mengancam keamanan karena secara sengaja membunuh Abu Mahdi al-Mohandes yang telah berperan besar dalam mengalahkan ISIS.

Di Suriah, kondisi keamanan yang terus memburuk di Idlib telah membuka konflik baru antara Suriah dan Turki. Suriah memandang upaya melumpuhkan oposisi kontra-pemerintah di Idlib merupakan sebuah perjuangan terakhir untuk mengonsolidasikan kekuasaan Bashar Assad. Sedangkan Turki memandang serangan ke Idlib akan berdampak bagi masuknya jumlah pengungsi dari Suriah ke Turki.

Setidaknya 900.000 warga Suriah yang mengungsi ke Turki akibat konflik antara rezim Bashar Assad dengan oposisi. Turki memandang situasi akan terus memburuk jika Assad melakukan serangan militer.

Keterbelahan politik di Irak dan Suriah merupakan momentum yang dijadikan ISIS untuk mengonsolidasikan jaringannya dan melakukan rekrutmen. Pada Januari saja terhitung ada sekitar 5.800 kicauan di Twitter di seantero Timur-Tengah. Dalam dua hari ada sekitar 4.100 kicauan yang menunjukkan bahwa mereka masih eksis dan siap melakukan aksi.

Pemandangan ini mestinya harus menjadi perhatian semua pihak. Sebab ISIS tidak benar-benar mati. Mereka justru sedang berusaha untuk melakukan reinkarnasi melalui media sosial. Pada 2016 lalu, Twitter mencatat ada sekitar 125.000 akun yang ditengarai mempunyai hubungan dengan ISIS.

Dan sekali lagi, Twitter sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk membendung banjirnya propaganda ISIS tersebut. Faktanya, ISIS masih bisa menguasai jagad Twitter dengan propaganda yang menyasar kalangan milenial dan mereka yang tidak mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang keislaman.

Dalam konteks tersebut, kebangkitan kembali ISIS harus menjadi perhatian semua pihak. Meskipun negara-negara Arab bersepakat untuk tidak memulangkan anggota ISIS yang saat ini masih ditahan di Suriah, tetapi harus diakui bahwa masih banyak pengikut ISIS yang juga masih bisa hidup bebas di dalam negeri mereka. Dan mereka saat ini sedang membanjiri media sosial, khususnya twitter dengan propaganda kejayaan ISIS di masa lalu.

Dengan demikian, ISIS tidak benar-benar bubar dan mati. Mereka masih eksis dan sel-selnya masih melakukan aktivitas konsolidasi dan propaganda melalui media. Mereka dengan mudah menggunakan Twitter dan Facebook sebagai cara mereka untuk terus membanjiri media sosial dengan ideologi, paham, dan masa-masa kejayaan mereka.

Dalam konteks inilah, sebenarnya pemerintah Indonesia juga harus hati-hati dan waspada. Menolak pemulangan anggota ISIS dari Suriah, Turki, dan Irak merupakan sebuah langkah tegas dan perlu diapresiasi. Tetapi upaya ISIS untuk terus menguasai panggung media sosial juga perlu diwaspadai, karena sebenarnya ISIS tidak benar-benar mati. Mereka masih hidup dan sedang memperkuat pasukan dan jaringannya melalui propaganda di media sosial. []

DETIK, 20 Februari 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar