Memahami Beda Pendapat
Bacaan Basmalah Surat al-Fatihah dalam Shalat
Suatu ketika penulis mengikuti jamaah shalat
Maghrib di sebuah masjid di daerah pinggiran Jakarta. Rupanya, sang imam tidak
membaca basmalah dengan jelas (jahr). Padahal, pemahaman yang lumrah di
kampung, sebagaimana penulis pahami dalam kitab-kitab fiqih dasar mazhab Syafii
di pesantren, membaca basmalah Surat al-Fatihah mesti secara jelas.
Setelah dicermati di papan pengumuman masjid,
rupanya masjid tempat penulis ikut shalat ini didirikan salah satu organisasi
Islam selain NU. Tentu tidak bisa digeneralisasi apakah seluruh imam masjid di
sini melakukan hal serupa. Melihat beragamnya masyarakat Muslim di sekitar
kita, agaknya ragam pemahaman, lebih-lebih dalam masalah fiqih, menjadi
niscaya.
Salah satu hal yang dibicarakan adalah
persoalan membaca basmalah Surat al-Fatihah dalam shalat-shalat yang Fatihahnya
dibaca keras, sebagaimana disebutkan di atas. Tulisan ini bermaksud memberi
sedikit ulasan tentang perbedaan ulama terkait basmalah Surat al-Fatihah.
Perbedaan pendapat ini disebutkan dalam
kitab Bidâyatul Mujtahid karya Muhammad Ibnu Rusyd, seorang ulama
dari mazhab Maliki. Sebagai informasi, Ibnu Rusyd pengarang
kitab Bidâyatul Mujtahid ini juga ahli filsafat yang menulis
kitab Tahâfut at-Tahafut (bantahan atas kitab karya Imam al-Ghazali yang
berjudul Tahâfutul Falâsifah [Kerancuan para Filsuf], red). Di Eropa
Ibnu Rusyd dikenal sebagai ‘Averroes’.
Kembali ke diskusi terkait bacaan basmalah
Surat al-Fatihah tadi. Selain dalam Bidâyatul Mujtahid, syarahnya yang
berjudul Subulus Salâm karya Imam ash-Shan’ani, atau kitab al-Mughni karya
Ibnu Qudamah, salah satu ulama mazhab Ahmad bin Hanbal, bisa dirujuk.
Perbedaan ini dikategorikan Ibnu Rusyd dalam
dua sebab: apakah basmalah harus dibaca secara keras (jahr) dalam shalat, dan
apakah basmalah merupakan bagian dari Surat al-Fatihah?
Kalangan ulama mazhab ada yang menyebutkan
bahwa basmalah tak perlu dibaca dalam al-Fatihah seperti kalangan mazhab
Maliki, kemudian ada yang menyebutkan bahwa basmalah tetap dibaca namun secara
pelan (sirr) seperti mazhab Ahmad bin Hanbal, dan sebagaimana banyak diamalkan
di Indonesia dalam mazhab Syafii, basmalah dibaca dalam Surat al-Fatihah sesuai
shalat yang dilakukan: pelan untuk shalat yang bacaannya pelan (sirr), dan
mengeraskannya di shalat yang jahr.
Menurut Ibnu Rusyd, perbedaan yang paling
menonjol adalah dalam penilaian dan pemahaman hadits. Hadits tentang bacaan
basmalah Rasulullah secara jahr beberapa di antaranya diriwayatkan
dari Abdullah bin Abbas, bahwasanya beliau menyebutkan Nabi membaca basmalah
dalam shalat secara jahr. Hadits dengan maksud serupa juga diriwayatkan
oleh Ummu Salamah sebagai berikut:
أَنَّ
النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَرَأَ فِي الصَّلَاةِ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، وَعَدَّهَا آيَةً،
وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ اثْنَيْنِ
Artinya: “Sesungguhnya Nabi membaca
‘bismillahirrahmanirrahim’, dan menganggapnya sebagai satu ayat, dan ‘alhamdu
lillahi rabbil ‘alamin’ sebagai yang kedua.” (HR. Abu Dawud)
Kalangan mazhab Maliki, sebagaimana
disebutkan Ibnu Rusyd, salah satunya merujuk hadits yang diriwayatkan dari Anas
bin Malik dan Ibnu Abdullah bin Mughaffal, bahwa Nabi dan beberapa sahabat
tidak membaca basmalah Surat al-Fatihah saat shalat.
…وَقَدْ
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَعَ أَبِي
بَكْرٍ، وَمَعَ عُمَرَ، وَمَعَ عُثْمَانَ، فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ
يَقُولُهَا، فَلاَ تَقُلْهَا، إِذَا أَنْتَ صَلَّيْتَ فَقُلْ: "الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ".
Artinya: "… Aku pernah shalat bersama
Nabi, Abu Bakar, Umar dan Utsman, namun aku belum pernah mendengar mereka
membacanya (basmalah). Maka jangan ucapkan itu, dan jika melaksanakan shalat
maka baca, ‘alhamdulillahirabbil ‘alamin’ (maksudnya Surat al-Fatihah, tanpa
basmalah).” (HR. Tirmidzi)
Beberapa kalangan yang menganggap wajib
membaca basmalah menilai hadits tersebut kurang kuat sebagai hujjah karena
melihat adanya ragam variasi riwayat yang tampak bertentangan dalam sanad yang
sama.
Selanjutnya yang kedua adalah perbedaan
hujjah terkait kedudukan basmalah dalam Surat al-Fatihah. Ulama yang
menyebutkan bahwa basmalah merupakan bagian dari Surat al-Fatihah, maka
menjadikan membaca basmalah dalam shalat menjadi wajib, seperti Imam
asy-Syafi’i. Ulama mazhab lain yang menilai bahwa basmalah bukan bagian dari
Surat al-Fatihah, menilai bahwa membacanya tidak wajib dalam shalat.
Diskusi ini menunjukkan bahwa penetapan hukum
basmalah dalam Surat al-Fatihah ini terletak pada pemahaman dan penilaian atas
hadits. Masing-masing mujtahid dan ulama memiliki metodenya masing-masing, yang
kesemuanya bersandar pada hadits-hadits yang dinilai shahih.
Tentu diskusi basmalah ini cukup rumit untuk
kalangan yang tidak banyak mengkaji hal tersebut. Kiranya menyesuaikan diri dengan
ajaran yang diamalkan sehari-hari di tiap masyarakat adalah pilihan yang lebih
bijak. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar