Senin, 24 Februari 2020

(Ngaji of the Day) Memahami Beda Pendapat Bacaan Basmalah Surat al-Fatihah dalam Shalat


Memahami Beda Pendapat Bacaan Basmalah Surat al-Fatihah dalam Shalat

Suatu ketika penulis mengikuti jamaah shalat Maghrib di sebuah masjid di daerah pinggiran Jakarta. Rupanya, sang imam tidak membaca basmalah dengan jelas (jahr). Padahal, pemahaman yang lumrah di kampung, sebagaimana penulis pahami dalam kitab-kitab fiqih dasar mazhab Syafii di pesantren, membaca basmalah Surat al-Fatihah mesti secara jelas. 

Setelah dicermati di papan pengumuman masjid, rupanya masjid tempat penulis ikut shalat ini didirikan salah satu organisasi Islam selain NU. Tentu tidak bisa digeneralisasi apakah seluruh imam masjid di sini melakukan hal serupa. Melihat beragamnya masyarakat Muslim di sekitar kita, agaknya ragam pemahaman, lebih-lebih dalam masalah fiqih, menjadi niscaya.

Salah satu hal yang dibicarakan adalah persoalan membaca basmalah Surat al-Fatihah dalam shalat-shalat yang Fatihahnya dibaca keras, sebagaimana disebutkan di atas. Tulisan ini bermaksud memberi sedikit ulasan tentang perbedaan ulama terkait basmalah Surat al-Fatihah.

Perbedaan pendapat ini disebutkan dalam kitab Bidâyatul Mujtahid karya Muhammad Ibnu Rusyd, seorang ulama dari mazhab Maliki. Sebagai informasi, Ibnu Rusyd pengarang kitab Bidâyatul Mujtahid ini juga ahli filsafat yang menulis kitab Tahâfut at-Tahafut (bantahan atas kitab karya Imam al-Ghazali yang berjudul Tahâfutul Falâsifah [Kerancuan para Filsuf], red). Di Eropa Ibnu Rusyd dikenal sebagai ‘Averroes’.

Kembali ke diskusi terkait bacaan basmalah Surat al-Fatihah tadi. Selain dalam Bidâyatul Mujtahid, syarahnya yang berjudul Subulus Salâm karya Imam ash-Shan’ani, atau kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah, salah satu ulama mazhab Ahmad bin Hanbal, bisa dirujuk. 

Perbedaan ini dikategorikan Ibnu Rusyd dalam dua sebab: apakah basmalah harus dibaca secara keras (jahr) dalam shalat, dan apakah basmalah merupakan bagian dari Surat al-Fatihah?

Kalangan ulama mazhab ada yang menyebutkan bahwa basmalah tak perlu dibaca dalam al-Fatihah seperti kalangan mazhab Maliki, kemudian ada yang menyebutkan bahwa basmalah tetap dibaca namun secara pelan (sirr) seperti mazhab Ahmad bin Hanbal, dan sebagaimana banyak diamalkan di Indonesia dalam mazhab Syafii, basmalah dibaca dalam Surat al-Fatihah sesuai shalat yang dilakukan: pelan untuk shalat yang bacaannya pelan (sirr), dan mengeraskannya di shalat yang jahr.

Menurut Ibnu Rusyd, perbedaan yang paling menonjol adalah dalam penilaian dan pemahaman hadits. Hadits tentang bacaan basmalah Rasulullah secara jahr beberapa di antaranya diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwasanya beliau menyebutkan Nabi membaca basmalah dalam shalat secara jahr. Hadits dengan maksud serupa juga diriwayatkan oleh Ummu Salamah sebagai berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَرَأَ فِي الصَّلَاةِ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، وَعَدَّهَا آيَةً، وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ اثْنَيْنِ 

Artinya: “Sesungguhnya Nabi membaca ‘bismillahirrahmanirrahim’, dan menganggapnya sebagai satu ayat, dan ‘alhamdu lillahi rabbil ‘alamin’ sebagai yang kedua.” (HR. Abu Dawud)

Kalangan mazhab Maliki, sebagaimana disebutkan Ibnu Rusyd, salah satunya merujuk hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik dan Ibnu Abdullah bin Mughaffal, bahwa Nabi dan beberapa sahabat tidak membaca basmalah Surat al-Fatihah saat shalat.

وَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ، وَمَعَ عُمَرَ، وَمَعَ عُثْمَانَ، فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقُولُهَا، فَلاَ تَقُلْهَا، إِذَا أَنْتَ صَلَّيْتَ فَقُلْ: "الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ".

Artinya: "… Aku pernah shalat bersama Nabi, Abu Bakar, Umar dan Utsman, namun aku belum pernah mendengar mereka membacanya (basmalah). Maka jangan ucapkan itu, dan jika melaksanakan shalat maka baca, ‘alhamdulillahirabbil ‘alamin’ (maksudnya Surat al-Fatihah, tanpa basmalah).” (HR. Tirmidzi)

Beberapa kalangan yang menganggap wajib membaca basmalah menilai hadits tersebut kurang kuat sebagai hujjah karena melihat adanya ragam variasi riwayat yang tampak bertentangan dalam sanad yang sama.

Selanjutnya yang kedua adalah perbedaan hujjah terkait kedudukan basmalah dalam Surat al-Fatihah. Ulama yang menyebutkan bahwa basmalah merupakan bagian dari Surat al-Fatihah, maka menjadikan membaca basmalah dalam shalat menjadi wajib, seperti Imam asy-Syafi’i. Ulama mazhab lain yang menilai bahwa basmalah bukan bagian dari Surat al-Fatihah, menilai bahwa membacanya tidak wajib dalam shalat.

Diskusi ini menunjukkan bahwa penetapan hukum basmalah dalam Surat al-Fatihah ini terletak pada pemahaman dan penilaian atas hadits. Masing-masing mujtahid dan ulama memiliki metodenya masing-masing, yang kesemuanya bersandar pada hadits-hadits yang dinilai shahih.

Tentu diskusi basmalah ini cukup rumit untuk kalangan yang tidak banyak mengkaji hal tersebut. Kiranya menyesuaikan diri dengan ajaran yang diamalkan sehari-hari di tiap masyarakat adalah pilihan yang lebih bijak. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar