Tinjauan atas Kualitas
Keshahihan Hadits Adzan untuk Bayi
Seorang artis yang baru hijrah enggan
mengadzani anaknya yang baru lahir karena mengira bahwa tidak ada anjuran Rasul
terkait hal tersebut. Bahkan ia berpendapat bahwa hadits yang menganjurkan
untuk mengadzani bayi yang baru lahir adalah daif. Oleh karena itu, menurutnya,
itu bagian dari bidah, dan tidak perlu diamalkan.
Benarkah demikian?
Sebenarnya pada prinsipnya, hadits daif yang
tidak boleh diamalkan adalah pertama, hadits daif yang parah, yakni salah satu
perawinya ada yang muttaham bil kadzzab, yakni rawi tersebut sering berbohong
sehingga tidak bisa dipastikan apakah ia berbohong atau tidak ketika
meriwayatkan hadits.
Kedua, hadits tersebut tidak berkaitan dengan
tema aqidah, halal dan haram. Oleh karena itu, hadits berkaitan dengan
keutamaan mengerjakan sesuatu (fadhailul amal) masih bisa diamalkan, karena
tidak berkaitan dengan aqidah, halal dan haram.
Yang paling penting adalah hadits tersebut
bisa diamalkan oleh semua orang. (Lihat Maḥmūd At-Ṭaḥḥān, Taysīrul Musṭalāhil
Hadīts, (Riyadh: Maktabah Maʽarif, 2004), halaman 80-81).
Dalam kasus hadits adzan yang divonis daif
tersebut, memang ada sebuah hadits yang salah satu perawinya tergolong dhaif.
رَأَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ (صلى الله عليه وسلم) أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ
حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَة ِرضي الله عنهم
Artinya, “Aku melihat Rasulullah SAW
mengadzankan seperti adzan shalat pada telinga (cucunya) Husein bin Ali ketika
Fatimah Ra. melahirkan.”
Salah satu perawi hadits di atas, ada yang
bernama ʽAshim bin Ubaidillah, yang divonis oleh beberapa ulama hadits sebagai
orang yang dhaif, seperti Imam Malik, Ibn Maʽīn dan beberapa ulama hadits lain.
Namun, Imam At-Tirmidzi menilai bahwa hadits
ini adalah hadits yang hasan sahih. Menurut At-Ṭaḥḥān, ketika Imam At-Tirmidzi
menyebutkan “hasan sahih” maka kemungkinannya ada dua.
Pertama, jika hadits tersebut memiliki satu
sanad, maka hadits tersebut hasan menurut ulama tertentu, dan sahih menurut
ulama lain. Kedua, jika hadits tersebut memiliki sanad yang lebih satu, maka
sanad pertama hasan, sedangkan sanad lain sahih.
Walaupun hadits tersebut masih tetap dihukumi
daif (tidak mengikuti pendapat Imam At-Tirmidzi) maka tetap masih bisa
diamalkan, karena tingkat kedhaifannya tidak sampai parah dan tidak berkaitan
dengan aqidah serta halal haram. Hadits tersebut lebih pantas jika kita
golongkan sebagai hadits yang berkaitan dengan keutamaan beramal (fadhailul
amal).
Selain itu, ada hadits lain yang menguatkan
hadits di atas, yakni hadits yang diriwayatkan oleh Husain bin Ali berikut:
مَنْ
وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فأذَّنَ في أُذُنِهِ اليُمْنَى، وأقامَ في أُذُنِهِ
اليُسْرَى لَمْ تَضُرّهُ أُمُّ الصبيان
Artinya, “Orang yang anaknya baru lahir, maka
adzankanlah pada telinga kanannya, dan bacakanlah iqamat pada telinga kirinya.
Dijamin anak itu tidak akan diganggu kuntilanak.”
Imam Al-Mubarakfuri ketika ditanya terkait
kebolehan mengamalkan hadits dhaif tentang adzan pada telinga bayi di atas,
menjawab bahwa bisa diamalkan karena ada hadits lain yang menguatkan hadits
dhaif di atas, yaitu hadits marfu dari Husain bin Ali yang diriwayatkan oleh
Abu Yaʽlā al-Mūṣilī dan Ibn Sunnī.
فَإِنْ
قُلْتُ كَيْفَ الْعَمَلُ عَلَيْهِ وَهُوَ ضَعِيفٌ لِأَنَّ فِي سَنَدِهِ عَاصِمَ
بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ كَمَا عَرَفْتَ قُلْتُ نَعَمْ هُوَ ضَعِيفٌ لَكِنَّهُ
يُعْتَضَدُ بِحَدِيثِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا الَّذِي
رَوَاهُ أبو يعلي الموصلي وبن السُّنِّيِّ
Artinya, “Jika aku bertanya, bagaimana
mengamalkan hadits dhaif tersebut karena di sanadnya terdapat Āṣim bin
Ubaidillah sebagaimana yang kamu ketahui. Maka aku menjawab, iya, walaupun
hadits itu dhaif, tetapi hadits itu dikuatkan dengan hadits Husain bin Ali RA.
yang diriwayatkan oleh Abu Yaʽlā al-Mūṣilī dan Ibn Sunnī,” (Lihat Aburrahman
bin Abdurrahim Al-Mubarakfurī, Tuḥfatul Aḥwadzi bi Syarḥ Jāmiʽ al-Tirmidzī,
[Beirut, Dār Kutub: tanpa catatan tahun], juz V, halaman 90).
Bisa disimpulkan walaupun hadits tentang
mengadzani bayi yang baru lahir adalah dhaif, akan tetapi masih bisa diamalkan
karena ada hadits lain yang menguatkan. Selain itu, hadits tersebut juga masih
memenuhi syarat untuk diamalkan karena tidak daif parah, dan berkaitan dengan
fadhail amal.
Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar An-Nawawi
menjadikan kedua hadits di atas sebagai landasan hukum kesunahan mengadzani
bayi yang baru lahir di telinga kanannya dan men-qamati di telinga kirinya.
(Lihat Muhyiddin An-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawi, [Beirut, Dār Fikr: 1994], juz
II, halaman 106).
Oleh karena itu, dalam memutuskan sebuah
hukum tidak serta merta hanya dengan menggunakan satu hadits saja. Dibutuhkan
beberapa bidang keilmuan, seperti Ilmu Takhrij dan ilmu-ilmu lain untuk
mengkaji sebuah hadits agar lebih komprehensif dan tidak setengah-setengah.
Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar