Kamis, 27 Februari 2020

Yudi Latif: Retakan Tatanan

Retakan Tatanan
Oleh: Yudi Latif

Ledakan radikalisme dan kemunculan kerajaan jadi-jadian harus dilihat sebagai erupsi permukaan dari magma pergolakan tatanan sosial dan moral publik. Sejarah Nusantara bertubi-tubi menunjukkan, manakala pusat kuasa sebagai pusat teladan gagal menghadirkan tertib sosial dan tertib moral, pelbagai kerusuhan dan daya tarik ”ratu adil” merebak di berbagai wilayah pinggiran.

Sebagai iktibar, setelah sistem tanam paksa menyengsarakan rakyat, sedangkan perlawanan lewat Perang Jawa dan Sumatera dapat ditumpas, lantas aristokrasi pribumi disubordinasikan pada kekuasaan kolonial, rakyat menderita hidup tanpa pertolongan dan panduan kepemimpinan.

Pada momen kesengsaraan dan kekalutan itulah, syair-syair ratapan muncul di berbagai belahan Tanah Air. Dalam Hikayat Abdullah, Abdullah bin Abdul Kadir Munshi (1843) merintih, ”Tatanan lama telah hancur, sebuah dunia baru tercipta, dan semua di sekeliling kita berubah.” Sementara itu, menjelang kematiannya pada 1873, pujangga agung Keraton Surakarta RNg Ranggawarsita menulis Serat Kalatidha (Puisi Zaman Keraguan).

Bait pertama puisi tersebut bersaksi, ”Kilau derajat negara lenyap dari pandangan. Dalam puing-puing ajaran kebajikan dan ketiadaan teladan. Para cerdik pandai terbawa arus zaman keraguan. Segala hal makin gelap. Dunia tenggelam dalam kesuraman.” Dari puing-puing kehancuran tatanan itulah, kita saksikan kemunculan gerakan sempalan dan milenarianisme sejak akhir abad ke-19. Sebut saja pemberontakan kaum tani di Banten (1888), gerakan Saminisme di Blora (1890), hingga kemunculan organisasi proto-nasionalisme pada awal abad ke-20.

Pertanyaannya, mengapa era reformasi menghadirkan krisis tertib sosial dan moral? Utamanya, karena kebebasan yang dirayakan orde reformasi masih sebatas ”kebebasan alamiah” (natural liberty), belum diaktualisasikan sebagai ”kebebasan sipil” (civil liberty). Dalam pandangan Jean-Jacques Rousseau, ”kebebasan alamiah” sangat bergantung pada kekuatan setiap individu untuk mengejar keinginan masing-masing; yang kuat akan menang, yang lemah akan kalah. Sebaliknya, dalam ”kebebasan sipil”, kekuatan dan keinginan individu itu dibatasi oleh ”kemauan umum” (general will) dan ”kebajikan bersama” (common good).

Dengan mengandalkan ”kebebasan alamiah”, sekalipun demokrasi dirayakan dengan berbagai pemilihan langsung, pada kenyataannya pemerintahan terpilih tidak otomatis menjunjung daulat rakyat. Secara teori, setiap warga negara berhak memilih dan dipilih. Faktanya, pilihan rakyat bisa dimanipulasi di berbagai tikungan; dan dengan biaya pemilihan yang mahal, tidak semua rakyat bisa mencalonkan diri.

Dalam demokrasi padat modal dan manipulasi, surplus kebebasan tidak serta-merta membawa tatanan kehidupan yang lebih adil dan beradab. Demokrasi cenderung mengabaikan ”kebajikan sipil” (civic virtues) dan ”kemauan umum”, dengan diwarnai sengkarut tata kelola, skandal korupsi, dan pelemahan otoritas hukum, sebagai hanyutan dari perluasan penetrasi uang dalam kekuasaan.

Tanpa ”kebebasan sipil”, terbukti ”kebebasan alamiah” tak bisa mengatasi tirani (pemusatan dan kezaliman kekuasaan). Dalam demokrasi yang sehat, relasi kuasa mestinya bersifat timbal balik, saling memengaruhi. Mengikuti pandangan Michel Foucault, ”kuasa” merupakan sesuatu yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup masyarakat sejauh relasi kuasa itu merupakan ”permainan-permainan strategis di antara pihak-pihak yang merdeka”. Relasi kuasa menjadi bersifat destruktif ketika pola relasinya bersifat dominatif; manakala pihak-pihak yang tersubordinasikan memiliki sedikit ruang untuk bermanuver karena pilihan mereka untuk bertindak sangat terbatas.

Dalam relasi kuasa yang timbal balik, sumber kuasa bisa berasal dari modal budaya (pengetahuan, kekuatan simbolik), modal politik (partai, jaringan sosial), dan modal uang. Ketiga jenis modal itu memiliki pengaruh sendiri-sendiri dalam relasi kuasa sebagai prasyarat keadilan dalam alokasi sumber daya strategis di masyarakat. Demokrasi berbiaya tinggi mengubah relasi-relasi kuasa secara mendasar. Oligarki penguasa-pemodal tidak saja memonopoli sektor-sektor perekonomian, tetapi juga bisa mengintervensi politik dan mengontrol kuasa budaya lewat media massa dan kekuatan simbolik di ruang publik.

Lebih dari itu, banjir uang yang mengalir ke dunia politik membawa polusi pada kehidupan publik. Segala nilai dikonversikan ke dalam nilai uang. Hubungan politik digantikan oleh hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan aku di atas kita yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.

Demokrasi yang dasar mengadanya untuk mengendalikan kepentingan perseorangan oleh kepentingan bersama justru kian tunduk pada kekuatan partikular. Krisis demokrasi, menurut Robert Reich, timbul manakala, ”keinginan kita sebagai investor dan konsumen biasanya menang karena nilai-nilai kolektif kita sebagai warga tidak lagi memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri”.

Keterputusan antara aspirasi publik dan kebijakan publik itulah yang mendorong gelombang radikalisme serta daya tarik ”romantisisme” (halusinasi) kejayaan sebagai mekanisme pertahanan diri dalam perjuangan untuk menyatakan diri. Untuk keluar dari kekerasan dan kekacauan tatanan sosial-moral ini, demokrasi harus melakukan koreksi diri. Kebebasan alamiah harus ditransformasikan menjadi kebebasan sipil, dengan menjunjung tinggi kebajikan kewargaan berlandaskan Pancasila serta kemauan umum dalam mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. []

KOMPAS, 6 Februari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar