Politik NU: Politik
Kebangsaan dan Politik Kerakyatan
Politik, baik secara praktik maupun teori tidak asing bagi para ulama, khususnya di kalangan pesantren. Sebab dalam khazanah keilmuan Islam, politik dipelajari dalam kitab-kitab fiqih siyasah. Namun, politik yang dijalankan oleh para ulama dan kiai selama ini ialah praktik politik untuk memperkuat kebangsaan dan kerakyatan. Bahkan KH MA Sahal Mahfudh (Rais 'Aam PBNU 1999-2014) menambahkan konsep etika politik.
Dalam konsep yang
dicetuskan oleh Kiai Sahal Mahfudh, ketiga entitas tersebut ialah bagian dari
politik tingkat tinggi NU atau siyasah ‘aliyah samiyah. Praktik politik ini
digulirkan demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama
dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
Menurut Kiai Sahal
Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah
safilah) adalah porsi partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU
secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril
dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran
politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika
berpolitik.
Sejarah mencatat, NU
memang pernah memutuskan menjadi partai politik pada 1952. Kemudian tahun 1955
merupakan pemilu pertama yang diikuti oleh NU sebagai partai. Berjalannya
waktu, keputusan NU menjadi partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi
peran dan perjuangan luhur organsasi karena lebih banyak berfokus ke percaturan
politik praktis sehingga pengabdian kepada umat seolah terlupakan.
Berangkat dari
kegelisahan tersebut, para kiai mengusulkan agar NU secara organisasi harus
segera kembali Khittah 1926. Usulan tersebut sempat terhenti. Namun, seruan
kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum
PBNU KH Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran
secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais
‘Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada
semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.
Setelah seruan
kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada
tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah.
Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah
ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah. Apalagi NU sedang giat-giatnya
memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada
praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga
menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.
Namun, tidak bisa
dipungkiri bahwa peran aktif dalam berbangsa dan bernegara pernah diwujudkan
oleh NU dengan menjadi partai politik. Dalam perjalanannya, sedikit demi
sedikit NU memulai langkahnya berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-masalah
politik.
Namun, eksistensi
MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri
dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada awalnya,
Masyumi merupakan sebuah organisasi nonpolitik. Tetapi, setelah Indonesia
merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan memutuskan NU
sebagai tulang punggung Masyumi. (Baca Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan NU, 2010).
Pada tahun 1940-1950,
Masyumi akhirnya menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi
merupakan partai yang heterogen anggotanya, sehingga perbedaan kepentingan
politik banyak terjadi di dalamnya. NU dengan jumlah jamaahnya yang besar
membuat Masyumi memperoleh dukungan besar. Namun yang terjadi justru NU
dipinggirkan sehingga hanya menjadi alat pendulang suara. Hal itu menyebabkan
NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri.
Setelah menjadi
partai politik, NU mengukir sejarah yang monumental, NU berhasil mendapatkan
suara yang cukup besar dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen pada pemilu
1955. Perolehan suara NU tidak hanya terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu
selanjutnya, yaitu pemilu 1971 NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup
besar. Keberhasilan NU ini dinilai karena kemampuan NU menggalang solidaritas
di lingkungan kaum santri, serta adanya dukungan penuh dari basis
tradisionalnya.
Organisasi partai
identik dengan perebutan kekuasaaan. Namun, praktik yang dilakukan kader-kader
NU dalam percaturan politik lebih banyak mewujudkan kepentingan yang lebih
luas, yairu bangsa dan negara. Terutama ketika NU harus berhadapan dengan
ideologi komunis dalam diri PKI. Di sisi lain, NU secara kultural juga harus
berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam konservatif yang berupaya keras
memformulisasikan Islam ke dalam sistem negara.
Dalam praktiknya,
meskipun banyak berjasa dalam membangun pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, aktivitas NU dalam berpolitik sedikit banyak mengaburkan misi
jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan berbasis
sosial-kemasyarakatan). Meskipun secara resmi telah menanggalkan diri sebagai
partai politik pada 1984, peran-peran NU dalam praktik siyasah berusaha
diwujudkan melalui konsep politik tingkat tinggi yang digagas KH Sahal Mahfudh
dalam Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 2013 di Wonosobo,
Jawa Tengah. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar