Pembaruan PPHN untuk Merespons Perubahan
Oleh: Bambang Soesatyo
PEMBARUAN atau penyesuaian haluan negara praktis merupakan
keniscayaan agar pembangunan berkelanjutan negara-bangsa leluasa beradaptasi
dengan roda perubahan zaman yang terus berputar.Sejumlah negara sudah
beradaptasi dengan membarui cita-cita atau haluan masa depan.
Visi-misi "Make America Great Again" yang dikumandangkan
Donald Trump diterima penuh antusias oleh komunitas pemilih sehingga kandidat
dari Partai Republik itu memenangkan Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS)
2018. Untuk mengembalikan kejayaan AS, Trump melancarkan perang dagang dengan
China dan negara lain yang dinilainya hanya mengambil keuntungan sepihak dari
pasar AS. Dengan perang dagang itu Trump mencampakkan aturan main perdagangan
global yang disepakati dalam World Trade Organization (WTO).
Trump juga tak malu menunjukkan sikap diskriminatif dengan
menggagas pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko guna mempersempit akses para
imigran. Sebagai kelanjutannya, Trump akan menggunakan slogan "Keep
America Great" untuk kampanye Pemilihan Presiden AS 2020 ini.Di Eropa, Inggris
akhirnya keluar dari penyatuan ekonomi atau pasar tunggal Uni Eropa (UE) pada
awal 2020. Sejak awal prosesnya, publik Inggris berhasil diyakinkan oleh
penggagas Brexit bahwa Inggris menanggung rugi besar dengan statusnya sebagai
anggota UE. Jepang di bawah Kaisar Naruhito sejak Mei 2019 juga memasuki era
baru, Reiwa (harmoni). China mencapai kedigdayaan ekonominya saat ini karena
konsisten dengan haluan negara yang dirumuskan sejak era kepemimpinan Deng
Xiaoping pada dekade 1970-an. Deng, pada 1978, menggagas pembaruan yang dikenal
dengan Gaige Kaifang atau reformasi dan keterbukaan. Di Arab Saudi, Putra
Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman memperbarui haluan kerajaan itu dengan
Visi Arab Saudi 2030.
Pembaruan haluan negara-negara itu tentu saja digagas untuk
merespons perubahan zaman yang menghadirkan banyak tantangan baru. Pada era
disrupsi sekarang ini Indonesia pun bukan hanya telah menyadari perubahan itu,
tetapi telah pula melakoni sebagian dari perubahan itu, yang ditandai dengan
serbadigitalisasi dan otomatisasi dalam kegiatan sehari-hari. Tetapi, pada saat
yang sama, muncul juga kesadaran bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap
menanggapi seluruh perubahan itu.
Ketika banyak komunitas terus beradaptasi dengan era Industri 4.0,
sudah muncul tantangan terdekat yang disebut Society 5.0, atau juga disebut
Revolusi Industri 5.0. Bagi kebanyakan orang, rangkaian perubahan zaman
itu—dari era Industri 4.0 ke Society 5.0 —tentu saja terasa sangat cepat.
Namun, semua perubahan itu sulit dihindari. Karena itulah setiap negara-bangsa
terus berupaya memperbarui haluannya masing-masing agar cepat beradaptasi.
Dewasa ini keseharian masyarakat Indonesia juga diwarnai dengan wacana mengenai
pembaruan haluan negara-bangsa. Tema yang dikedepankan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat adalah pembaruan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Setelah Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) tidak lagi diadopsi sejak 1998, haluan negara
dituangkan dalam apa yang disebut Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Esensinya
sama saja.
Sayangnya, kehendak melakukan pembaruan haluan negara memunculkan
isu tentang upaya menghidupkan lagi GBHN dan menjadikan presiden sebagai
mandataris MPR, yang otomatis bertanggung jawab pula kepada MPR. Padahal,
pembaruan haluan negara tidak seharusnya ditempatkan dalam kerangka politik
pembagian atau politik alokasi kekuasaan negara. Seperti banyak negara lain,
haluan negara harus memuat cita-cita atau ambisi negara-bangsa dalam rentang
waktu puluhan tahun ke depan.
Pembaruan haluan negara mulai diwacanakan sejak MPR periode
2004-2009, berlanjut ke periode 2009-2014, terus hingga MPR periode 2014-2019.
Pertanyaannya, apakah RPJPN dan RPJMN pada rentang periode waktu itu sudah
mengantisipasi ragam perubahan pada era disrupsi sekarang ini? Karena tuntutan
perubahan itulah MPR periode sekarang proaktif mewacanakan lagi amendemen
terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945), untuk menghadirkan PPHN. Rumusan dan muatan PPHN harus mencerminkan
kehendak negara-bangsa melihat perubahan di masa depan.
Dalam konteks ini, PPHN hendaknya dipahami dan dilihat sebagai
road map pembangunan berkelanjutan negara-bangsa dalam rentang waktu belasan
atau puluhan tahun ke depan. Disusun dan dirumuskan oleh MPR, lembaga negara
yang beranggotakan wakil rakyat dari unsur DPR RI dan DPD RI. Sekali lagi,
kehadiran PPHN tidak serta-merta mengembalikan status MPR sebagai lembaga
tertinggi negara. Pun, tidak otomatis menjadikan presiden sebagai mandataris
MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Presiden tetap bertanggung jawab langsung
kepada rakyat, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat.PPHN sejatinya tak
hanya memperkuat sistem presidensial, melainkan justru akan mendukung dan
memperkuat kinerja presiden hasil Pemilu 2024 dalam membangun bangsa dan
negara. Sebab, semua agenda pembangunan nasional sampai 2045 akan dirangkum
secara garis besar dalam PPHN. Tentu saja agenda pembangunan dalam PPHN memuat
juga dorongan kepada presiden untuk mengantarkan negara-bangsa mampu menanggapi
perubahan, semisal pada era Society 5.0 nanti. Karena memuat semua agenda
pembangunan, PPHN pun wajib menjadi pegangan bagi semua pemerintah daerah.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tinggal melaksanakannya, sesuai
visi-misi dan kreativitas masing-masing. Konsekuensinya, koordinasi antara
pusat dengan daerah, yang selama ini sering berbenturan atau bahkan bertolak
belakang, akan diminimalkan.
Selain itu, untuk mekanisme checks and balances atas pelaksanaan
PPHN akan dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Selain karena memiliki
sejumlah Alat Kelengkapan Dewan (AKD), setiap komisi di DPR juga bermitra kerja
dengan kementerian atau lembaga (K/L). Dari waktu ke waktu, semua AKD akan
mengawasi kinerja K/L sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam menjalankan
PPHN. Melalui sidang tahunan MPR, presiden bisa mempertanggungjawabkan
pencapaian PPHN kepada rakyat, dengan difasilitasi MPR. Rakyatlah yang menilai
berhasil atau tidaknya presiden melaksanakan PPHN. Bukan MPR.Selain itu,
Indonesia memiliki unwritten constitution atau konvensi ketatanegaraan yang
mengatur pelaksanaan sidang tahunan MPR.
Dimulai 15 Agustus yang diisi dengan agenda laporan kinerja tujuh
lembaga tinggi negara kepada rakyat, meliputi MPR, DPR, DPD, MA, MK, KY dan
BPK. Kalau selama ini laporan kinerja tujuh lembaga tinggi negara itu
disampaikan oleh presiden, nantinya bisa disampaikan langsung oleh
masing-masing ketua lembaga tinggi itu sehingga bisa lebih komprehensif.
Barulah pada 16 Agustus presiden sebagai kepala negara menyampaikan pidato
kenegaraan untuk melaporkan akuntabilitas kinerja pemerintahannya.Apakah UUD
1945 akan mengalami perubahan terbatas atau tidak, harus diputuskan oleh MPR
periode 2019-2024. Karena itu, MPR terus melakukan silaturahim kebangsaan ke
berbagai organisasi masyarakat, tokoh bangsa, partai politik hingga unsur pers.
Masih berkait dengan amendemen UUD NRI dan urgensi pembaruan PPHN, MPR juga
mengajak semua komunitas untuk menyadari dan melihat perubahan di masa depan
yang akan dihadapi generasi milenial dan generasi-Z.
Artinya, para elite jangan hanya berpikir atau melihat PPHN
sekadar dalam konteks kekinian, apalagi hanya dalam kerangka politik praktis
untuk kepentingan jangka dekat. Pembangunan berkelanjutan negara-bangsa akan
berlangsung di tengah perubahan demi perubahan zaman. Semua perubahan itu
menuntut penyesuaian atau pembaruan pendekatan. Itulah urgensi pembaruan PPHN.
[]
KORAN SINDO, 17 Februari 2020
Bambang Soesatyo | Ketua MPR/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar