Senin, 10 Februari 2020

Nasaruddin Umar: Meluruskan Makna Jihad (20): Antara Jihad dan kekerasan


Meluruskan Makna Jihad (20)
Antara Jihad dan kekerasan
Oleh: Nasaruddin Umar

Tidak semua kekerasan atas nama agama adalah jihad. Jihad memiliki definisi dan kriterianya sendiri. Bisa saja orang melakukan tindakan kekerasan yang dikemas dengan baju agama Islam, bahkan yel-yel yang yang diteriakkan Allahu Akbar, tetapi belum tentu itu jihad. Arti jihad, sebagaimana dijelaskan di dalam artikel terdahulu, ialah segala upaya yang dikerahkan untuk mencapai tujuan Islam.

Upaya-upaya itu bisa dalam bentuk fisik (jihad), pemikiran (ijtihad), dan semangat batin (mujahadah). Jika ada yang peratasnamakan suatu gerakan jihad tetapi tidak melibatkan dimensi ijtihad dan mujahadah, maka sesungguhnya belum bisa disebut jihad. Jika ia korban, maka tidak bisa disebut sahid.

Ulama besar, Al-Ashfahani, membagi jihad menjadi tiga bagian, yaitu jihad di dalam menghadapi musuh yang betul-betul nyata, jihad menghadapi jin atau setan yang mengganggu, dan jihad menghadapi nafsu yang terdapat di dalam diri setiap orang. Jihad yang paling penting dan sekaligus paling berat ialah jihad yang ketiga, sebagaimana sabda Nabi SAW: Kita kembali dari jihad yang terkecil menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu.

Dengan demikian, jihad tidak mesti harus memegang senjata. Seorang tukang sapu jalanan memegang sapu, seorang mahasiswa memegang pena, seorang petani memegang cangkul, dan seorang nelayan memegang jala, dan seorang tentara memegang senjata, sesungguhnya mereka sedang berjihad dan alat-alat yang ada di tangannya adalah peralatan jihad.

Inti dari sebuah jihad ialah untuk menghidupkan orang, bukan mematikan; untuk membahagiakan orang, bukan menyengsarakan; untuk memintarkan orang, bukan menjadi penyebab kebodohan; untuk memperkaya orang, bukan memiskinkan orang; untuk menyehatkan orang, bukan menyakiti orang; untuk menciptakan ketenangan, bukan menimbulkan kegaduhan; untuk menyenangkan orang, bukan menyedihkan orang.

Pokoknya jihad bertujuan untuk meningkatkan martabat dan kualitas hidup umat manusia, bukan untuk mencampakkan dunia kemanusiaan. Lebih khusus lagi ialah untuk memberikan citra positif Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, bukan mencitranegatifkan Islam dengan menebarkan rasa takut.

Kekerasan dan peperangan memang ditolerir dalam Islam tetapi dengan syarat yang amat ketat. Prof. Ali Jum'ah, salah seorang ulama terkemuka Al-Azhar Mesir, memberikan enam syarat atau etika agar peperangan tidak menjurus menjadi kekerasan atau terorisme, yaitu: 1) Cara dan tujuan perjuangan harus jelas dan mulia; 2) al-qital (peperangan) hanya dibenarkan untuk angkatan perang, bukan penduduk sipil yang tak berdosa.

3) al-Qital harus dihentikan bila musuh sudah menyerah atau angkat tangan; 4) Melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi; 5) Memelihara lingkungan, tidak membunuh binatang tanpa alasan, tidak membakar pohon dan merusak tanaman, mencemari air, dan merusak rumah atau bangun; 6) Menjaga hak dan kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak mencederai mereka.

Rasulullah mencontohkan para tawanan Perang Badr tidak mengeksekusi para laki-laki dan memperbudak perempuan tetapi menahannya di masjid dan pada saatnya mereka lepaskan semuanya. Ada yang ditebus dengan mengajarkan keterampilan bahasa, tukang kayu, tukang besi, keterampilan membuat senjata, mengajarkan seni, menyamak kulit, dan berbagai keterampilan lainnya.

Dengan demikian jihad dalam Islam tidak bisa diidentikkan dengan tindakan kekerasan. Jihad mengeliminir unsur kekerasan di dalam segala perjuangan. []

DETIK, 29 Januari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar