Meluruskan Makna Jihad (20)
Antara Jihad dan kekerasan
Oleh: Nasaruddin Umar
Tidak semua kekerasan atas nama agama adalah jihad. Jihad memiliki
definisi dan kriterianya sendiri. Bisa saja orang melakukan tindakan kekerasan
yang dikemas dengan baju agama Islam, bahkan yel-yel yang yang diteriakkan Allahu Akbar, tetapi belum
tentu itu jihad. Arti jihad, sebagaimana dijelaskan di dalam artikel terdahulu,
ialah segala upaya yang dikerahkan untuk mencapai tujuan Islam.
Upaya-upaya itu bisa dalam bentuk fisik (jihad), pemikiran (ijtihad), dan semangat
batin (mujahadah).
Jika ada yang peratasnamakan suatu gerakan jihad tetapi tidak melibatkan
dimensi ijtihad dan mujahadah,
maka sesungguhnya belum bisa disebut jihad. Jika ia korban, maka tidak bisa
disebut sahid.
Ulama besar, Al-Ashfahani, membagi jihad menjadi tiga bagian,
yaitu jihad di dalam menghadapi musuh yang betul-betul nyata, jihad menghadapi
jin atau setan yang mengganggu, dan jihad menghadapi nafsu yang terdapat di
dalam diri setiap orang. Jihad yang paling penting dan sekaligus paling berat
ialah jihad yang ketiga, sebagaimana sabda Nabi SAW: Kita kembali dari jihad yang terkecil
menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu.
Dengan demikian, jihad tidak mesti harus memegang senjata. Seorang
tukang sapu jalanan memegang sapu, seorang mahasiswa memegang pena, seorang
petani memegang cangkul, dan seorang nelayan memegang jala, dan seorang tentara
memegang senjata, sesungguhnya mereka sedang berjihad dan alat-alat yang ada di
tangannya adalah peralatan jihad.
Inti dari sebuah jihad ialah untuk menghidupkan orang, bukan
mematikan; untuk membahagiakan orang, bukan menyengsarakan; untuk memintarkan
orang, bukan menjadi penyebab kebodohan; untuk memperkaya orang, bukan
memiskinkan orang; untuk menyehatkan orang, bukan menyakiti orang; untuk
menciptakan ketenangan, bukan menimbulkan kegaduhan; untuk menyenangkan orang,
bukan menyedihkan orang.
Pokoknya jihad bertujuan untuk meningkatkan martabat dan kualitas
hidup umat manusia, bukan untuk mencampakkan dunia kemanusiaan. Lebih khusus
lagi ialah untuk memberikan citra positif Islam sebagai rahmatan lil 'alamin,
bukan mencitranegatifkan Islam dengan menebarkan rasa takut.
Kekerasan dan peperangan memang ditolerir dalam Islam tetapi
dengan syarat yang amat ketat. Prof. Ali Jum'ah, salah seorang ulama terkemuka
Al-Azhar Mesir, memberikan enam syarat atau etika agar peperangan tidak
menjurus menjadi kekerasan atau terorisme, yaitu: 1) Cara dan tujuan perjuangan
harus jelas dan mulia; 2) al-qital
(peperangan) hanya dibenarkan untuk angkatan perang, bukan penduduk
sipil yang tak berdosa.
3) al-Qital
harus dihentikan bila musuh sudah menyerah atau angkat tangan; 4) Melindungi
tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi; 5) Memelihara lingkungan,
tidak membunuh binatang tanpa alasan, tidak membakar pohon dan merusak tanaman,
mencemari air, dan merusak rumah atau bangun; 6) Menjaga hak dan kebebasan
beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak mencederai mereka.
Rasulullah mencontohkan para tawanan Perang Badr tidak
mengeksekusi para laki-laki dan memperbudak perempuan tetapi menahannya di
masjid dan pada saatnya mereka lepaskan semuanya. Ada yang ditebus dengan
mengajarkan keterampilan bahasa, tukang kayu, tukang besi, keterampilan membuat
senjata, mengajarkan seni, menyamak kulit, dan berbagai keterampilan lainnya.
Dengan demikian jihad dalam Islam tidak bisa diidentikkan dengan
tindakan kekerasan. Jihad mengeliminir unsur kekerasan di dalam segala
perjuangan. []
DETIK, 29 Januari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar