Bagaimana
Rasio Menjelaskan Ketentuan Ibadah?
Dalam agama ada
aturan-aturan yang bersifat rasional sebab hakikatnya merupakan nilai
universal. Misalnya kewajiban membantu sesama, menegakkan yang ma'ruf,
menghilangkan yang munkar, dan banyak lainnya. Yang seperti ini dikenal dengan
istilah aturan ta'aqquli atau aturan yang motif dan tujuannya mudah dipahami
nalar.
Selain itu, ada juga
aturan-aturan yang sifatnya tak bisa ditanya alasan penentuannya. Misalnya
jumlah rakaat shalat, gerakan-gerakan shalat, makanan apa saja yang haram, kewajiban iddah, larangan bagi orang berhadats, kenajisan
benda tertentu, dan sebagainya yang bersifat teknis. Yang seperti ini disebut
dengan istilah ta'abbudi atau hal yang dilakukan karena faktor semata ibadah.
Hal ta'abbudi ini dituntut untuk diikuti saja tanpa bisa ditanya alasannya
kenapa dan tak bisa juga digugat atau diganti dengan yang lain. Menolaknya
berarti dianggap tidak patuh pada aturan agama, titik.
Banyak orang
menganggap wilayah ta'abbudi ini sebagai wilayah irasional dari agama.
Alasannya karena wilayah ini tak bisa dicerna alasan pewajibannya, apa
tujuannya dan apa output-nya. Sepintas anggapan ini benar, tapi sebenarnya
tidak tepat.
Perintah yang
bersifat ta'abbudi sejak awal dimaksudkan sebagai instrumen tes kepatuhan, tak
ada tujuan lain. Dengan instrumen ini, maka yang patuh dan yang tak patuh akan
terlihat jelas.
Secara rasional,
semua tes kepatuhan haruslah bersifat berbeda dengan kehendak umum dari orang
yang diuji dan tidak dapat dijelaskan alasan spesifik di balik tes itu olehnya.
Misalnya seorang bos mau mengetes kepatuhan pegawainya, maka ia harus
memerintahkan sesuatu yang sesuai kriteria di atas, misalnya memerintahkan
masuk kantor jam 7.00 dan keluar jam 15.00. Bos itu tak perlu menjelaskan
kenapa jam itu dipilih dan apa bedanya antara jam 7.00 dengan 6.59 atau dengan
7.01. Tak perlu juga ia menjelaskan nalar di balik penentuan jam itu. Tindakan
Bos ini sangat rasional.
Akan menjadi
irasional bila si bos memakai instrumen tes yang memang sesuai kehendak orang
yang diuji. Misalnya dengan mengatakan bahwa pegawai yang patuh adalah pegawai
yang makan dua kali sehari. Ini instrumen tes yang irasional dan selamanya tak
akan pernah menghasilkan nilai kepatuhan.
Hal yang sama terjadi
bila misalnya nalar di balik penentuan jam masuk 7.00 itu disampaikan dan
menjadi hal yang bisa dinegosiasi keberlakuannya. Misalnya dengan mengatakan
bahwa 7.00 ditetapkan karena untuk melayani klien yang datang. Artinya bila
jelas klien tak datang maka aturan ini gugur. Ini sama dengan mengatakan lampu
merah boleh diterobos bila sudah jelas aman. Instrumen tes yang demikian akan
tidak efektif sebagai alat ukur sebab akan banyak alasan untuk menggugurkannya.
Jadi, ketidakjelasan
alasan di balik perintah ta'abbudi justru adalah cara paling rasional untuk mengukur
tingkat kepatuhan seorang hamba. Bila misalnya larangan memakan babi diberi
alasan tertentu yang spesifik sebagai illat (alasan penentu hukum), semisal
alasannya karena daging babi berbahaya, maka akan banyak orang yang memakannya
dengan alasan sama sekali tak berbahaya baginya. Bila alasannya kotor dan
menjijikkan, maka akan banyak yang memakannya dengan alasan dagingnya sudah
dibersihkan dan tak menjijikkan baginya.
Hal yang sama berlaku
pada seluruh perintah ta'abbudi lainnya. Bila gerakan shalat dan waktunya
dijelaskan untuk tujuan tertentu sebagai illatnya, maka akan muncul varian
shalat alternatif yang secara akal juga memenuhi kriteria yang sama. Akhirnya,
syariat itu sendiri menjadi tidak baku yang konsekuensinya tak punya alat ukur
kepatuhan yang terukur.
Kesimpulannya, adanya
perintah-perintah yang ta'abbudi adalah hal yang rasional dalam agama. Justru
irasional bila sama sekali tak ada yang berkarakteristik ta'abbudi. Bahkan,
seluruh gerakan upacara bendera saja dibuat "serupa dengan ta'abbudi"
sehingga tak bisa dipertanyakan kenapa gerakan dan sikapnya harus begini atau
begitu tanpa boleh ditawar lagi. Namun demikian tak bisa disimpulkan bahwa
upacara bendera itu tidak rasional. []
Ustadz Abdul Wahab
Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center
Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar