Meluruskan Makna Jihad (28)
Pentingnya Memahami Sebab Turunnya Ayat dan Hadis
Oleh: Nasaruddin Umar
Bahaya menafsirkan ayat tanpa memahami konteks latar belakang
turunnya ayat (asbab
al-nuzul) dan hadis (sabab
wurud). Tanpa memahami
sabab nuzul ayat dan sabab
wurud hadis, maka peluang terjadinya kekeliruan di dalam pemahaman
teks Al-Qurdan dan hadis sangat besar.
Sabab nuzul dan sabab
wurud memiliki banyak bentuk. Ada dalam bentuk riwayat yang sangat
tegas berhubungan dengan sebuah atau kelompok ayat dan hadis dan ada berupa
peristiwa yang menjadi
background turun dan lahirnya sebuah atau kelompok ayat atau hadis.
Kedua-duanya amat penting dipahami untuk menentukan kadar dan kualitas
penerapan ayat dan hadis di dalam konteks kehidupan masyarakat.
Ayat-ayat Al-Quran diturunkan selama 23 tahun dan demikian pula
Muhammad menjadi Nabi dan Rasul dalam kurun waktu yang sama. Proses turun dan
lahirnya ayat atau hadis ada dalam bentuk merespons sebuah kasus atau menjawab
pertanyaan yang muncul di dalam masyarakat dan ada kelihatannya turun tanpa
sebab musabbab
secara langsung, namun kalangan ulama tafsir dan ulama hadis menyimpulkan
sesungguhnya tidak ada satu ayat atau hadis lahir tanpa background tertentu.
Seolah-olah kurun waktu turunnya ayat dan hadis selama 23 tahun
merupakan miniatur perjalan zaman yang akan ditempuh oleh Al-Quran dan hadis.
Karena itu pula, ketergantungan kita terhadap sabab nuzul dan sabab wurud sangat tergantung pula oleh
intensitas dan kualitas sebuah sabab
nuzul dan sabab
wurud, namun dalam hal ini para ulama tafsir dan ulama hadis sudah
memiliki metodologi yang disusun dengan amat disiplin untuk menerapkan
nilai-nilai dan norma-norma ayat dan hadis di dalam masyarakat.
Sebagai contoh, sebuah ayat menyatakan: "...bunuhlah orang-orang musyrikin itu di
mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan
intailah di tempat pengintaian..." (Q.S. al-Taubah/9:5). Sabab nuzul ayat ini
berkenaan dengan pelanggaran perjanjian damai yang dilakukan kaum musyrikin di
Madinah pada saat bulan Muharram (umat Islam dilarang berperang).
Setelah bulan haram lewat maka turun ayat ini mengizinkan umat
Islam untuk berperang jika mereka dikhianati. Yang dimaksud al-musyrikin dalam ayat
tersebut ialah suatu komunitas pelanggar perjanjian damai saat itu. Sedangkan
bagi yang tidak khianat dan tetap mematuhi perjanjian damai dalam tenggang
waktu tertentu di antara mereka, walaupun juga kaum musyrikin, tidak boleh
diganggu. (Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsir
al-Wasith, Vol VI, h. 206).
Adapun perintah faqtuluhu
(maka bunuhlah) dalam ayat itu bukanlah perintah wajib, tetapi hanya izin untuk
membunuh. Hal ini sama dengan perintah menangkap dan menawan mereka. Perintah
tersebut bertujuan membebaskan wilayah Mekah dan sekitarnya atau paling tidak
Jazirah Arabia dari pengaruh kemusyrikan. (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishabah, Vol.
V, h. 504).
Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat tersebut di atas khusus
pada kaum musyrikin Arab, bukan selainnya. (Wahbah az-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz X,
h. 111). Jadi bukan berarti begitu ketemu orang-orang non-muslim langsung
menjadi halal darahnya untuk dibunuh, seperti selintas pemahaman kita sebelum
memahami riwayat sabab nuzul-nya.
Demikian pula dalam hadis. Suatu ketika Nabi mau memimpin salat
Magrib, tiba-tiba salah seorang sahabatnya kentut dan baunya sangat mengganggu
hidung. Nabi memerintahkan siapa yang batal wudhunya segera keluar mengambil
air wudhu. Namun tidak ada satu pun sahabatnya yang keluar karena mungkin malu.
Akhirnya Nabi mengubah redaksi perintahnya: Siapa
yang baru saja makan daging unta maka silakan keluar berwudhu.
Lalu beramai-ramailah sahabat yang baru pulang menghadiri pesta
dengan suguhan daging unta keluar mengambil air wudhu. Hadis ini bukan berarti
unta membatalkan wudhu, karena malapetaka bagi orang-orang yang hidup di padang
pasir jika unta najis dan membatalkan wudhu. Nabi mengucapkan kata-kata itu
agar tidak menyinggung dan mempermalukan salah seorang sahabatnya yang kentut
saat itu. Inilah manfaat memahami sabab
nuzul ayat dan sabab
wurud hadis. []
DETIK, 10 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar