Sufi, Tarekat, dan
Perkembangannya di Nusantara
Tarekat dipandang sebagai sumber kekuatan spiritual, sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja. Jelaslah bahwa para raja tidak berminat kepada upaya yang membuat kekuatan supernatural yang sama dapat dimiliki oleh semua warga negara mereka.
Salah satu kesimpulan
tersebut diungkapkan oleh Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren,
dan Tarekat (2015) untuk menggambarkan bahwa kekuatan dan eksistensi raja juga
ditentukan oleh upaya batin yang didapat melalui legitimasi tarekat. Beberapa
literatur secara tegas mengemukakan bahwa tarekat-tarekat di Nusantara mendapatkan
pengikutnya, pertama-tama di lingkungan istana. Setelah lama, kemudian menyebar
ke kalangan masyarakat atau rakyat jelata.
Hal itu menunjukkan
bahwa peran-peran dai mistik (sufi) seperti para Wali Songo juga dilakukan di
pusat pemerintahan, yaitu kerajaan. Sejak awal melakukan penyebaran agama Islam
pada abad ke-14, para wali memang ditunjuk oleh raja atau sultan menjadi
penasihat kerajaan. Hal itu juga terlihat ketika ulama sufi terkemuka asal Aceh
pada abad ke-16 dan ke-17 seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan
Syekh Abdurrauf Singkel menjadi penasihat utama raja pada masa Kerajaan Aceh
Darussalam.
Menurut Abdul Hadi WM
(2009), asal-usul tarekat (at-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4
H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di
negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi
terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut. Di antara murid dan
pengikut para Sufi terkemuka itu aktif mengikuti pendidikan formal di
lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, semacam pesantren). Di antara Sufi
yang memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi dan Abu Said
al-Khayr.
Abad-abad awal proses
Islamisasi kawasan Asia Tenggara berbarengan dengan masa-masa ketika tasawuf
dan dan pertumbuhan tarekat abad pertengahan merebak. Abu Hamid Al-Ghazali yang
telah menguraikan konsep moderat tasawuf akhlaqi, dapat diterima oleh para
fuqaha, wafat pada tahun 1111 M. Begitu juga dengan Ibnu ‘Arabi yang karyanya
sangat mempengaruhi ajaran hampir semua sufi yang muncul belakangan, wafat pada
tahun 1240 M. Pun demikian dengan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang ajarannya
menjadi dasar tarekat Qadiriyah, wafat pada tahun 1166.
Ada juga Syekh
Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah;
Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah
asal Maghribi, Afrika Utara; Syekh Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan
Thariqah Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad ke-14 juga menjadi fase pertumbuhan
Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad Bahauddin
An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syekh
Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah terakhir belakangan
menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di Indonesia.
Ajaran para sufi pada
masa-masa tersebut cukup mewarnai orang-orang Asia Tenggara yang pertama
memeluk Islam. Warna sufi menjadikan agama Islam menarik bagi masyarakat Asia
Tenggara sehingga perkembangan tasawuf menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan proses Islamisasi Asia Tenggara dapat berlangsung. Warna sufi dari
Asia Tenggara di antaranya di bawa oleh Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel)
dari Kerajaan Champa (Vietnam) ke Nusantara pada abad ke-15.
Warna sufi yang
menonjolkan dzauq (rasa) lebih menyentuh dalam proses penyebaran Islam di
Nusantara, khususnya Indonesia. Hingga saat ini umat Islam di Indonesia masih
lekat dengan sikap-sikap sufistik. Penghormatannya kepada orang-orang mulia
seperti sufi dan ulama-ulama yang mempunyai keistimewaan atau karomah masih
lestari, baik dari mereka yang sudah meninggal maupun yang masih hidup.
Menjelang abad ke-18
berbagai tarekat telah memperoleh pengikut yang tersebar di Nusantara.
Ulama-ulama asal Indonesia yang baru kembali dari Hijaz (Makkah dan Madinah)
menyebarkan tarekat Syattariyah yang seringkali dipadukan dengan tarekat
Naqsyabandiyah maupun Khalwatiyah. Gerakan-gerakan tarekat tersebut tidak hanya
berjasa mengembangkan ajaran Islam, tetapi juga turut memberikan perlawanan
terhadap penjajah Belanda di sejumlah daerah. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar