Rabu, 26 Februari 2020

Sufi, Tarekat, dan Perkembangannya di Nusantara


Sufi, Tarekat, dan Perkembangannya di Nusantara

Tarekat dipandang sebagai sumber kekuatan spiritual, sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja. Jelaslah bahwa para raja tidak berminat kepada upaya yang membuat kekuatan supernatural yang sama dapat dimiliki oleh semua warga negara mereka.

Salah satu kesimpulan tersebut diungkapkan oleh Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (2015) untuk menggambarkan bahwa kekuatan dan eksistensi raja juga ditentukan oleh upaya batin yang didapat melalui legitimasi tarekat. Beberapa literatur secara tegas mengemukakan bahwa tarekat-tarekat di Nusantara mendapatkan pengikutnya, pertama-tama di lingkungan istana. Setelah lama, kemudian menyebar ke kalangan masyarakat atau rakyat jelata.

Hal itu menunjukkan bahwa peran-peran dai mistik (sufi) seperti para Wali Songo juga dilakukan di pusat pemerintahan, yaitu kerajaan. Sejak awal melakukan penyebaran agama Islam pada abad ke-14, para wali memang ditunjuk oleh raja atau sultan menjadi penasihat kerajaan. Hal itu juga terlihat ketika ulama sufi terkemuka asal Aceh pada abad ke-16 dan ke-17 seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Syekh Abdurrauf Singkel menjadi penasihat utama raja pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.

Menurut Abdul Hadi WM (2009), asal-usul tarekat (at-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut. Di antara murid dan pengikut para Sufi terkemuka itu aktif mengikuti pendidikan formal di lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, semacam pesantren). Di antara Sufi yang memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi dan Abu Said al-Khayr.

Abad-abad awal proses Islamisasi kawasan Asia Tenggara berbarengan dengan masa-masa ketika tasawuf dan dan pertumbuhan tarekat abad pertengahan merebak. Abu Hamid Al-Ghazali yang telah menguraikan konsep moderat tasawuf akhlaqi, dapat diterima oleh para fuqaha, wafat pada tahun 1111 M. Begitu juga dengan Ibnu ‘Arabi yang karyanya sangat mempengaruhi ajaran hampir semua sufi yang muncul belakangan, wafat pada tahun 1240 M. Pun demikian dengan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang ajarannya menjadi dasar tarekat Qadiriyah, wafat pada tahun 1166.

Ada juga Syekh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Syekh Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad ke-14 juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syekh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah terakhir belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di Indonesia.

Ajaran para sufi pada masa-masa tersebut cukup mewarnai orang-orang Asia Tenggara yang pertama memeluk Islam. Warna sufi menjadikan agama Islam menarik bagi masyarakat Asia Tenggara sehingga perkembangan tasawuf menjadi salah satu faktor yang menyebabkan proses Islamisasi Asia Tenggara dapat berlangsung. Warna sufi dari Asia Tenggara di antaranya di bawa oleh Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dari Kerajaan Champa (Vietnam) ke Nusantara pada abad ke-15.

Warna sufi yang menonjolkan dzauq (rasa) lebih menyentuh dalam proses penyebaran Islam di Nusantara, khususnya Indonesia. Hingga saat ini umat Islam di Indonesia masih lekat dengan sikap-sikap sufistik. Penghormatannya kepada orang-orang mulia seperti sufi dan ulama-ulama yang mempunyai keistimewaan atau karomah masih lestari, baik dari mereka yang sudah meninggal maupun yang masih hidup.

Menjelang abad ke-18 berbagai tarekat telah memperoleh pengikut yang tersebar di Nusantara. Ulama-ulama asal Indonesia yang baru kembali dari Hijaz (Makkah dan Madinah) menyebarkan tarekat Syattariyah yang seringkali dipadukan dengan tarekat Naqsyabandiyah maupun Khalwatiyah. Gerakan-gerakan tarekat tersebut tidak hanya berjasa mengembangkan ajaran Islam, tetapi juga turut memberikan perlawanan terhadap penjajah Belanda di sejumlah daerah. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar