Islam dan
Kemerdekaan Beragama Institusional (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Banyak pengamat yang mengatakan Islam menurut sifatnya menolak pemisahan negara-agama. Jika pendapat ini benar, menjadi tidak mungkin ditegakkan sepenuhnya kemerdekaan beragama di dunia Muslim.
Saya tidak setuju dengan pendapat para pengamat di atas. Adalah fakta sejarah antara abad ke-7 sampai dengan pertengahan abad ke- 11, sebagian besar sarjana Islam memiliki suatu tingkat pemisahan dari otoritas negara dan mereka didanai oleh usaha perniagaan. Sampai dengan pertengahan abad ke-11, sarjana-sarjana Islam terkemuka, termasuk pendiri mazbab yurisprudensi Sunni, menolak untuk menjadi abdi negara, bahkan mereka menghadapi penyiksaan.
Karena pandangan mereka yang berbeda, Abu Hanifa dibunuh dalam penjara, Malik dicambuk, Syafii dikurung dan dirantai, dan Ibn Hanbal dipukul dalam penjara. Kisah pendiri mazhab Sunni yang tertua, Abu Hanifa, adalah contoh yang tepat. Dia adalah seorang pedagang sutera yang menolak jadi abdi negara.
Abu Hanifa menampik tawaran pribadi khalifah Abbasiyah untuk jabatan hakim dengan alasan bahwa dia tidak layak untuk jabatan itu. Khalifah menjadi marah dan menyebutnya sebagai seorang pendusta.
Abu Hanifa menjawab bahwa seorang pendusta tidak dapat diangkat jadi seorang hakim. Khalifa memasukkannya ke dalam penjara kemudian diracun sampai mati.
Dengan bersikap kukuh melawan pengawasan negara atas agama, ulama Sunni dan Syi'ah telah membangun contoh peran (role models) bagi sarjana-sarjana yang datang, kemudian pada beberapa abad berikutnya dalam pengertian bekerja dengan suatu tingkat otonomi yang penting dari pengawasan otoritas politik.
Menurut sebuah analisis modern, dari jumlah 3.900 sarjana Islam yang hidup antara abad ke-8 dan pertengahan abad ke-11, hanyalah sejumlah kecil (8,5 persen) bekerja sebagai pejabat negara.
Namun, perubahan terjadi pada abad ke-11 karena berubahnya kondisi politik. Dua orang khalifah Abbasiyah yang berurutan di Baghdad semakin lemah secara politik akibat munculnya pasukan militer Syi'i di berbagai bagian dunia Muslim. Keduanya menghendaki penyatuan golongan Sunni. Khalifah ini mengumumkan suatu kredo Sunni, di dalamnya ditegaskan penganut Syi'i tertentu, Muktazilah, dan para filsuf dinyatakan murtad dan risikonya hukuman mati.
Panggilan untuk pembentukan ortodoksi Sunni ini diterima dengan baik pada pertengahan abad ke-11 oleh sebuah kekuatan militer baru-- Imperium Saljuk. Pasukan Saljuk mengalahkan pasukan militer Syi'i. Maka itu, kemudian berlakulah militerisasi dan pemusatan ekonomi dan pendirian sejumlah madrasah untuk menjadikan sarjana Muslim/ulama sebagai abdi negara.
Persekutuan ulama-negara telah menjadi tonggak utama bagi imperium Muslim berikutnya, termasuk imperium Mamluk dan Turki Utsmani. Persekutuan semacam ini telah meminggirkan peran saudagar, filsuf, dan para sarjana yang punya pendirian berbeda. Di sebagian besar dunia Muslim, persekutuan ulama-negara ini memaksakan ajaran ortodoks Islam melalui ketentuan negara. Akibatnya, ruang kemerdekaan beragama individu dan kelembagaan menjadi semakin sempit.
Dasar kelembagaan adalah madrasah. Lembaga utama yang mempertahankan persekutuan ulama-negara adalah jaringan madrasah. Perdana Menteri Saljuk yang agung Nizam al-Mulk (1064-1092) menjadi pelindung sebuah madrasah di Baghdad, yang kemudian menjadi pelopor dari jaringan itu.
Lembaga-lembaga ini kemudian disebut madrasah Nizamiyah yang selanjutnya model serupa menyebar ke Irak, Iran, Asia Tengah, pada periode Mamluk, Turki Utsmani, ke Mesir, Suriah, Anatolia, dan Balkan. Melalui jaringan madrasah inilah persekutuan ulama-negara telah membersihkan kekuatan-kekuatan penentang sampai pada era modern. []
REPUBLIKA,
30 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar