Kamis, 20 Februari 2020

(Ngaji of the Day) Empat Sikap Rasulullah terhadap Tawanan Perang Jumat


Empat Sikap Rasulullah terhadap Tawanan Perang Jumat

"Dan tidaklah Kami (Allah) mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya: 107)

Demikianlah pernyataan Allah terhadap Rasulullah sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an. Kasih sayang Rasulullah meliputi alam semesta; umat non-Muslim, hewan, tumbuhan, jin, dan lainnya, tidak hanya tertuju kepada umat Islam saja. Dalam skala lebih kecil, rahmat Rasulullah tidak hanya berlaku bagi umat Islam saja yang menjadi pengikutnya, namun juga bagi umat non-Muslim yang menjadi tawanannya ketika kalah perang. 

Setelah perang Badar misalnya, setidaknya ada 70 musyrik Quraisy yang berhasil ditawan umat Islam. Mereka diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa dengan semena-mena, dan tidak dicederai kehormatannya. Merujuk buku Al-Bidayah wa An-Nihayah (Ibnu Katsir) dan Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam (Raghib as-Sirjani, 2011), Rasulullah memperlakukan tawanannya dengan empat cara. Pertama, mengeksekusi mati, namun ini sangat jarang sekali dilakukan. Dalam kasus tawanan perang Badar, hanya dua orang yang dieksekusi mati –sebagian besarnya dilepaskan dengan syarat atau pun tanpa syarat. Yaitu Nadhr bin Harits dan Uqbah bin Abu Mu’aith. Mereka berdua dibunuh karena kejahatan perangnya yang besar, bukan karena faktor balas dendam. 

Kedua, membebaskan dengan tebusan. Rasulullah sangat memperhatikan kondisi ekonomi setiap tawanannya. Jumlah tebusannya pun bervariasi, tergantung harta yang dimiliki mereka. Uang tebusan ini nantinya akan digunakan untuk keperluan umat Islam, bukan untuk Rasulullah secara pribadi. Diantara tawanan yang dilepas dengan tebusan harta adalah Abu Wada’ah dan Zararah bin Umair –saudara Mus’ab bin Umair (4000 dirham), al-Abbas bin Abdul Muthalib (100 uqiyah), Aqil bin Abu Thalib (80 uqiyah), dan lainnya.  

Menariknya, tebusan tidak hanya berupa uang atau harta saja. Bisa juga barter tawanan perang. Dalam kasus Abu Amr bin Abu Sufyan misalnya, dia dilepaskan dengan syarat kaum musyrik juga melepaskan Sa’ad bin an-Nu’man bin Akal yang ditawan Abu Sufyan ketika umrah. 

Ketiga, membebaskan dengan syarat mengajarkan baca-tulis. Rasulullah tahu dan sadar kalau tidak semua tawanannya memiliki harta benda yang melimpah. Oleh karenanya, Rasulullah memiliki cara tersendiri untuk mengatasi persoalan itu. Bagi tawanan yang bisa baca-tulis, mereka akan dibebaskan jika mau mengajari umat Islam atau anak-anak Anshar tentang baca-tulis.  

“Beberapa tawanan perang Badar ada yang memiliki uang untuk tebusan, maka Rasulullah menjadikan tebusannya dengan mengajar anak-anak Anshar,” sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas.

Keempat, membebaskan tanpa syarat apapun. Rasulullah juga membebaskan beberapa tawanannya tanpa uang tebusan sama sekali. Rasulullah tidak melakukan itu atas kehendak sendiri, akan tetapi keputusan itu diambil setelah beliau mendiskusikannya dengan para sahabatnya. Iya, Rasulullah adalah orang yang mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan suatu hal.

Adalah Abul Ash bin Ar-Rabi, suami Sayyidah Zainab putri Rasulullah, salah seorang tawanan perang yang dilepaskan tanpa uang tebusan. Pada saat itu, menantu Rasulullah itu belum masuk Islam dan ikut bertarung di barisan kaum musyrik Makkah ketika perang Badar. Naasnya, kaum musyrik kalah dan dia tertawan. Semula Sayyidah Zainab menebus Abul Ash dengan kalung hadiah dari ibundanya Sayyidah Khadijah, namun Rasulullah mengembalikan itu dan membebaskan Abul Ash setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya. 

“Seandainya Al-Muth’im bin Adi (pembesar kaum Musyrik) masih hidup, kemudian ia berbicara kepadaku tentang para tawanan ini, pasti aku akan melepaskan mereka untuknya,” kata Rasulullah di hadapan tawanan perang Badar. Al-Muth’im adalah salah seorang elit musyrik yang dihormati Rasulullah. Dia adalah salah seorang yang ikut membatalkan perjanjian boikot yang dilancarkan kaum musyrik kepada Bani Hasyim.

Sikap baik Rasulullah terhadap para tawanan tidak jarang menyebabkan mereka akhirnya memeluk Islam. Diantaranya adalah Tsumamah bin Atsal, seorang pemimpin Bani Hanifah. Pada saat itu, dia datang ke Madinah untuk membunuh Rasulullah. Namun gelagatnya tercium oleh para sahabat. Akhirnya dia ditawan. 

Rasulullah yang mengetahui hal itu kemudian menyuruh sahabatnya untuk memberinya makan. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Tentu saja keadaan ini membuat para sahabat kebingungan. Bagaimana mungkin seorang yang hendak membunuh Rasulullah malah malah diberi makan, diperlakukan dengan penuh hormat, dan dimaafkan. Tsumamah kemudian dilepaskan setelah beberapa hari ditawan. Menariknya, setelah dilepaskan Tsumamah kembali kepada Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. []

(A Muchlishon Rochmat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar