Empat
Sikap Rasulullah terhadap Tawanan Perang Jumat
"Dan tidaklah Kami (Allah) mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya: 107)
Demikianlah
pernyataan Allah terhadap Rasulullah sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an.
Kasih sayang Rasulullah meliputi alam semesta; umat non-Muslim, hewan,
tumbuhan, jin, dan lainnya, tidak hanya tertuju kepada umat Islam saja. Dalam
skala lebih kecil, rahmat Rasulullah tidak hanya berlaku bagi umat Islam saja
yang menjadi pengikutnya, namun juga bagi umat non-Muslim yang menjadi
tawanannya ketika kalah perang.
Setelah perang Badar
misalnya, setidaknya ada 70 musyrik Quraisy yang berhasil ditawan umat Islam.
Mereka diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa dengan semena-mena, dan
tidak dicederai kehormatannya. Merujuk buku Al-Bidayah wa
An-Nihayah (Ibnu Katsir) dan Rasulullah Teladan untuk Semesta
Alam (Raghib as-Sirjani, 2011), Rasulullah memperlakukan tawanannya dengan
empat cara. Pertama, mengeksekusi mati, namun ini sangat jarang
sekali dilakukan. Dalam kasus tawanan perang Badar, hanya dua orang yang
dieksekusi mati –sebagian besarnya dilepaskan dengan syarat atau pun tanpa
syarat. Yaitu Nadhr bin Harits dan Uqbah bin Abu Mu’aith. Mereka berdua dibunuh
karena kejahatan perangnya yang besar, bukan karena faktor balas dendam.
Kedua, membebaskan
dengan tebusan. Rasulullah sangat memperhatikan kondisi ekonomi setiap
tawanannya. Jumlah tebusannya pun bervariasi, tergantung harta yang dimiliki
mereka. Uang tebusan ini nantinya akan digunakan untuk keperluan umat Islam,
bukan untuk Rasulullah secara pribadi. Diantara tawanan yang dilepas dengan
tebusan harta adalah Abu Wada’ah dan Zararah bin Umair –saudara Mus’ab bin
Umair (4000 dirham), al-Abbas bin Abdul Muthalib (100 uqiyah), Aqil bin Abu
Thalib (80 uqiyah), dan lainnya.
Menariknya, tebusan
tidak hanya berupa uang atau harta saja. Bisa juga barter tawanan perang. Dalam
kasus Abu Amr bin Abu Sufyan misalnya, dia dilepaskan dengan syarat kaum
musyrik juga melepaskan Sa’ad bin an-Nu’man bin Akal yang ditawan Abu Sufyan
ketika umrah.
Ketiga, membebaskan
dengan syarat mengajarkan baca-tulis. Rasulullah tahu dan sadar kalau tidak
semua tawanannya memiliki harta benda yang melimpah. Oleh karenanya, Rasulullah
memiliki cara tersendiri untuk mengatasi persoalan itu. Bagi tawanan yang bisa
baca-tulis, mereka akan dibebaskan jika mau mengajari umat Islam atau anak-anak
Anshar tentang baca-tulis.
“Beberapa tawanan
perang Badar ada yang memiliki uang untuk tebusan, maka Rasulullah menjadikan
tebusannya dengan mengajar anak-anak Anshar,” sebagaimana diriwayatkan Ibnu
Abbas.
Keempat, membebaskan
tanpa syarat apapun. Rasulullah juga membebaskan beberapa tawanannya tanpa uang
tebusan sama sekali. Rasulullah tidak melakukan itu atas kehendak sendiri, akan
tetapi keputusan itu diambil setelah beliau mendiskusikannya dengan para
sahabatnya. Iya, Rasulullah adalah orang yang mengedepankan musyawarah dalam
menyelesaikan suatu hal.
Adalah Abul Ash bin
Ar-Rabi, suami Sayyidah Zainab putri Rasulullah, salah seorang tawanan perang
yang dilepaskan tanpa uang tebusan. Pada saat itu, menantu Rasulullah itu belum
masuk Islam dan ikut bertarung di barisan kaum musyrik Makkah ketika perang
Badar. Naasnya, kaum musyrik kalah dan dia tertawan. Semula Sayyidah Zainab
menebus Abul Ash dengan kalung hadiah dari ibundanya Sayyidah Khadijah, namun
Rasulullah mengembalikan itu dan membebaskan Abul Ash setelah bermusyawarah
dengan para sahabatnya.
“Seandainya
Al-Muth’im bin Adi (pembesar kaum Musyrik) masih hidup, kemudian ia berbicara
kepadaku tentang para tawanan ini, pasti aku akan melepaskan mereka untuknya,”
kata Rasulullah di hadapan tawanan perang Badar. Al-Muth’im adalah salah
seorang elit musyrik yang dihormati Rasulullah. Dia adalah salah seorang yang
ikut membatalkan perjanjian boikot yang dilancarkan kaum musyrik kepada Bani
Hasyim.
Sikap baik Rasulullah
terhadap para tawanan tidak jarang menyebabkan mereka akhirnya memeluk Islam.
Diantaranya adalah Tsumamah bin Atsal, seorang pemimpin Bani Hanifah. Pada saat
itu, dia datang ke Madinah untuk membunuh Rasulullah. Namun gelagatnya tercium
oleh para sahabat. Akhirnya dia ditawan.
Rasulullah yang
mengetahui hal itu kemudian menyuruh sahabatnya untuk memberinya makan. Tidak
hanya sekali, tapi berkali-kali. Tentu saja keadaan ini membuat para sahabat
kebingungan. Bagaimana mungkin seorang yang hendak membunuh Rasulullah malah
malah diberi makan, diperlakukan dengan penuh hormat, dan dimaafkan. Tsumamah
kemudian dilepaskan setelah beberapa hari ditawan. Menariknya, setelah
dilepaskan Tsumamah kembali kepada Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam.
[]
(A Muchlishon
Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar