Hukum Mengonsumsi Daging
Mentah
Syariat sejak awal telah menjelaskan secara
gamblang mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan halal-haramnya berbagai
macam makanan: mana yang boleh dikonsumsi dan mana yang tidak boleh dikonsumsi.
Mengenai halal-haramnya makanan ini salah satunya dijelaskan dalam firman Allah
subhanahu wa ta’ala:
قُلْ
لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا
أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ
رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah, ‘Tidak kudapati di dalam apa
yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin
memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir,
daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas
(nama) Allah,” (QS. Al-An’am: 145).
Berdasarkan dalil di atas dapat dipahami
bahwa daging yang haram untuk dimakan adalah daging hewan bangkai, daging yang
masih terdapat darah di dalamnya, daging babi dan daging yang disembelih untuk
tujuan selain Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkai dalam ayat di atas
adalah daging yang berasal dari hewan yang mati tanpa disembelih secara syara’
(Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, hal. 28).
Lantas bagaimana dengan mengonsumsi daging
yang masih mentah? Seperti aneka masakan yang tersaji di restoran khas Jepang,
misalnya; apakah tergolong sebagai hal yang diharamkan?
Mengonsumsi daging secara mentah adalah hal
yang diperbolehkan selama daging yang dikonsumsi bukan termasuk kategori daging
dari hewan-hewan yang diharamkan dan tidak ada najis yang masih melekat dalam
daging tersebut, seperti darah misalnya.
Meski diperbolehkan, namun para ulama masih
berbeda pendapat mengenai makruh tidaknya mengonsumsi daging secara mentah ini.
Dalam kitab al-Iqna’ dijelaskan bahwa mengonsumsi daging mentah adalah hal yang
dimakruhkan, seperti halnya hukum membiasakan makan daging secara terus-menerus
dan memakan daging yang sudah busuk (bau). Namun, dalam kitab yang lain
menyebutkan ketidakmakruhan mengonsumsi daging secara mentah, sehingga hukumnya
hanya sebatas mubah.
Penjelasan di atas teringkas dalam kitab
Ghidza’ al-Albab Syarh Mandzumah al-Adab berikut ini:
هَلْ
يُكْرَهُ أَكْلُ اللَّحْمِ نِيئًا ، أَوْ لَا ؟ جَزَمَ فِي الْإِقْنَاعِ
بِالْكَرَاهِيَةِ وَعِبَارَتُهُ : وَتُكْرَهُ مُدَاوَمَةُ أَكْلِ لَحْمٍ وَأَكْلُ
لَحْمٍ مُنْتِنٍ وَنِيءٍ انْتَهَى . وَصَرَّحَ فِي الْمُنْتَهَى بِعَدَمِ
الْكَرَاهَةِ فِي النِّيءِ ، وَالْمُنْتِنِ . قَالَ شَارِحُهُ نَصًّا وَلَمْ
يَذْكُرْ خِلَافَ الْإِقْنَاعِ ، وَكَذَا الْغَايَةُ صَرَّحَ بِعَدَمِ
الْكَرَاهَةِ وَلَمْ يُشِرْ لِلْخِلَافِ
“Apakah dimakruhkan mengonsumsi daging mentah
atau tidak? Syekh Abu Naja al-Hajawi dalam kitab al-Iqna’ menegaskan kemakruhan
mengonsumsi daging mentah, berikut redaksinya: “Dimakruhkan terus-menerus
mengonsumsi daging, makruh pula mengonsumsi daging yang busuk dan daging
mentah”. Sedangkan Ibnu Najjar dalam kitab al-Muntaha menegaskan ketidak
makruhan mengonsumsi daging mentah dan daging yang busuk. Bahkan ulama yang
mensyarahi kitab tersebut menyebutkan kata ‘nasshan’ (secara jelas) tanpa
menyebutkan perbedaan pandangan yang terdapat dalam kitab al-Iqna’. Begitu juga
dalam kitab al-Ghayah menegaskan ketidakmakruhan mengonsumsi daging mentah,
tanpa mengisyaratkan adanya perbedaan pendapat,” (Syekh Muhammad bin Ahmad bin
Salim as-Safarini, Ghidza’ al-Albab Syarh Mandzumah al-Adab, juz 2, hal. 121).
Berbeda halnya ketika dengan mengonsumsi
daging mentah akan menyebabkan bahaya pada diri sendiri, misalnya seseorang
meyakini bahwa dengan mengonsumsi daging mentah maka kesehatannya akan
terganggu atau penyakit yang dimilikinya akan kambuh. Maka dalam keadaan
demikian memakan daging mentah adalah hal yang dilarang. Hal ini sesuai dengan
kaidah “adl-dlarar yuzâlu” (bahaya harus dihilangkan) dan berdasarkan firman
Allah:
وَلاَ
تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri)
ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri” (QS. Al-Baqarah: 195)
Selain itu juga harus dipastikan bahwa daging
yang dimakan benar-benar halal dan disembelih oleh orang Muslim atau ahli kitab
(pemeluk agama yahudi atau nasrani). Jika daging yang masih mentah ternyata
berasal dari hewan yang disembelih oleh orang selain Muslim dan ahli kitab,
maka mengonsumsi daging tersebut tidak diperbolehkan.
Sedangkan ketika seseorang tidak mengetahui
pada orang yang menyembelih daging yang hendak ia makan, maka langkah yang
harus dilakukan olehnya adalah mencari petunjuk tentang asal muasal daging yang
akan ia makan. Lebih jelasnya simak dalam artikel “”Belum Jelas Proses
Sembelihannya, Daging Halal atau Haram?
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
mengonsumsi daging dalam keadaan masih mentah adalah hal yang diperbolehkan
selama daging tersebut (1) bukan termasuk kategori daging hewan yang
diharamkan, (2) tidak ada najis yang melekat pada daging itu, serta (3)
diyakini tidak ada dampak membahayakan bagi orang yang mengonsumsinya.
Sehingga sebaiknya bagi orang yang hendak
mengonsumsi daging yang masih mentah agar benar-benar memastikan kehalalan
daging yang akan dimakan dan memastikan tidak adanya najis yang masih melekat
dalam daging tersebut. Ketika masih ragu tentang asal muasal daging mentah yang
hendak ia makan, (apakah dari hewan yang halal atau haram, disembelih secara
syar’i atau tidak) maka sebaiknya agar hal tersebut dihindari karena tergolong
makanan yang syubhat. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar