Burung Hud-hud dan Penjelasan Ibnu Abbas yang
Ditentang Khawarij
Kisah ini dimulai dari penjelasan Sayyidina Ibnu Abbas tentang kemampuan burung Hud-hud. Ia menjelaskan:
كان
الهدهد مهندسا، يدل سليمان، عليه السلام، على الماء، إذا كان بأرض فلاة طلبه فنظر
له الماء في تخوم الأرض، كما يرى الإنسان الشيء الظاهر على وجه الأرض، ويعرف كم
مساحة بعده من وجه الأرض، فإذا دلهم عليه أمر سليمان، عليه السلام، الجان فحفروا
له ذلك المكان، حتى يستنبط الماء من قراره
Terjemah bebas: Bahwa burung Hud-hud sangat
ahli dalam mencari air dan ditugaskan secara khusus oleh Nabi Sulaiman ketika
berada di padang pasir. Dengan kemampuannya, Hud-hud dapat melihat sumber air
di dalam tanah seperti manusia dapat melihat sesuatu di permukaan tanah.
Hud-hud juga dapat melihat seberapa jauh dan seberapa dalam sumber air di dalam
tanah itu. Ketika Hud-hud menunjukkan letak sumber air, Nabi Sulaiman
‘alaihissalam memerintahkan jin untuk menggali tempat itu sampai air keluar
dari dasar bumi” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm, Riyadh: Dar
Thayyibah, 1999, juz 6, h. 184).
Penjelasan Sayyidina Ibnu Abbas ini
diriwayatkan oleh Imam Mujahid, Sa’id bin Jubair, dan ulama lainnya. Di saat
Ibnu Abbas menjelaskan kelebihan yang dimiliki burung Hud-hud, seorang Khawarij
bernama Nafi’ bin al-Azraq menentangnya. Berikut riwayatnya:
حدث
يوما عبد الله بن عباس بنحو هذا، وفي القوم رجل من الخوارج، يقال له نافع بن
الأزرق، وكان كثير الاعتراض على ابن عباس، فقال له: قف يا ابن عباس، غلبت اليوم!
قال: ولم؟ قال: إنك تخبر عن الهدهد أنه يرى الماء في تخوم الأرض، وإن الصبي ليضع
له الحبة في الفخ، ويحثو على الفخ ترابا، فيجيء الهدهد ليأخذها فيقع في الفخ،
فيصيده الصبي. فقال ابن عباس: لولا أن يذهب هذا فيقول: رددت على ابن عباس، لما
أجبته. فقال له: ويحك! إنه إذا نزل القدر عمي البصر، وذهب الحذر. فقال له نافع:
والله لا أجادلك في شيء من القرآن أبدا
Terjemah bebas: Suatu hari Ibnu Abbas
menceritakan kisah ini di sebuah kaum yang di dalamnya terdapat seorang
Khawarij bernama Nafi bin al-Azraq. Ia dikenal sebagai orang yang sangat sering
(banyak) menentang Ibnu Abbas. Karena itu ia berkata: “Hentikan wahai Ibnu
Abbas, hari ini kau telah kalah.” Ibnu Abbas bertanya: “Kenapa?” Nafi bin
al-Azraq berkata: “Sesungguhnya kau telah bercerita tentang Hud-hud yang dapat
melihat air di perut bumi, padahal bisa saja seorang anak menaruh biji dalam
perangkap dan menutupi perangkap itu dengan tanah. Kemudian Hud-hud datang
mengambil biji tersebut (untuk dimakan) maka dia terjerat oleh perangkap yang
dipasang anak kecil itu.” Ibnu Abbas berkata: “Jika tidak karena mengakhiri
ini, lalu ia akan berkata: ‘Aku telah menyangkal Ibnu Abbas, (dan) ia tidak
menjawab.” Kemudian Ibnu Abbas menjawab: “Celakalah kau! Sungguh jika takdir
telah ditetapkan, hilanglah penglihatan dan lenyaplah kehati-hatian (maka
burung Hud-hud pasti masuk dalam perangkap).” Nafi bin al-Azraq berkata: “Demi
Allah, aku tidak akan lagi mendebatmu dalam sesuatu dari Al-Qur’an selamanya”
(Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm, 1999, juz 6, h. 184-185)
****
Riwayat di atas merupakan tafsir atau
penjelasan Sayyidina Abdullah bin Abbas mengenai Surat An-Naml: 20. Dalam
tafsir Ibnu Katsir diceritakan:
فنزل
سليمان، عليه السلام [يوما]، بفلاة من الأرض، فتفقد الطير ليرى الهدهد، فلم يره،
(فقال ما لي لا أرى الهدهد أم كان من الغائبين)
“(Suatu ketika) Nabi Sulaiman beristirahat di
padang pasir. Ia memeriksa (kelompok) burung, tapi ia tidak melihat burung
Hud-hud. (Maka ia berkata: “Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah dia
termasuk yang tidak hadir?)” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm,
1999, juz 6, h. 184).
Ketika ia sedang menjelaskan makna atau
peristiwa yang melatar-belakangi ayat tersebut, seorang Khawarij bernama Nafi
bin al-Azraq menentang Ibnu Abbas. Dari argumentasinya, Nafi bin al-Azraq tidak
meyakini kebenaran tafsir Ibnu Abbas. Ia tidak percaya jika burung Hud-hud
dapat melihat ke dalam perut bumi dan menemukan sumber air. Dengan percaya diri
ia mengatakan Ibnu Abbas telah kalah, bahkan sebelum ia mengemukakan
argumentasinya. Maksud “kalah” di sini adalah, bahwa penjelasan Ibnu Abbas akan
sangat mudah dipatahkan olehnya.
Argumentasi Nafi bin al-Azraq adalah, jika
memang burung Hud-hud bisa melihat ke dalam tanah, mungkin saja ia akan
terjebak oleh perangkap anak-anak yang menaruh biji dan menguburnya di dalam
tanah untuk menangkapnya. Tapi Sayyidina Ibnu Abbas menjawab: “Celakalah kau!
Jika takdir telah ditetapkan, hilanglah penglihatan dan lenyaplah
kehati-hatian.”
Jawaban ini menunjukkan bahwa secakap apa pun
kemampuan seseorang atau makhluk tertentu, di titik tertentu mereka akan
menemui takdirnya. Ketika mereka menemui takdirnya, standar logika yang
berdasarkan kualifikasi atau kemampuan tidak bisa diterapkan lagi. Titik inilah
yang kemudian dipahami oleh nenek moyang kita dengan pepatah:
“Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga.”
Penggunaan kata, “waihak!—celakalah kau!”
merupakan bentuk teguran Ibnu Abbas kepada Nafi’ bin al-Azraq. Karena ia telah
sombong dengan kebenaran versinya sendiri. Ia menganggap penafsiran lain yang
berbeda dengannya salah tanpa melakukan analisa dan perenungan mendalam terlebih
dahulu.
Kesombongan Nafi bin al-Azraq ditampilkan
dengan mengatakan, “kau telah kalah hari ini, wahai Ibnu Abbas.” Perkataan ini
ia katakan sebelum ia mengemukakan argumentasinya. Artinya, ia telah sangat
yakin akan kebenaran pendapatnya, dan yakin akan kesalahan pendapat Ibnu Abbas.
Setelah mendengar teguran dan jawaban Ibnu
Abbas, Nafi’ bin al-Azraq menyadari kekeliruannya. Jika Allah telah menetapkan
sesuatu, sepintar apa pun manusia, selihai apa pun tupai, secanggih apa pun
teknologi, semuanya akan berjalan sesuai ketetapannya. Jika Allah
menghendakinya jatuh, ia akan terjatuh; jika Allah menghendakinya berhasil, ia
akan semakin berhasil. Sebab, tidak mungkin ada manusia yang selalu sukses, dan
tidak mungkin pula ada manusia yang selalu gagal. Begitupun dengan makhluk
Allah lainnya.
Karena itu, kita harus mawas diri dalam
merasa. Jangan sampai kita merasa “paling” dalam segala hal, baik yang bersifat
positif maupun negatif. Kisah di atas mengajarkan kita tentang pentingnya
menghargai kebenaran eksternal, yaitu kebenaran yang berasal dari selain kita.
Di sisi lain, kisah di atas juga mengajarkan kita agar menghargai takdir. Karena setiap manusia memiliki passion yang berbeda-beda; profesi yang berbeda-beda; hobi yang berbeda-beda, dan lain sebagainya. Ini bukan berarti takdir tidak adil, bukan. Karena ketetapan Allah berjalan sepanjang kita hidup. Terkadang kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan; terkadang kita tidak mendapatkannya.
Karena itu, dalam jawabannya, Sayyidina Ibnu
Abbas mengatakan, jika takdir telah ditetapkan, kehati-hatian bisa hilang dan
penglihatan bisa lenyap, bahkan untuk burung Hud-hud yang memiliki keistimewaan
sekalipun. Artinya, kemampuan, kelihaian, kecakapan, dan kelebihan
sewaktu-waktu akan menemui ketidak-berfungsiannya.
Maka dari itu, kita harus terus berusaha dan
berdoa, memohon kepada Allah agar terjauhkan dari kesombongan merasa “paling
benar”, “paling beruntung”, dan “paling malang.” Pertanyaannya, bisakah kita
melakukannya? Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar