Tanggapi
Bonus Demografi dengan Perbaikan EODB
Oleh:
Bambang Soesatyo
ERA disrupsi telah mengubah karakter permintaan dunia kerja. Sekarang dan di kemudian hari, perubahan itu menghadirkan tantangan bagi generasi Z. Maka itu, mewujudkan kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) pada era terkini hendaknya menjadi kepedulian sekaligus pekerjaan bersama, karena sektor bisnis sepanjang era disrupsilah yang memberi gambaran tentang profil pekerja yang dibutuhkan.
Pernyataan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin patut digarisbawahi oleh semua pihak. Ketika memberi sambutan pada forum wisuda STAI Salahudin Al Alyubi di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Minggu (26/1), Wapres mengingatkan, saat ini masih banyak sarjana belum terserap lapangan kerja. "Hal ini akibat tidak jelinya lembaga pendidikan menangkap kebutuhan pasar kerja," katanya.
Padahal,
kata dia, kebutuhan tenaga kerja andal masih tinggi seiring pertumbuhan
industri di Indonesia. Namun, menurut Wapres, saat ini yang dibutuhkan industri
ialah tenaga kerja yang memiliki kompetensi sesuai kebutuhan industri, bukan
tenaga kerja tanpa keahlian. Jika harus dielaborasi lebih jauh, dapat
dijelaskan bahwa Wapres secara tidak langsung mengingatkan lagi bahwa sektor
bisnis dan industri dengan dunia kerja tidak bisa dipisahkan karena keduanya
saling melengkapi. Ketika sektor bisnis dan industri berevolusi pada era
disrupsi atau era Industri 4.0 sekarang ini, evolusi itu mengubah standar
kualifikasi dan kompetensi pekerja.
Ekstremnya, standar kualifikasi dan kompetensi pekerja yang dibutuhkan bisnis dan industri era terkini tidak sama lagi dengan permintaan abad sebelumnya. Perubahan itu selayaknya juga ditanggapi oleh dunia pendidikan yang perannya tentu saja sangat signifikan dalam pembangunan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Beberapa perusahaan dalam negeri sudah beradaptasi dengan perubahan itu. Perusahaan-perusahaan dimaksud mengimplementasikan proses produksi dengan teknologi terkini, seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Augmented Reality (AR), Advanced Robotics, hingga 3D Forming . Contoh-contoh perubahan seperti ini diharapkan bisa menginspirasi sekaligus mendorong dunia pendidikan melakukan pembaruan kurikulum sebagai bagian dari proses adaptasi.
Ada beberapa studi atau kajian oleh lembaga kredibel yang mengingatkan tentang perubahan kualifikasi dan kompetensi pekerja di era Industri 4.0 dan sesudahnya. Sebutlah hasil kajian oleh Boston Consulting Group tentang masa depan industri di Jerman. Hasil kajian ini mengindikasikan adanya peningkatan signifikan, bahkan hingga 96%, akan kelompok pekerja bidang penelitian dan pengembangan (R&D) dan kelompok pekerja dengan keahlian pengembangan perangkat lunak (software ). Kajian lainnya mengindikasikan munculnya sejumlah pekerjaan baru yang terkait dengan pengembangan IoT, seperti professional triber , cloud architect , industrial network engineer, machine learning scientist, platform developer, virtual reality design, remote health care, robotics specialist, hingga cyber security analyst.
Indonesia harus bersungguh-sungguh melakoni proses adaptasi menuju perubahan dimaksud. Sebab, pada era yang sama, Indonesia akan mencatatkan bonus demografi. Pada periode bonus demografi itu, total penduduk Indonesia akan didominasi oleh sebagian generasi milenial dan semua komponen generasi Z. Artinya, kalau generasi milenial dan generasi Z bisa difasilitasi oleh negara untuk mampu menanggapi perubahan, bonus demografi akan menjadi sumber kekuatan.
Sebaliknya, jika mereka gagal menanggapi perubahan—misalnya karena berstatus sebagai angkatan kerja yang tidak punya kompetensi—bonus demografi itu justru menjadi sumber masalah yang amat sangat serius. Generasi Z usia produktif namun berstatus pengangguran karena tidak punya kompetensi. Keadaan yang demikian itu pada gilirannya akan membuat rapuh ketahanan nasional. Maka itu, negara wajib memfasilitasi persiapan orang muda untuk menanggapi perubahan itu.
Namun, mendorong generasi milenial dan generasi Z bersiap menanggapi perubahan sepanjang era Industri 4.0 dan sesudahnya tidaklah cukup untuk membuat perekonomian negara tetap kokoh. Persoalan berikutnya adalah pertanyaan tentang bagaimana kesiapan pemerintah serta sektor bisnis dan industri di dalam negeri? Sektor bisnis dan industri tidak punya pilihan selain harus beradaptasi dan mengimplementasikan semua perubahan dalam proses produksi, distribusi, hingga pemasaran. Kalau menolak beradaptasi, entitas bisnis itu nanti hanya akan menjadi fosil dan punah.
Faktor Regulator Demikian pula dengan birokrasi negara atau pemerintahan. Era disrupsi pada gilirannya akan mengubah sistem serta merombak tatanan lama. Karena itu, tidak ada pilihan bagi birokrasi pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk beradaptasi dan melakukan perubahan, termasuk perubahan perilaku atau etika. Sebab, pada akhirnya, birokrasi pemerintah bersama sektor bisnis dan industri akan sampai pada satu titik yang sama, yakni kesadaran untuk saling mendukung dan melengkapi. Apalagi peran dan fungsi birokrasi adalah regulator. Dari kesadaran itu akan muncul kemauan bersama untuk mewujudkan kemudahan berbisnis atau EODB itu.
Jika tidak dimulai, tidak ada investor yang berminat membangun bisnis di Indonesia. Padahal dari investasi-investasi baru itulah akan dimunculkan perubahan-perubahan dalam proses produksi, distribusi, hingga pemasaran, yang harus ditanggapi dengan cermat oleh angkatan kerja. Sudah sejak lama para pebisnis atau calon pebisnis merasakan betapa tidak mudahnya membangun dan memutar roda bisnis di dalam negeri.
Membangun bisnis baru sulit karena sejumlah persyaratan harus dipenuhi dalam suatu proses perizinan yang berbelit dan tumpang tindih. Kesulitan yang sama juga dirasakan ketika sebuah entitas bisnis ingin ekspansi. Di tingkat pusat sudah setuju, di tingkat daerah dimentahkan oleh pejabat daerah dengan peraturan daerah (perda) yang dirancang tanpa menghiraukan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Biaya perizinan menjadi mahal dan waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. Ketika masuk tahap pembiayaan, pebisnis dihadapkan pada fakta tentang tingginya suku bunga kredit modal kerja hingga mahalnya biaya sewa kantor dan harga energi. Gambaran yang didapat kemudian adalah biaya produksi yang tinggi alias tidak efisien, dengan akibat lanjutannya adalah produk yang tidak kompetitif di pasar.
Potret tentang sulitnya membangun bisnis di dalam negeri ini layak disebut sebagai masalah yang sudah sangat akut, karena sudah terbentuk sejak dekade 80-an. Keluh kesah pebisnis muda sekarang masih sama dengan keluhan para seniornya pada dekade-dekade sebelumnya. Akibatnya, hingga tahun 2020 ini sektor bisnis dalam negeri tidak banyak melahirkan profil pengusaha baru.
Kecenderungan ini terbentuk karena iklim bisnis di dalam negeri belum cukup bersahabat. Peluang banyak, tetapi hambatannya pun tidak sedikit. Mulai dari birokrasi korup yang lebih mementingkan uang suap, faktor-faktor produksi yang mahal, hingga pasar yang sarat dengan barang selundupan.
Ketika Presiden Joko Widodo berinisiatif melakukan perbaikan, ternyata memang tidak mudah. Semua pemerintah daerah diimbau untuk mengharmonisasi semua perda dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Imbauan ini tidak direspons sehingga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2016 membatalkan dan merevisi 3.143 perda. Sayangnya, wewenang Kemendagri mengeliminasi perda bermasalah itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
MK mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang diajukan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan sejumlah pihak. Keputusan MK itu memang tak boleh dipersoalkan. Tapi, tetap saja menyisakan masalah. Sebab, dalam konteks kepentingan yang lebih besar dan strategis, masalah atau urgensi harmonisasi peraturan pusat dengan daerah tidak selesai dengan sendirinya. Konsekuensinya, EODB tetap sulit diwujudkan. Tanpa perbaikan indikator EODB, sulit untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Potensi daerah bisa terbengkelai karena tidak adanya investor yang berminat.
Kini, pemerintah bersama DPR menggodok RUU Cipta Lapangan Kerja dengan metode omnibus. Pemerintah dan semua elemen masyarakat layak untuk berharap UU ini bisa mendatangkan lebih banyak investasi baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. RUU Cipta Lapangan Kerja ini hendaknya dilihat sebagai ikhtiar untuk mengatasi berbagai hambatan di bidang ekonomi, terutama investasi. Realisasi investasi baru harus terus dipacu agar tersedia banyak lapangan kerja baru.
Target ini harus bisa diwujudkan agar negara ini tidak dirundung masalah besar akibat bonus demografi. Sebagaimana telah dipaparkan oleh para ahli, Indonesia akan menikmati bonus demografi sepanjang periode 2020-2035. Selama periode ini, peran kelompok usia produktif sangat dominan, dan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, jangan lupa, kompetensi generasi Z harus mulai dibangun sejak sekarang. []
KORAN
SINDO, 28 Januari 2020
Bambang
Soesatyo | Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar