Meluruskan Makna Jihad (29)
Contoh Penerapan "Sabab Nuzul" (1)
Oleh: Nasaruddin Umar
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan
mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu. (Q.S. al-Baqarah (2): 120).
Jika ayat tersebut dipahami tanpa memahami sabab nuzul-nya, maka
pengertian dan sikap yang bisa muncul ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani selalu
diklaim sebagai faktor pemicu konflik, karena itu umat Islam harus betul-betul
bersikap hati-hati dan defensif terhadap mereka. Kecurigaan selalu muncul bahwa
mereka selalu menjadikan komunitas muslim sebagai target kristenisasi atau
yahudisasi. Akibatnya umat Islam gampang terpancing.
Padahal, konteks ayat tersebut di atas turun untuk menanggapi
suatu peristiwa khusus, sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat. Pertama,
kaum Yahudi Madinah dan Nasrani Najran meminta Nabi Muhammad untuk menghentikan
peperangan di antara mereka. Mereka menyatakan siap untuk mengikuti ajakan
Nabi, namun sikap itu lebih merupakan suatu taktik ketimbang sebagai tujuan,
maka turunlah ayat itu untuk mengingatkan Nabi. (Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, Juz I,
hal. 294).
Kedua, Ibnu Abbas menyebutkan bahwa ayat itu berkaitan dengan
peralihan arah kiblat. Menurutnya, Yahudi Madinah dan Nasrani Najran memohon
kepada Nabi Muhammad agar salat dengan menghadap kiblat mereka (ke arah
Palestina). Pasalnya, setelah Allah mengalihkan arah kiblat ke Kabah, mereka
merasa kesulitan dan kecewa dalam usaha menyamakan arah kiblat mereka dengan
agama yang diemban Nabi. Atas dasar itu, turunlah ayat tersebut. (Jalaluddin
Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Asbabun
Nuzul, Kairo: Dar at-Tahrir li at-Thab' wa an-Nasyr, 1382 H, h.
18).
Ketiga, Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
yang paling awal di-nasakh
dalam al-Quran adalah kiblat. Pada waktu itu, Rasulullah ketika hijrah ke
Madinah yang mayoritas penduduknya adalah Yahudi, kemudian Allah memerintahkan
Nabi menghadap ke Baitul Muqaddas. Untuk itu, kalangan Yahudi bergembira.
Padahal, Nabi sangat menginginkan untuk menghadap Kabah yang merupakan kiblat
Nabi Ibrahim.
Namun, selama beberapa bulan (dalam sebuah riwayat selama enam
belas bulan), beliau menghadap ke Baitul Muqaddas. Suatu saat, beliau
menengadahkan pandangannya ke langit seraya berdoa dan turunlah ayat fawallu wujuhakum syathrah
--hadapkanlah mukamu ke arah Kabah. Al-Alusi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa
Nabi Muhammad tidak bermohon untuk itu, tetapi hanya menanti kapan saatnya
peralihan arah kiblat tersebut.
Sa'id Hawa' menegaskan bahwa peralihan kiblat tersebut ditopang
oleh dua motif; pertama, kecintaan Rasul SAW untuk menghadap Kabah; kedua, untuk
membedakan dengan (kiblat) Yahudi. (Sa'id Hawa', al-Asas fii at-Tafsir, Jilid I, hal. 310).
Batasan atau
ghayah dalam ayat di atas, yaitu "hingga engkau mengikuti
agama mereka," merupakan kinayah
(tidak menyebutkan secara tegas apa yang dimaksud, tetapi menyebut sesuatu yang
lain yang dapat mengantar kepada apa yang dimaksud). Muhammad Sayyid Thanthawi
mengatakan bahwa redaksi ini menggambarkan keputusasaan menyangkut kemungkinan
sebagian Ahlu Kitab
memeluk Islam. (Sayyid Muhammad Thanthawi, at-Tafsir
al-Wasith li al-Qur'an al-Karim, Jilid I, hal. 262).
Atas dasar itu, ayat ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa Ahlu Kitab berusaha untuk
meng-nasrani-kan umat Islam. Ataupun me-yahudi-kan, karena Yahudi bukanlah
agama misi. (Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah, Vol. I, hal. 295). []
DETIK, 11 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar