Iran dalam
Gelora dan Semangat Revolusi 1979
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Tanggal
11 Februari merupakan momen bersejarah bagi warga Iran. Empat puluh satu tahun
yang lalu, mereka berhasil menumbangkan rezim otoriter Reza Shah Pahlevi yang
saat itu menjadi kaki tangan AS dan Israel, tepatnya pada 1979. Mereka
menjadikannya hari dan tahun itu sebagai momen kebangkitan dan pembaruan menuju
Iran yang berdaulat berdasarkan spirit Islam ala Nabi Muhammad SAW dan Ahlul Bait,
keluarga Nabi. Pada masa itu dikenal dengan istilah Revolusi Islam Iran.
Kini,
Iran berdiri tegak dan kokoh di tengah tekanan, sanksi, dan fitnah yang datang
bertubi-tubi dari berbagai penjuru dunia. Bahkan Iran mampu meneguhkan perannya
yang semakin luas, baik dari segi politik, ekonomi, sains, dan kebudayaan.
Gaung revolusi yang digelorakan Ayatullah Imam Khomeini sejak 1979 lalu terus
bergelora hingga saat ini di masa kepemimpinan Ayatullah Ali Khamenei.
Ada tiga
poin penting yang disampaikan oleh Imam Khomeini dalam menggaungkan Revolusi
1979. Pertama, prinsip "la syarqiyyah wa la gharbiyyah" dalam
politik luar negeri. Iran menggunakan prinsip non-blok, tidak berpihak kepada
Barat dan Timur dalam menyikapi dua kekuatan besar dunia yang sedang berseteru
saat itu.
Konon,
Imam Khomeini mendapatkan inspirasi non-blok itu dari Bung Karno. Intinya, Iran
ingin bersaudara dengan siapapun selama dibangun di atas prinsip saling
menghormati kedaulatan negara masing-masing. Kesepakatan nuklir antara Iran dan
AS pada kepemimpinan Obama menjadi bukti bahwa Iran mau menyelesaikan
perseteruan melalui meja perundingan. Tapi semua itu harus dilakukan dengan
prinsip kesetaraan dan keadilan, bukan penindasan dan dominasi.
Iran
memahami persaudaraan dan persatuan merupakan prasyarat untuk membangun dunia
yang berkeadilan. Intervensi yang dilakukan AS sejak berdirinya Israel pada
1948 telah melahirkan perpecahan, penindasan, dan ketidakadilan di kawasan
Timur-Tengah dan dunia Islam. Sebab itu, Iran memilih untuk berdiri di tengah,
non-blok, agar bisa menyuarakan kebenaran dan kebajikan pada dunia.
Kedua,
membumikan ajaran Nabi Muhammad SAW dalam realitas politik. Dalam lintasan
sejarah Islam, upaya untuk membumikan ajaran Nabi dalam realitas politik
cenderung direduksi pada upaya memanipulasi ajaran untuk tujuan politik,
sebagaimana dilakukan kaum Khawarij dalam doktrin hakimiyyatullah (kedaulatan
Tuhan).
Imam Ali
bin Abi Thalib selalu mengingatkan kita bahwa langkah Khawarij itu hanya klaim
kebenaran dan penuh kebatilan di dalamnya (kalimatu haqqin yuradu bihal bathil). Wajah
substansial ajaran Nabi Muhammad SAW yang sejatinya lebih mengemuka, seperti
pengembangan ilmu pengetahuan, kasih-sayang, penghormatan pada kaum perempuan,
dan lain-lain.
Sebagai
negara yang mayoritas penduduknya menganut Syiah Imam Duabelas, maka wajar saja
Iran selalu merujuk dan menjadikan ajaran Nabi dan keluarganya sebagai pijakan
dalam ranah politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Di samping juga merujuk
pada sumber-sumber Islam lainnya dari kalangan Sunni yang meneguhkan ajaran
Nabi Muhammad SAW.
Maka dari
itu, di Iran saat ini ada sekitar 6.000 masjid yang dikelola oleh kaum Sunni.
Di samping ada Kristen Ortodoks, Zoroaster, dan Yahudi. Uniknya, orang-orang
Yahudi Iran adalah orang-orang yang memilih untuk tidak eksodus ke Israel.
Mereka mendapatkan hak istimewa di parlemen Iran dengan mendapatkan wakil
khusus tanpa melalui proses pemilihan.
Itulah
wajah Islam Iran yang ramah pada kebhinnekaan agama-agama dan mazhab. Sebab
esensi dari ajaran Nabi Muhammad SAW adalah persaudaraan sesama umat seagama
dan persaudaraan sesama umat manusia, ciptaan Tuhan.
Ketiga,
meneguhkan keberpihakan pada kaum tertindas, khususnya Palestina sebagai
satu-satunya negara yang dizalimi sejak kedatangan Israel ke tanah mereka. Imam
Khomeini menjadikan hari Jumat setiap akhir bulan Ramadhan sebagai hari al-Quds
(yawm
al-quds) supaya kita selalu mengingat dan memperjuangkan
kemerdekaan dan kedaulatan Palestina.
Iran
merupakan negara yang konsisten membela Palestina serta memfasilitasi gerakan
perlawanan terhadap Israel. Masjid al-Aqsha adalah kota suci umat Islam yang
harus dilindungi, dan Palestina akan menjadikannya sebagai ibu kota saat
merdeka nanti.
Setelah
41 tahun revolusi Islam Iran digemakan, manifesto politik Imam Khomeini masih
berkobar, bahkan semakin kuat. Iran memilih untuk berdaulat dalam politik,
berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Iran berutang
budi pada Bung Karno, karena telah mendapatkan inspirasi luar biasa untuk
membangun negaranya. Sebab itu, kalau kita berkunjung ke Iran, saat kita
dikenal sebagai warga Indonesia, maka sosok yang disebut pertama kali adalah
Bung Karno.
Iran
telah memetik buah dari konsistensinya. Dari segi politik, Iran membuktikan
stabilitas politik di tengah gejolak dan gelombang politik yang tidak menentu
di kawasan Timur-Tengah. Pemilihan Presiden dan Parlemen berlangsung dengan
skedul demokrasi. Tidak bisa dielakkan bahwa Iran merupakan satu-satunya negara
di Timur-Tengah dalam 40 tahun terakhir berhasil menggelar pergantian kekuasaan
eksekutif dan legislatif melalui proses yang demokratis.
Dari
sektor sains, Iran berhasil melakukan lompatan sains yang luar biasa dengan
menggalakkan penemuan-penemuan baru dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Investasi Iran dalam sektor ini sangat serius, sehingga eksistensinya semakin
diakui dan dihormati negara-negara Barat sekalipun. Kemampuan Iran
mengembangkan teknologi nuklirnya telah menyadarkan negara-negara Barat, bahwa
Iran tidak bisa dilihat sebelah mata, karena dapat mengancam dominasi mereka,
khususnya di kawasan Timur-Tengah.
Dari segi
kebudayaan, Iran berada di garda terdepan dalam menjaga khazanah kebudayaan
yang sangat luar biasa. Iran mampu membuktikan pada dunia bahwa mereka
merupakan salah satu peradaban terbesar di dunia. Di samping itu, Iran mampu
melahirkan film-film, musik, dan kesenian lainnya yang bisa bersaing dengan
kebudayaan-kebudayaan populer di berbagai belahan dunia.
Dari segi
ekonomi, Iran diembargo AS dan sekutu-sekutunya 1979. Meskipun demikian, Iran
tidak mundur dan ciut sedikit pun dengan keangkuhan AS. Iran justru mampu
melakukan pembangunan infrastruktur dan mencari jalan keluar yang efektif bagi
kemandirian ekonomi. Iran percaya dengan persatuan dan kesadaran kolektif untuk
membangun kemandirian ekonomi akan mampu keluar dari terorisme ekonomi AS.
Maka dari
itu, Iran masa kini merupakan Iran dalam tahap kematangan. Iran yang hidup
dalam kesadaran penuh terhadap ancaman dan upaya-upaya yang hendak merongrong
posisinya. Menurut Ayatullah Ali Khamenei, Iran menyadari bahwa AS dan
sekutunya kerap menggunakan kartu minyak untuk melemahkan posisi Iran.
Karenanya, Iran harus terus menggalakkan sektor sains dan riset untuk mendorong
percepatan ekonomi di masa mendatang. Kata kunci yang ingin dikembangkan oleh
Iran adalah sumber daya manusia dan sains.
Peristiwa
kemartiran Qassem Soleimani yang didalangi langsung oleh Presiden AS Donald
Trump justru menjadi momentum yang luar biasa bagi Iran untuk terus bangkit dan
membuktikan kemampuan Iran menghadapi musuh-musuhnya. Kemampuan rudal-rudal
Iran menghancurkan pangkalan militer AS di Irak telah menjadi berita besar di
dunia bahwa Iran menjadi negara yang berdaulat dengan kecanggihan persenjataan
militernya. Lebih dari itu, Iran semakin solid dan kokoh di bawah kepemimpinan
Ayatullah Ali Khamenei sebagai pemegang mandat revolusi, wilayatul faqih.
Iran Masa
Kini dirayakan dengan gegap-gempita pada tanggal 11 Februari yang lalu di
seantero Iran di bawah rintik-rintik turunnya salju. Ada tantangan dan ancaman
dari AS dan sekutunya, tetapi mereka tidak perlu takut dan minder. Iran telah
memilih jalannya sendiri untuk menentukan arah negerinya. Dan mereka meyakini,
hari ini dan hari esok penuh dengan harapan, kecerahan, dan kebahagiaan. []
DETIK, 13 Februari 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik
Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar