Kamis, 27 Februari 2020

(Ngaji of the Day) Puasa Syariat dan Puasa Tarekat Syekh Abdul Qadir al-Jilani


Puasa Syariat dan Puasa Tarekat Syekh Abdul Qadir al-Jilani

Dalam memandang puasa, Syeikh Abdul Qadir al-Jilani membaginya dalam dua kategori, shaum al-syarî’ah (puasa syariat) dan shaum al-tharîqah (puasa tarekat), atau bisa juga disebut sebagai “puasa berstandar fiqih” dan “puasa berstandar tasawuf”. Syeikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa puasa syariat adalah:

أَن يمسك عن الْمأكولات والمشروبات وعن وقاع النساء في النهار

“Menahan diri dari makanan, minuman, dan bersetubuh di waktu siang.” (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar, Damaskus: Darul Sanabil, 1994, h. 112).

Dari sudut pandang syariat, yang membatalkan puasa—secara umum—hanya makan, minum dan bersetubuh di siang hari. Selama bisa menahan diri dari tiga hal tersebut, puasa kita sah dalam sudut pandang fiqih. Hal ini berbeda dengan puasa tarekat. Syeikh Abdul Qadir mengatakan:

أن يمسك عن جميع أعضائه المحرّمات والمناهي والذمائم مثل العُجب والكبر والبخل وغير ذلك، ظاهر وباطنا، فكلُها يبطل صوم الطريقة

“Menahan seluruh anggota tubuhnya dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan dilarang, menjauhi sifat-sifat tercela seperti ujub, sombong, kikir dan selainnya secara lahir dan batin. Setiap melakukan hal-hal tersebut membatalkan puasa tarekatnya.” (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar, 1994, h. 112).

Perbedaan mendasarnya terletak pada titik berat puasa tarekat yang lebih luas dari puasa syariat. Hal-hal yang membatalkannya pun lebih beragam, tidak seperti puasa syariat. Selama seseorang berhasil memenuhi syarat dan rukunnya, tidak melanggar tiga larangan seperti yang disebutkan di atas, puasanya sah secara fiqih, meskipun dia menggunjing, marah, pelit, dan sombong. Tapi tetap saja, dia mendapatkan dosa dari perbuatannya itu. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai beliau bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ

“Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar, dan betapa banyak orang yang bangun malam (untuk beribadah) yang tidak mendapatkan dari bangun malamnya kecuali begadang.” (HR Imam Ibnu Majah)

Puasa tarekat memasukkan karakter negatif manusia dalam daftar pembatalan puasanya. Namun, perlu diingat, sistem pembatalan puasa tarekat tidak berimplikasi langsung terhadap batalnya puasa menurut fiqih. Sebab, puasa tarekat bermain di wilayah “tazkiyatun nufûs—penjernihan diri” atau “tashfiyyatul qulûb—pembersihan hati,” yang bisa disebut dengan pembangunan spiritual. Wilayah yang digarap puasa tarekat adalah efek daripada pelaksanaan puasa itu sendiri, apa puasa sekadar ibadah tahunan dengan iming-iming pahala yang melimpah, atau sebuah proses perbaikan diri yang berkelanjutan. Sederhananya begini, puasa dalam perspektif tasawuf (tarekat) bisa dianggap sebagai “saringan” bagi pengamalnya, yang semula dipenuhi dengan kebencian, setelah menjalankan ibadah puasa, kebenciannya perlahan-lahan berkurang. Begitu pula dengan karakter-karakter negatif lainnya.

Perbedaan lainnya adalah perihal waktu. Puasa syariat ditentukan waktunya atau mempunyai waktu tertentu (muwaqqat), sedangkan puasa tarekat tidak mempunyai waktu tertentu (muabbad fi jamî’i ‘umrih—sepanjang hidup manusia). (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar, 1994, hlm 112). Karena puasa tarekat adalah puasa jiwa, sehingga tidak terikat dengan bulan, waktu atau jarak tertentu. Ketika pengamalnya mulai berlaku sombong atau melakukan perbuatan yang diharamkan, puasanya batal secara tarekat.

Hal menarik lainnya dari puasa tarekat adalah masuknya, “menahan seluruh anggota tubuh dari melakukan perbuatan yang diharamkan,” sebagai salah satu perilaku yang membatalkan puasa. Ini menarik, karena dapat membuat orang yang menjalankan puasa tarekat menghindari sekuat tenaga perbuatan-perbuatan yang diharamkan agama, hingga timbul anggapan bahwa menahan diri dari hal-hal tersebut tidak kalah pentingnya dengan menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh ketika berpuasa. Apalagi pengamalan puasa tarekat tidak terbatasi oleh waktu tertentu. Artinya, jika semua orang berhasil mengamalkannya, maka keseimbangan antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial bukan sekadar isapan jempol belaka. 

Kemudian Syeikh Abdul Qadir al-Jilani mengutip hadits Qudsi dalam kitabnya, Sirr al-Asrâr, yang mengatakan:

يَصيْرُ لِلْصائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ الْإِفْطَارِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ رُؤْيَةِ جَمَالِي

“Ada dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa: (1). Ketika berbuka, dan (2). Ketika melihat Allah (makna ahli hakikat).”

Para ahli syariat (fiqih) menafsirkan hadits qudsi tersebut sesuai makna dasarnya, bahwa yang dimaksud dengan “farhah ‘inda al-ifthâr—kebahagian ketika berbuka” adalah makan ketika matahari tenggelam (al-akl ‘inda ghurûb al-syams) dan yang dimaksud dengan “farhah ‘inda ru’yah jamâlî—kebahagiaan melihat jamâlî” adalah melihat hilal di malam idul fitri (ru’yah al-hilâl fi lailah al-‘îd) (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar, 1994, h. 113).

Sementara para ahli hakikat menafsirkan hadits di atas dengan makna yang lebih dalam, bahwa kebahagiaan ketika berbuka adalah kebahagiaan memasuki surga dengan memakan banyak kenikmatan di dalamnya (dukhûl al-jannah bi al-akl mimmâ fîhâ min al-na’îm), dan kebagiaan yang kedua benar-benar dimaknai dengan kabahagiaan bertemu Allah di hari kiamat (liqâ’ Allah yaum al-qiyâmah) (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar, 1994, h. 113).

Kesimpulannya, dalam berpuasa kita harus mempertimbangkan aspek ruhaniah juga, tidak sekadar melihat mana yang membatalkan puasa dan mana yang tidak secara hukum. Boleh jadi puasa kita sah secara hukum karena berhasil menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh di waktu siang. Namun, apakah kita benar-benar berhasil mengambil manfaat puasa untuk hidup kita, dan melestarikan penahanan diri dari hal-hal yang dilarang sepanjang hidup kita, tidak hanya di bulan suci Ramadan saja. Wallahu a’lam bish shawwab. []

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus Kritig, Petanahan, Kebumen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar