Salah
Kaprah soal Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah
Kenyataan bahwa
hingga saat ini masih ada sekelompok umat Islam yang gigih memperjuangkan
khilafah menunjukkan kesalahapahaman dalam menerjemahkan bentuk negara dalam
Islam. Khilafah diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir, dan juga ISIS yang berupaya
membentuk kekhilafahan di Irak dan Suriah. Islamic state atau negara Islam
menjadi tujuan utama perjuangan mereka. Namun, kondisi nyata di mana mereka
melakukan kekerasan, teror, dan pembunuhan dalam memperjuangkan khilafah
menjadi tanda tanya besar, benarkah sistem khilafah atau daulah Islamiyah
seperti itu yang mereka perjuangkan?
Mendasarkan diri pada
sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW, keyakinan bahwa khilafah bakal terlahir
kembali hanya dibaca secara tekstual, leterlek. Seperti kalimat khilafah ‘ala
minhajin nubuwwah (khilafah yang menempuh jejak kenabian) dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Hadits yang menjelaskan potongan kalimat
tersebut masih diperdebatkan statusnya. Ada yang mengatakan shahih, hasan, dan
dhaif (lemah).
Berikut bunyi terjemahan
hadits dimaksud, “Adalah masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian,
adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki
untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa khilafah yang menempuh jejak kenabian
(khilafah ‘ala minhajin nubuwwah) adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah
mengangkatnya (menghentikannya) apabila ia menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adhdhon) adanya atas
kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia mengehendaki untuk
mengangkatnya. Kemudian adalah masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah)
adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki
untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa khilafah yang menempuh jejak
kenabian. Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR Imam Ahmad)
Khamami Zada dalam
Meluruskan Pemahaman Keagamaan Kaum Jihadis (2018) menjelaskan bahwa terlepas
dari perbedaan para ahli hadits tentang status hadits di atas, khilafah ‘ala
minhajin nubuwwah tidak dapat diartikan secara leterlek atau apa adanya, bahwa
akan muncul khilafah yang sesuai dengan manhaj kenabian. Akan tetapi, khilafah
di sini ialah salah satu bentuk negara yang dipraktikkan oleh umat Islam, baik
bentuknya imamah, imarah, maupun mamlakah (kerajaan) dan syura (republik).
Terlihat di sini
bahwa makna khilafah bukan dalam artian mendirikan negara Islam atau daulah
Islamiyah. Ia lebih pada arti sistem pemerintahan. Jika sebuah sistem
pemerintahan dapat membawa rakyat pada kondisi aman, adil, makmur, dan
sejahtera, maka itulah sesungguhnya penerapan khilafah ‘ala minhajin
nubuwwah. Karena sistem pemerintahan yang menempuh jejak kenabian ialah
berdasarkan kebersamaan dan keadilan bagi semua bangsa dalam perjanjian dan
kesepakatan yang termaktub dalam 47 pasal Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah)
untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Mitsaq al-Madinah
menjadi bukti otentik dalam sejarah peradaban Islam bahwa negara pertama yang
didirikan Nabi Muhammad SAW ialah negara Madinah, negara kesepakatan atau
perjanjian (Darul Mitsaq), bukan negara Islam, bukan daulah Islamiyah atau
khilafah dalam pandangan kelompok Hizbut Tahrir dan ISIS. Dengan demikian,
tidak otomatis khilafah ISIS atau kampanye khilafah Hizbut Tahrir adalah khilafah
‘ala minhajin nubuwwah. Karena justru yang dilakukan kelompok ISIS mencederai
nilai-nilai ajaran Islam yang menjunjung tinggi kasih sayang terhadap sesama.
Mereka mengangkat senjata, menumpahkan darah, dan tidak segan-segan membantai
kelompok mana pun yang berbeda pandangan serta tidak mengikuti daulah yang
ingin didirikannya.
Begitu juga dengan
khilafah yang terus didengungkan oleh Hizbut Tahrir. Dalam konteks Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kelompok Hizbut Tahrir justru ingin
mengubah dasar negara dengan menolak Pancasila dan segala sistemnya. Layaknya
Piagam Madinah, Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang disepakati oleh
para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia. Para pendiri bangsa di
antaranya terdiri dari para ulama dan aktivis Islam. Mereka paham agama dan
fiqih siyasah sehingga negara berdasarkan Pancasila tidak menyalahi syariat
Islam. Justru syariat dan nilai-nilai Islam menjadi jiwa bagi Pancasila.
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial merupakan
nilai-nilai universal Islam yang terkandung dalam Pancasila.
Jika khilafah ‘ala
minhajin nubuwwah diterjemahkan sebagai sistem pemerintahan yang mengikuti
jejak kenabian, Indonesia merupakan negara yang mempraktikkannya. Ukurannya
bisa dilihat bahwa Nabi Muhammad mendirikan negara kesepakatan (Darul Mitsaq)
bersama umat beragama, suku, dan kabilah-kabilah di Madinah berdasarkan Piagam
Madinah (Mitsaq al-Madinah). Serupa, Indonesia juga mempunyai konsensus
kebangsaan atau kesepakatan seluruh bangsa yang mendiami tanah air Republik
Indonesia berupa Pancasila. Seluruh bangsa yang ada di dalamnya, tak
terkecuali, dilindungi oleh negara selama mereka tidak melanggar kesepakatan
dan tidak melanggar hukum yang berlaku secara norma, etika, dan legal.
Tentu saja penulis
tidak bermaksud membandingkan atau menyamakan antara produk kesepakatan Nabi
Muhammad dalam Piagam Madinah dengan para ulama Indoensia dalam Pancasila.
Ulama Indonesia hanya mengambil inspirasi dari praktik pendirian negara Madinah
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Di sini, Nabi hanya memberikan inspirasi
kepada umat Islam bagaimana membangun sistem pemerintahan Islami berdasarkan
kesepakatan bersama warga bangsa. Kendati demikian, Islam tetap menjiwai
praktik kepemimpinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad kala itu.
Pertanyaannya,
mengapa ada sekelompok umat Islam yang menggebu-gebu mendirikan khilafah dalam
artian negara Islam? Sedangkan Nabi Muhammad tidak pernah mempraktikkan
pendirian negara Islam. Celakanya lagi, ada orang-orang Islam yang memaknai
bahwa negara khilafah adalah ajaran Islam. Pandangan ini bukan hanya salah
kaprah dan leterlek, tetapi gagal paham soal khilafah. Karena khilafah hanya
‘ijtihad politik’ para pemimpin Muslim sepeninggal Nabi Muhammad. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar