Hukum Khutbah Jumat tanpa
Shalawat Nabi
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb. Redaksi NU Online, belakangan khutbah Jumat tanpa pembacaan shalawat nabi menjadi perbincangan masyarakat karena dilakukan oleh pejabat agama di masjid nasional, entah karena sengaja atau tidak. Bagaimana sebenarnya kedudukan shalawat nabi dalam Islam? Demikian kami sampaikan, atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Lukman Hakim – Bogor
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb. Penanya dan pembaca
yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Perihal
kedudukan shalawat nabi dalam khutbah Jumat, tidak ada keseragaman pendapat di
kalangan ulama.
Yang kami garis bawahi, pandangan ulama
terbelah dua. Sebagian ulama memasukkan shalawat nabi sebagai rukun khutbah.
Sementara sebagian ulama lainnya tidak menganggap shalawat nabi sebagai rukun
khutbah.
Ulama yang memanggap shalawat nabi sebagai
rukun khutbah Jumat adalah Mazhab Syafi’i dan mayoritas Mazhab Hanbali.
Sebagaimana kita tahu, penduduk Indonesia bermazhab Syafi’i yang tentu ingat akan
lima rukun khutbah Jumat, termasuk shalawat nabi. Sedangkan Mazhab Hanbali
mewajibkan shalawat nabi dalam khutbah Jumat karena asma Allah disebut dalam
khutbah sebagaimana keterangan ulama mazhab Hanbali, Syekh Ibnu Qudamah berikut
ini:
وَالصَّلَاةُ
عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ
بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ } . وَإِذَا وَجَبَ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى ،
وَجَبَ ذِكْرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا رُوِيَ فِي
تَفْسِيرِ قَوْله تَعَالَى
: { أَلَمْ
نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ } { وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ } قَالَ : لَا
أُذْكَرُ
إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي
Artinya, “(Khutbah disyaratkan)…membaca
shalawat nabi karena Rasulullah bersabda, ‘Setiap sesuatu yang tidak diawali
dengan tahmid maka ia terputus.’ Karena wajib menyebut asma Allah, maka dalam
khutbah seorang khotib wajib menyebut nama nabi sesuai tafsir Surat
Al-Insyirah, ‘Bukankah telah kami lapangkan dadamu dan kami angkat sebutanmu?’
lalu Allah mengatakan, ‘Tiada Aku disebut kecuali kau disebut bersama-Ku,’ ”
(Syekh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, [Riyadh, Daru Alamil Kutub: 1997
M/1417 H], cetakan ketiga, juz III, halaman 173-174).
Karena khutbah Jumat adalah tempat di mana
asma Allah disebut dan dipuji, maka di situ pula shalawat nabi wajib dilafalkan
seperti azan dan tasyahud. Tetapi mungkin juga shalawat nabi tidak wajib karena
Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menyebutkan dalam khutbahnya. (Ibnu Qudamah,
1997 M/1417 H: 174).
Adapun ulama yang tidak memasukkan shalawat
nabi sebagai rukun khutbah adalah mazhab Hanafi dan mayoritas mazhab Maliki.
Bagi mazhab Hanafi, khutbah Jumat cukup berisi lafal zikir sebagaimana perintah
umum Surat Al-Jumuah ayat 9, tanpa menyebut shalawat nabi secara spesifik. Ada
baiknya kita simak keterangan Syekh Ibnu Abidin, ulama terkemuka mazhab Hanafi
berikut ini:
قَوْلُهُ
: وَكَفَتْ تَحْمِيدَةٌ إلَخْ ) شُرُوعٌ فِي رُكْنِ الْخُطْبَةِ بَعْدَ بَيَانِ
شُرُوطِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَأْمُورَ بِهِ فِي آيَةِ - { فَاسْعَوْا } - مُطْلَقُ الذِّكْرِ الشَّامِلِ لِلْقَلِيلِ
، وَالْكَثِيرُ الْمَأْثُورُ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
يَكُونُ بَيَانًا لِعَدَمِ الْإِجْمَالِ فِي لَفْظِ الذِّكْرِ ( قَوْلُهُ مَعَ
الْكَرَاهَةِ ) ظَاهِرُ الْقُهُسْتَانِيِّ أَنَّهَا تَنْزِيهِيَّةٌ تَأَمَّلْ
Artinya, “(Perkataan “[khutbah] cukup dengan
membaca tahmid, tahlil, atau tasbih”) masuk penjelasan rukun khutbah setelah
penjelasan syaratnya. Pasalnya, perintah yang terkandung pada ‘fas‘au ila
dzikrillah’ (Surat Al-Jumuah ayat 9) hanya semata zikir baik sedikit maupun
banyak. Sedangkan riwayat dari Rasulullah perihal ini tidak menjadi penjelas
ketiadaan keumuman pada lafal ‘dzikr,’ (meski makruh) secara harfiah perkataan
Al-Quhustani bahwa ini terbilang makruh tanzih,” (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar
ala Durril Mukhtar, [Riyadh, Daru Alamil Kutub: 2003 M/1423 H], juz III,
halaman 20).
Khutbah sekurangnya berlangsung selama
pembacaan tiga ayat, menurut Al-Karkhi. Ada lagi yang bilang, minimal durasi
khutbah berlangsung “selama pembacaan tasyahhud mulai, ‘at-tahiyyatu lillahi’
hingga ‘abduhu wa rasuluh’ dengan niat khutbah Jumat. (Ibnu Abidin, 2003 M/1423
H: 20).
Adapun shalawat nabi dalam khutbah Jumat
bersifat sunnah, bukan rukun, menurut Mazhab Maliki. Ada pandangan minoritas
Mazhab Maliki yang menyebut shalawat nabi sebagai rukun. Tetapi pandangan ini
merupakan pendapat pinggiran di kalangan Mazhab Maliki.
وَأَمَّا
الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهِيَ
مُسْتَحَبَّةٌ كَالْقِرَاءَةِ فِيهَا وَالِابْتِدَاءِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ
Artinya, “Shalawat Nabi SAW (dalam khutbah)
merupakan sunnah sebagaimana bacaan di dalamnya dan pengawalan dengan ‘alhamdu
lillah,’” (Syekh Ali As-Sha’idi Al-Adawi, Hasyiyatul ‘Adawi, [Kairo, Al-Madani:
1987 M/1407 H], juz II, halaman 150).
Khutbah Jumat dinilai sah hanya samata
membaca Al-Qur’an yang mencakup peringatan dan kabar gembiran seperti Surat
Qaf. Tetapi sebagian ulama mengatakan sekurang-kurangnya khutbah berisi tahmid
dan shalawat nabi. Tetapi pandangan ini bertentangan dengan yang masyhur.
Pandangan ini lemah. Menurut pendapat muktamad, keduanya hanya sunnah.
(Al-Adawi, Kairo: 150).
Lalu bagaimana dengan kasus khutbah Jumat
tanpa pembacaan shalawat nabi? Kami menyarankan para khotib dan imam–siapa pun
dia–yang ingin mendemonstrasikan pandangan mazhab lain di luar Mazhab Syafi’i
yang menjadi pegangan mayoritas Muslim di Indonesia ketika praktik sebaiknya
menginformasikan lebih awal kepada pengurus masjid dan jamaah Jumat agar tidak
menimbulkan kegaduhan.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para
pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar