Bangsa
Besar, Mimpi Besar
Oleh:
Komaruddin Hidayat
CHINA,
India, Amerika, dan Indonesia merupakan negara dan bangsa yang besar. Sebagai
negara besar diperlukan proses dan perjuangan panjang serta berat untuk
melakukan konsolidasi dan memakmurkan rakyatnya. China dan Amerika yang
sekarang ini dipandang dua negara besar dan maju, butuh ratusan tahun untuk
menjaga dan memajukan negeri dan rakyatnya.
Amerika Serikat butuh 200.000 tahun untuk membangun kohesi negaranya dengan sistem demokrasi seperti yang kita lihat hari ini, dengan ongkos yang sangat mahal dan proses panjang. Begitu pun China, diperlukan tangan besi agar negara bangsa itu tidak pecah serta memiliki mental disiplin untuk bekerja dan belajar dengan keras gaya militeristik. Baru tiga dekade terakhir ini, China merasakan manisnya perjuangan panjang untuk memajukan dan memakmurkan rakyatnya.
Lalu,
bagaimana Indonesia? Bangsa ini sangat plural mirip Amerika dan India, dan
usianya masih sangat muda. Belum 100 tahun sejak kemerdekaannya. Perlu
kesadaran tinggi akan kemudaan kita dengan sekian jebakan sejarah yang
menghadang.
Kalau kita bertengkar terus hanya semata memperjuangkan ego pribadi dan kelompok, tidak mungkin kita maju. Negara lain yang lebih kuat akan menjadikan kita ini sebagai mainan dan sapi perah. Menjadi pangsa pasar yang ujungnya kehabisan daya beli. Lumpuh.
Dulu bangsa China membangun Tembok Besar yang panjangnya sekitar 1.000 kilometer memerlukan waktu tidak kurang dari 300 tahun. Artinya, nenek moyang mereka itu sejak dulu sudah punya imajinasi dan mimpi besar yang mimpi itu dijaga dan diwujudkan secara berkesinambungan lintas generasi.
Begitu pun para pendiri bangsa Amerika Serikat yang sejak awal telah meletakkan gagasan besar tentang nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan paham egalitarianisme, individualisme, yang menghargai kemerdekaan setiap pribadi yang itu semua merupakan akar dan spirit demokrasi.
Jadi, baik China maupun Amerika adalah bangsa dan negara besar yang memiliki akar tunggang kesejarahan yang sarat dengan ide dan mimpi besar. China usianya jauh lebih tua dibandingkan Amerika. Amerika jauh lebih tua dibandingkan Indonesia.
Sekali lagi, kesadaran sebagai bangsa dan negara besar, plural, namun masih sangat muda ini mesti dijadikan pemicu untuk mau belajar dan kerja keras serta punya komitmen kuat untuk menjaga kesatuan dan kerukunan. Lebih dari itu, hendaknya ego kepentingan diri dan kelompok––entah partai, agama, atau etnis––ditekankan jangan malah menjadi sumber pertengkaran yang hanya akan memperlemah kondisi bangsa, negara, dan pemerintahan.
Belakangan ini, berita korupsi dengan jumlah puluhan triliun rupiah sangat menyakiti nurani rakyat. Ternyata mimpi dan imajinasi mereka sangat murah dan rendah, menggerogoti ketahanan negara dan menyengsarakan rakyat hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi yang bersifat sesaat.
Tentu lebih menyakitkan lagi jika suasana batin dalam lingkungan elite politik juga tidak jauh dari itu. Padahal, bangsa ini memiliki warisan nilai budaya amat luhur yang kemudian diwariskan dalam tradisi, adat, agama, dan dalam formula Pancasila. Sayang sekali, loyalitas kita untuk menjaga tradisi luhur semakin kendur.
Indikator paling mudah adalah tidak lagi punya rasa malu dan dosa melakukan korupsi dan praktik suap. Terjadi penumpulan nurani. Redup cahaya nurani. Kita gamang dan kehilangan keteguhan hati menghadapi pasar bebas, demokrasi liberal, globalisasi, dunia maya, jejaring internet, televisi, banjir informasi, dan seterusnya.
Kita kehilangan jati diri yang autentik yang dikenal santun, ramah, punya budaya malu. Sebelum modal sosial itu semakin rapuh dan tergusur, para pemimpin negeri ini mesti menemukan dan menghidupkan kembali mimpi besar dan mulia mengapa kita bergabung menjadi bangsa dan negara Indonesia.
Jangan sampai mimpi besar itu dikalahkan oleh mimpi dan agenda lima tahunan hanya semata mengejar jabatan politik sebagai sarana mengejar kekayaan dan kemegahan materi. Begitu banyak anggota DPR dan pejabat lembaga negara terbukti korupsi, sebuah pengkhianatan pada sumpah jabatan yang diucapkan yang juga telah menyengsarakan rakyat. []
KORAN
SINDO, 7 Februari 2020
Komaruddin
Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar