Meluruskan Makna Jihad (27)
Tidak Harus Dimulai dari Titik Nol
Oleh: Nasaruddin Umar
Jihad dalam Islam tidak mesti harus berawal dari titik nol.
Kekayaan dan modal sosial-budaya dan peradaban bisa tetap dilanjutkan dengan
melakukan restorasi sesuai dengan prinsip akidah Islam. Terlalu mahal nilai
sebuah jihad jika harus membabat semua kekayaan sosial-budaya dan peradaban
masa lalu.
Jihad Nabi Muhammad hanya merestorasi tatanan sosial yang sudah
ada disesuaikan prinsip-prinsip dasar Islam. Nabi SAW pernah menegaskan: Innama bu'itstu liutammima makarim
al-akhlaq --Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan
nilai-nilai peradaban (akhlak) masa lampau.
Nabi dengan tegas juga melarang di dalam peperangan merusak
pusat-pusat budaya dan peradaban seperti situs-situs sejarah, rumah-rumah
ibadah, dan merusak tanaman atau taman. Nabi juga melarang untuk mengganggu dan
mengusik ketenangan anak-anak dan orang-orang tua. Nabi juga melarang membasmi
hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan melakukan pembakaran, dengan mengatakan: Hanya Allah yang berhak membunuh dan
menyiksa dengan menggunakan api.
Politik pembumihangusan tidak pernah diperkenalkan dalam Islam.
Sebaliknya, membangun kembali kota-kota tua di bawah kekuasaan Islam tetap
dilestarikan. Bagaimana megahnya Piramid dan Patung Spink serta peninggalan
sejarah di Aswan, Mesir tidak pernah diapa-apakan pasukan Islam. Peninggalan
bersejarah dibiarkan eksis di tempatnya masing-masing. Demikian pula sisa-sisa penggalan
bangunan kuno di Syiria tetap terpelihara sampai sekarang.
Candi-candi besar di Indonesia seperti Candi Borobudur dan Candi
Prambanan tetap menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia. Bahkan secara
eksplisit Al-Quran mengisyaratkan sejumlah ibadah masa lalu dilanjutkan dengan
beberapa penyesuaian di masa Nabi, misalnya tradisi puasa dan ibadah haji. Di
dalam Al-Quran disebutkan: Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S.
al-Baqarah/2:183).
Kata kama
kutiba 'alalladzina
min qablikum (sebagaimana diwajibkannya umat-umat sebelum kamu)
menunjukkan adanya kontinuitas tradisi keagamaan.
Islam tidak menolerir merusak warisan budaya dan peradaban atas
nama jihad. Jihad bukan untuk menghancurkan budaya dan peradaban serta
institusi sosial yang sudah bekerja secara positif untuk dunia kemanusiaan,
tetapi bagaimana melestarikannya dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian.
Al-Quran juga secara tegas melarang terjadinya penghancuran peradaban anak
manusia yang telah memberikan nilai keindahan dan simbol kebersamaan di dalam
kehidupan bermasyarakat.
Allah berfirman:
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang
sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah
(perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu
golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya
Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan
dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.
(Q.S. al-Nahl/16:92).
Ayat tersebut di atas sangat menarik karena mengumpamakan
penghancuran budaya dan peradaban dengan seorang tukang tenun yang
mengacak-acak hasil tenunannya yang sudah jadi. Perbuatan seperti itu jelas
adalah perbuatan mubazir. Dari keterangan ayat dan hadis di atas dapat
disimpulkan bahwa jihad tidak mesti harus menghancurkan nilai-nilai yang sudah
mapan di dalam masyarakat lalu dibangun kembali dari nol. Kita tetap
melanjutkan prestasi sosial budaya yang sudah ada dengan melakukan penyesuaian
seperlunya.
Jihad juga tidak boleh diartikan selalu memperjuangkan nilai-nilai
yang berbeda dengan nilai-nilai yang pernah ada sebelumnya. Nabi Muhammad tetap
memperkenalkan buah tradisi masa lampau sebagai karya yang harus dilestarikan.
Inovasi diperlukan, tetapi tidak mesti harus menolak nilai-nilai dari luar.
Nabi SAW pernah mengingatkan: Hikmah
ada di mana-mana, ambillah dari mana pun datangnya karena itu milik umat Islam
yang tercecer. []
DETIK, 06 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar