Jumat, 28 Februari 2020

Sejarah Gerakan Kaum Tarekat Melawan Penjajah


Sejarah Gerakan Kaum Tarekat Melawan Penjajah

Kondisi bangsa Indonesia yang sedang terjajah Belanda tidak membuat umat Islam diam. Sejarah mencatat, perjuangan umat Islam, khususnya kalangan pesantren melawan dan mengusir penjajah mampu membuat negara Indonesia terbebas dari penjajahan. Walau demikian, upaya-upaya penjajahan kembali terus dilakukan oleh Belanda hingga 1947. Sebab itu, usaha menegakkan kemerdekaan Indonesia tidak berhenti pasca-proklamasi 17 Agustus 1945.

Jauh sebelum masa-masa tersebut, kaum tarekat atau kelompok pengikuti kaum sufi juga melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Kelompok-kelompok tarekat di Nusantara telah memperoleh pengikut menjelang abad ke-18. Ajaran-ajaran sufi menolak segala bentuk penindasan terhadap manusia. Sebab itu, kaum tarekat memobilisasi diri untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap penjajah.

Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (2015) mencatat bahwa tarekat pertama yang memperoleh banyak pengikut di Asia Tenggara yang benar-benar dapat dimobilisasi ialah tarekat Sammaniyah. Tarekat ini dianut oleh Sultan Palembang yang juga diikuti oleh masyarakat awam.

Tarekat Sammaniyah memainkan peranan penting dalam melakukan perlawanan terhadap pendudukan Kota Palembang oleh tentara Belanda pada tahun 1819. Dalam sebuah karya sastra lokal dijelaskan bahwa beberapa kelompok orang berpakaian putih dan berdzikir keras hingga mencapai puncak mahabbah lalu kemudian tanpa rasa gentar menyerang penjajah Belanda. Mereka meyakini bahwa tubuh mereka sudah kebal karena dzikir tersebut.

Awal-awal perkembangan tarekat di Nusantara, memang yang pertama-tama muncul berkaitan dengan kultus kekebalan tubuh yang familiar disebut debus. Kekebalan tubuh melalui dzikir, wirid, amalan, dan doa tertentu itu dikembangkan oleh tarekat Rifa’iyah dan Qadiriyah. Sisa-sisa praktik debus masih dapat ditemukan di Aceh, kerajan-kerajaan semenanjung Kedah dan Perlak, Minagkabau, Banten, Cirebon, Maluku, bahkan di kalangan komunitas Melayu di Cape Town Afrika Selatan. Sebuah keistimewaan tersebut membuat manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jilani kerap dibaca oleh umat Muslim di berbagai wilayah.

Di Kalimantan Selatan pada tahun 1860-an, penjajah Belanda menghadapi perlawanan serupa dari gerakan-gerakan rakyat yang kuat menjalankan amalan-amalan bercorak sufi yang disebut beratip beramal. Hal itu merupakan adaptasi masyarakat setempat terhadap tarekat Sammaniyah.

Beberapa kasus lain di mana kaum tarekat mengambil bagian dalam pemberontakan antikolonial selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah satu pemberontakan terbesar terhadap kolonial Belanda terjadi di Banten pada tahun 1888. Di sini tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang terlibat, walaupun secara tidak langsung.

Tarekat yang sama juga memainkan peranan dalam gerakan rakyat secara besar-besaran di Lombok pada tahun 1891. Tapi hal itu ditujukan kepada orang Bali yang pada saat itu menduduki peranan besar di pulau tersebut. Keterlibatan kaum tarekat juga disebut dalam hubungannya dengan perlawanan petani yang bercorak mesianistik di Jawa Timur pada tahun 1903.

Perlawanan besar lainnya disebabkan karena diberlakukannya pajak tembakau yang baru pecah di Sumatera Barat pada tahun 1908. Kali ini tarekat Syattariyah yang telah lama dianut masyarakat setempat. Mereka kerap memainkan peranan dalam sejumlah perlawanan terhadap penjajah.

Perlawanan besar juga terjadi di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Perlawanan terhadap kolonial Belanda itu disebut Perang Jawa yang berlangsung pada 1825-1830. Walaupun tidak ada tarekat yang terlibat, namun warna dan ajaran sufi menjadi motivasi perlawanan. Tidak adanya tarekat yang terlibat memperkuat dugaan bahwa kala itu belum ada jaringan tarekat di Jawa Tengah yang mungkin dimanfaatkan oleh Pangeran Diponegoro dan para ulama penasihatnya.

Namun, R.S. O’Fahey (1987) mengutip seorang pengawas administrasi (administrateur) jajahan Perancis di Afrika Utara yang bernama Louis Rinn, menyatakan bahwa selain haji-haji yang pulang ke Sumatera Barat patut pula diidentifikasi tiga haji yang pulang ke Kerajaan Mataram dan Mangkunegaran di Pulau Jawa. Mereka diduga sebagai pengikut tarekat Sanusiyah. Jika yang terakhir ini diidentifikasi secara lebih rinci dan detail, berarti mereka adalah para pejuang yang ada di wilayah Jawa Tengah pada awal abad 19, khususnya di wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Merujuk hal itu, diduga bahwa mereka adalah Kiai Mojo dan Sentot Ali Basya dan beberapa temannya yang tergabung dalam perlawanan besar tanah Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro.

Perlawanan tersebut berlanjut ketika para ulama pesantren melakukan gerakan-gerakan. Ulama pesantren yang juga pengikut tarekat bahkan beberapa sudah menjadi mursyid tidak hanya menjadikan pesantren sebagai tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah pergerakan nasional dan penguatan cinta tanah air. Puncak perlawanan kaum pesantren yang dikomando oleh Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya. Laskar kiai dan santri berhasil memukul mundur NICA (Belanda) yang membonceng tentara Sekutu (Inggris). []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar