Sejarah Gerakan Kaum
Tarekat Melawan Penjajah
Kondisi bangsa Indonesia yang sedang terjajah Belanda tidak membuat umat Islam diam. Sejarah mencatat, perjuangan umat Islam, khususnya kalangan pesantren melawan dan mengusir penjajah mampu membuat negara Indonesia terbebas dari penjajahan. Walau demikian, upaya-upaya penjajahan kembali terus dilakukan oleh Belanda hingga 1947. Sebab itu, usaha menegakkan kemerdekaan Indonesia tidak berhenti pasca-proklamasi 17 Agustus 1945.
Jauh sebelum
masa-masa tersebut, kaum tarekat atau kelompok pengikuti kaum sufi juga
melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Kelompok-kelompok tarekat di
Nusantara telah memperoleh pengikut menjelang abad ke-18. Ajaran-ajaran sufi
menolak segala bentuk penindasan terhadap manusia. Sebab itu, kaum tarekat
memobilisasi diri untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap penjajah.
Martin van Bruinessen
dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (2015) mencatat bahwa tarekat
pertama yang memperoleh banyak pengikut di Asia Tenggara yang benar-benar dapat
dimobilisasi ialah tarekat Sammaniyah. Tarekat ini dianut oleh Sultan Palembang
yang juga diikuti oleh masyarakat awam.
Tarekat Sammaniyah
memainkan peranan penting dalam melakukan perlawanan terhadap pendudukan Kota
Palembang oleh tentara Belanda pada tahun 1819. Dalam sebuah karya sastra lokal
dijelaskan bahwa beberapa kelompok orang berpakaian putih dan berdzikir keras
hingga mencapai puncak mahabbah lalu kemudian tanpa rasa gentar menyerang
penjajah Belanda. Mereka meyakini bahwa tubuh mereka sudah kebal karena dzikir
tersebut.
Awal-awal
perkembangan tarekat di Nusantara, memang yang pertama-tama muncul berkaitan
dengan kultus kekebalan tubuh yang familiar disebut debus. Kekebalan tubuh
melalui dzikir, wirid, amalan, dan doa tertentu itu dikembangkan oleh tarekat
Rifa’iyah dan Qadiriyah. Sisa-sisa praktik debus masih dapat ditemukan di Aceh,
kerajan-kerajaan semenanjung Kedah dan Perlak, Minagkabau, Banten, Cirebon,
Maluku, bahkan di kalangan komunitas Melayu di Cape Town Afrika Selatan. Sebuah
keistimewaan tersebut membuat manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jilani kerap dibaca
oleh umat Muslim di berbagai wilayah.
Di Kalimantan Selatan
pada tahun 1860-an, penjajah Belanda menghadapi perlawanan serupa dari
gerakan-gerakan rakyat yang kuat menjalankan amalan-amalan bercorak sufi yang
disebut beratip beramal. Hal itu merupakan adaptasi masyarakat setempat
terhadap tarekat Sammaniyah.
Beberapa kasus lain
di mana kaum tarekat mengambil bagian dalam pemberontakan antikolonial selama
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah satu pemberontakan terbesar
terhadap kolonial Belanda terjadi di Banten pada tahun 1888. Di sini tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang terlibat, walaupun secara tidak langsung.
Tarekat yang sama
juga memainkan peranan dalam gerakan rakyat secara besar-besaran di Lombok pada
tahun 1891. Tapi hal itu ditujukan kepada orang Bali yang pada saat itu menduduki
peranan besar di pulau tersebut. Keterlibatan kaum tarekat juga disebut dalam
hubungannya dengan perlawanan petani yang bercorak mesianistik di Jawa Timur
pada tahun 1903.
Perlawanan besar
lainnya disebabkan karena diberlakukannya pajak tembakau yang baru pecah di
Sumatera Barat pada tahun 1908. Kali ini tarekat Syattariyah yang telah lama
dianut masyarakat setempat. Mereka kerap memainkan peranan dalam sejumlah
perlawanan terhadap penjajah.
Perlawanan besar juga
terjadi di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Perlawanan terhadap
kolonial Belanda itu disebut Perang Jawa yang berlangsung pada 1825-1830.
Walaupun tidak ada tarekat yang terlibat, namun warna dan ajaran sufi menjadi
motivasi perlawanan. Tidak adanya tarekat yang terlibat memperkuat dugaan bahwa
kala itu belum ada jaringan tarekat di Jawa Tengah yang mungkin dimanfaatkan
oleh Pangeran Diponegoro dan para ulama penasihatnya.
Namun, R.S. O’Fahey
(1987) mengutip seorang pengawas administrasi (administrateur) jajahan Perancis
di Afrika Utara yang bernama Louis Rinn, menyatakan bahwa selain haji-haji yang
pulang ke Sumatera Barat patut pula diidentifikasi tiga haji yang pulang ke
Kerajaan Mataram dan Mangkunegaran di Pulau Jawa. Mereka diduga sebagai
pengikut tarekat Sanusiyah. Jika yang terakhir ini diidentifikasi secara lebih
rinci dan detail, berarti mereka adalah para pejuang yang ada di wilayah Jawa
Tengah pada awal abad 19, khususnya di wilayah Yogyakarta dan Surakarta.
Merujuk hal itu, diduga bahwa mereka adalah Kiai Mojo dan Sentot Ali Basya dan
beberapa temannya yang tergabung dalam perlawanan besar tanah Jawa yang
dipimpin Pangeran Diponegoro.
Perlawanan tersebut
berlanjut ketika para ulama pesantren melakukan gerakan-gerakan. Ulama
pesantren yang juga pengikut tarekat bahkan beberapa sudah menjadi mursyid
tidak hanya menjadikan pesantren sebagai tempat menempa ilmu agama, tetapi juga
menjadi wadah pergerakan nasional dan penguatan cinta tanah air. Puncak
perlawanan kaum pesantren yang dikomando oleh Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari
terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya. Laskar kiai dan santri berhasil
memukul mundur NICA (Belanda) yang membonceng tentara Sekutu (Inggris). []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar