Meluruskan
Makna Jihad (29)
Contoh
Penerapan "Sabab Nuzul" (2)
Oleh:
Nasaruddin Umar
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka
janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu
khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu
dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (Q.S. at-Taubah/9:28)
Sepintas lalu ayat tersebut menyuguhkan pemahaman bahwa orang-orang musyrik itu najis, membatalkan wudhu, bahkan harus mandi jika bersentuhan dengannya. Pemahaman demikian bertentangan dengan beberapa ayat dan hadis. Allah pernah menegaskan dalam ayat lain: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (Q.S. Al-Isra'/17:70).
Demikian
pula beberapa ayat yang mengizinkan umat Islam berinteraksi dengan orang-orang
musyrik. Khusus dengan perempuan ahli kitab ada ayat mengisyaratkan
kebolehannya dikawini oleh laki-laki muslim. Jika mereka musyrik tentu akan
menimbulkan kesulitan di dalam bermuamalah. Kaum musyrikin bukan babi atau
anjing yang harus dijauhi oleh umat Islam.
Di
sinilah perlunya memahami sabab
nuzul sebuah ayat. Sabab
nuzul ayat tersebut di atas ialah berkenaan dengan kehadiran kaum
musyrikin di Mekah yang menyemarakkan jual-beli dan arus perdagangan. Sebagian
kaum muslimin khawatir akan mengalami kerugian jika kaum musyrikin dilarang
lagi berkunjung ke Mekah untuk berhaji atau umrah. Kemudian, Allah menenangkan
mereka bahwa Dia akan mengganti buat mereka rezeki dari sumber yang lain. (Muhammad
Sayyid Thanthawi, al-Tafsir
al-Wasith, Jilid VI, h. 246).
Jadi
konteksnya sangat kasuistik dan saya kira dalam sistem perdagangan global
seperti sekarang sudah sulit menjumpai konteks perdagangan seperti dimaksud.
Dengan demikian, pernyataan bahwa "orang-orang musyrik itu najis"
harus dibaca dalam konteks khusus, bukan dalam konteks sekarang. Justru
barang-barang dagangan seperti sajadah, parfum, elektronik, dan lain-lain yang
membanjiri pasar-pasar di Mekah, Madinah, dan Jedah sekarang banyak dari China,
Korea, Jepang, Bangladesh, India, Thailand, dan negara-negara Barat yang
notabene negara berpenduduk mayoritas non-muslim.
Adapun
yang dimaksud dengan al-musyrikin
dalam ayat di atas terdapat perbedaan pendapat. Mayoritas ulama memaknainya dengan
penyembah berhala ('abdah
al-autsan) dan selainnya memaknainya dengan seluruh kafir.
Sedangkan kata najas
(najis) dalam ayat di atas mempunyai dua makna, yaitu: najis maknawi (simbolik)
atau najis i'tiqad
atau najis syar'i.
Az-Zamakhsyari --sebagaimana tulis Zuhaili-- mengutip dari Ibnu Abbas bahwa person kaum musyrikin
adalah najis (a'yan
al-musyrikin najasah) sebagaimana halnya anjing dan babi. Hal
tersebut didasari oleh makna tekstual ayat ini. (Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, Juz X,
h. 167).
Hanya
saja, jumhur ulama salaf, khalaf, dan ulama mazhab yang empat memandang bahwa person mereka suci atau
bersih (a'yanuhum thahirah).
Hal tersebut dipahami bahwa Nabi Muhammad tidak memerintahkan untuk
membersihkan sesuatu yang telah disentuh oleh kaum musyrikin, padahal terjadi
interaksi sosial dengan mereka. Bahkan, beberapa riwayat menyebutkan bahwa
beliau memakan makanan Yahudi tanpa membersihkan bejana yang dipakai makan
tersebut terlebih dahulu. (Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsir al-Wasith, Jilid
VI, h. 246).
Pengikut
imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ayat ini bukanlah larangan untuk memasuki
Masjidil Haram. Tetapi, yang dimaksud adalah larangan bagi kaum musyrikin untuk
berhaji atau umrah, sebagaimana yang pernah mereka lakukan di zaman jahiliah.
Mereka mendasari argumentasinya dengan potongan ayat: ba'da 'amihim hadza.
(Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir
al-Munir, Juz X, h. 167). Imam as-Suyuthi juga memaparkan tiga
jalur riwayat seputar asbabub
nuzul ayat tersebut yang intinya sama dengan yang dikemukakan tadi.
[]
DETIK, 12
Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar